IRONI PELAJAR MISKIN BERPRESTASI


Oleh: Ai Siti
Muslimah Peduli Umat

Mendikbudristek Nadiem Makarim mengumumkan bahwa pemerintah membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) untuk tahun ini. Nadiem menyatakan, kementeriannya akan mengevaluasi permintaan peningkatan UKT yang diajukan oleh perguruan tinggi negeri (PTN). Namun ia mengatakan, kenaikan UKT pada masa depan pun harus sesuai dengan asas keadilan dan kewajaran. (Kompas, 27-5-2024).

Dalam kutipan berita yang berbeda, Presiden Jokowi menyebut ada kemungkinan UKT akan naik tahun depan. Hal itu ia ungkap setelah memanggil Nadiem dan memerintahkannya untuk menghentikan kenaikan UKT tahun ini. Ia ingin kebijakan itu dihitung ulang dan juga ingin Nadiem mencari cara agar tarif UKT tidak memberatkan mahasiswa.

Namun demikian, cukupkah solusi drama UKT ini hanya dengan menunda kenaikan nominalnya.

Sebutlah Siti Aisyah, dirinya adalah mahasiswi baru yang diterima di Universitas Riau (Unri) melalui jalur prestasi, tetapi terpaksa mundur karena tidak sanggup membayar UKT. Ironisnya, UKT yang sudah terbilang ringan pun masih mahal baginya. Diketahui, ayahnya hanya bekerja serabutan. Meski sudah ada donatur yang siap membantu, ia tetap memilih mundur sebab donatur tersebut hanya bersedia membantu di awal, sedangkan untuk ke depannya belum pasti.

Peristiwa pilu ini tidak hanya terjadi di Unri, tetapi juga di Universitas Sumatera Utara (USU). Naffa Zahra Muthmainnah diterima di USU lewat jalur prestasi. Namun, ia terpaksa mengundurkan diri karena tidak mampu membayar UKT yang besarnya Rp8,5 juta. Sebelumnya ia mengira uang kuliahnya hanya Rp2,4-3 juta. Diketahui, UKT 2024 di USU mengalami kenaikan 30-50% dibandingkan 2023. UKT tersebut terdiri dari delapan kelompok dengan kenaikan terjadi pada kelompok UKT 3-8.

Sungguh terlalu jika kenaikan UKT dibiarkan terjadi, baik itu tahun ini maupun tahun-tahun selanjutnya. Terlebih kenaikannya begitu menggila. Belum lagi dampak buruknya bagi pelajar miskin, padahal banyak dari mereka sejatinya berprestasi. Untuk itu, mahalnya UKT jelas bertentangan dengan konsep bahwa pendidikan adalah hak setiap individu rakyat.

Mirisnya lagi, sekolah yang peserta didiknya lolos penerimaan melalui jalur prestasi, tetapi tidak mengambilnya, sekolah tersebut bisa masuk daftar hitam (blacklist) dan ke depannya berpotensi tidak diberi kuota jalur prestasi oleh PTN yang bersangkutan.

Berlikunya, drama UKT nyatanya tidak lantas membuat pemerintah terketuk hatinya sehingga membatalkan kenaikan UKT untuk seterusnya, bahkan jika perlu menggratiskannya. Pasalnya, pembatalan kenaikan UKT tahun ini hanyalah sementara, sembari menunggu tahun depan.

Sungguh semua langkah ini sangat erat kaitannya dengan cara pandang kapitalistik. Bendera komersialisasi kampus sudah kadung menancap secara legal, baik itu melalui UU Dikti (UU 12/2012), pendahulunya yakni UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maupun berbagai kebijakan turunannya.

Di antaranya, yakni Permendikbudristek 2/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbudristek. Konsekuensi ke depan dari pemberlakuan Permen ini dituding menyebabkan akan makin banyaknya camaba (calon mahasiswa baru) tidak terkecuali yang berprestasi yang berguguran. Kebijakan tersebut bisa dikatakan sebagai biang keladi mahalnya UKT.

Sebagai informasi, SSBOPT adalah dasar pengalokasian APBN untuk PTN dan penetapan biaya kuliah tunggal (BKT) untuk setiap program studi pada jenjang diploma dan sarjana. Sedangkan BKT adalah dasar penetapan tarif UKT untuk setiap program studi di PTN.

Namun demikian, karena PTN sudah berbadan hukum (PTNBH), kinerja pembiayaan PTN sejatinya diharapkan tidak semata fokus pada kenaikan UKT. Sebaliknya, PTN dianggap semestinya bisa menurunkan UKT, yakni dengan diberi kesempatan untuk mencari pendanaan lainnya. Untuk itu, rektor dituntut kreatif mencari sumber dana tersebut dan tidak hanya pandai menarik dana melalui UKT. Akibatnya, kampus memang dituntut untuk makin pintar “mencari uang” agar ketergantungannya terhadap APBN makin rendah.

Realitas ini sekaligus tampil melegitimasi bahwa besarnya alokasi dana APBN untuk pendidikan “akan selalu kurang”. Ini bahkan tampak jelas dari rendahnya anggaran pendidikan yang hanya 20% dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan, sektor pendidikan tinggi hanyalah salah satunya. Secara riil, jumlah itu sangat jauh dari cukup untuk membiayai 85 PTN di seluruh Indonesia. Akibatnya, kenaikan UKT yang ugal-ugalan pun menjadi niscaya.

Nyatanya, jika PTN dibiarkan mencari pendanaannya sendiri, PTN itu akan bebas melakukan kerja sama dengan pihak korporasi yang mengejar profit. PTN tersebut tentu juga akan terikat dengan pihak pemberi dana sehingga justru bisa mengancam otonomi akademis PTN itu sendiri

Sungguh, drama UKT ini adalah wujud nyata kapitalisasi pendidikan. Pemerintah makin lepas tangan dalam menyelenggarakan pembiayaan pendidikan warganya. Ini juga jelas-jelas kezaliman karena telah merampas hak banyak rakyat Indonesia untuk bisa mengenyam pendidikan di PTN.

Dampaknya, hal ini akan mengancam kualitas SDM rakyat sehingga sulit bersaing di pentas global. Untuk itu, polemik UKT ini harus dihentikan, bahkan sistem liberal yang telah melahirkannya juga harus diganti dengan sistem sahih, yakni sistem Islam.

Cara pandang kapitalistik sungguh berbeda nyata dengan pandangan dan pengaturan syariat Islam terhadap penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan. Hal ini berawal dari sabda Rasulullah ï·º, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).

Juga sebagaimana firman Allah Taala dalam surat Al-Mujadalah ayat ke 11 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti dengan apa yang kamu kerjakan.

Serta hadis, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Atas dasar ini, Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok (primer) rakyat yang disediakan oleh negara dan diberikan kepada rakyat dengan biaya murah, bahkan sangat mungkin gratis. Selain itu, semua individu rakyat mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa menikmati pendidikan pada berbagai jenjang, mulai dari prasekolah, dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi.

Sumber pembiayaan pendidikan bisa berasal dari sejumlah pihak, yakni dari individu warga secara mandiri, infak/donasi/wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan, serta pembiayaan dari negara. Bagian pembiayaan dari negara inilah yang porsinya terbesar.

Islam juga menetapkan sejumlah pos pemasukan negara di baitulmal untuk memenuhi anggaran pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum seperti tambang minerba dan migas, juga fai, kharaj, jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, hanya diambil dari rakyat pada saat kas Baitulmal kosong dan dikenakan hanya pada orang kaya laki-laki saja.

Sementara itu, jaminan dan realisasi pembiayaan pendidikan oleh negara, yakni berupa pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan, anggaran yang menyejahterakan untuk gaji pegawai dan tenaga pengajar, serta asrama dan kebutuhan hidup para pelajar termasuk uang saku mereka.

Wallahualam bissawab

Posting Komentar

0 Komentar