KAPITALISME, PEPESAN KOSONG SEJAK AWAL


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Ada harapan yang diuntai oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir kepada presiden dan wakil presiden terpilih pada Pemilu 2024 yaitu agar dapat mengelola sumber daya alam (SDA) dengan tanggung jawab penuh untuk sebesar-besarnya hajat hidup kepentingan rakyat dan bangsa (republika.co.id, 24/4/2024).

Haedar juga berharap, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang menjadi pimpinan Indonesia terpilih juga dapat meningkatkan sumber daya manusia yang benar-benar memiliki rasa kebangsaan serta mewujudkan cita-cita nasional dalam kebijakan yang strategis agar Indonesia menjadi negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


Berharap Dalam Sistem Kapitalis, Bersiaplah Kecewa

Jika faham bagaimana sifat dasar kapitalisme, tentu tak akan banyak berharap kepada sistem aturan buatan manusia ini. Mengapa? Bak punguk merindukan bulan, selamanya tak akan menjadi kenyataan. Yang pasti ketika kita masih mempertahankan kapitalisme yang kian subur di alam demokrasi maka harus bersiap menerima pepesan kosong.

Kapitalisme meniscayakan skema pengelolaan sumber daya alam bukan di tangan negara melainkan pengusaha. Meski dalam UUD 1945 pasal Pasal 33 Ayat 3, “Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Namun dalam praktiknya tidak demikian.

Fungsi negara dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator kebijakan, yang siap mengesahkan berbagai payung hukum guna memudahkan para pengusaha itu mengeksplore kekayaan alam negeri ini. Atas nama kerjasama bilateral, multilateral, utang luar negeri, tak ada kemampuan mengadakan tenaga ahli sekaligus teknologi dan lainnya negara siap mengeliminasi peran utamanya sebagai pengurus rakyatnya.

Sebagai gantinya, negara dibiayai dari pajak dan utang. Pengusaha bermodal besar pun ditarik pajak, meski kadang diberi kemudahan akses agar mau berinvestasi di Indonesia namun tetap, pemerintah mendapatkan keuntungan hanya dari hasil penerimaan pajak atau devisa para pekerja migran yang bekerja di luar negeri.

Sangat ironis, para pekerja migran itu hingga dijuluki pahlawan devisa yang sangat berjasa bagi negara, tak lagi dilihat dampak buruknya ketika seorang ibu, perempuan harus terpisah dari keluarganya di negeri orang bertahun-tahun. Rusaknya generasi, bubarkan pernikahan, dan hilangnya fungsi hakiki keluarga sebagai wadah bagi munculnya generasi perubahan.

Bahkan pemilu presiden 2024 penuh intrik dan polemik adalah dalam rangka menjaga tujuan kapitalisme demokrasi tidak gagal teraih, di antaranya memastikan calon presiden pengganti Joko Widodo masih tetap dalam arahan yang sama, mempertahankan kebijakan lama yang di masa kepemimpinannya belum selesai atau masih berjalan.

Sebut saja kasus korupsi tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara, yang menjerat sejumlah pengusaha hingga pejabat negara jelas menunjukkan masih terbukanya “celah kongkalikong” di tengah tata kelola industri nikel yang “carut marut”, kata sejumlah pegiat lingkungan dan antikorupsi. Ini baru satu yang terungkap. Padahal sumber tambang kita luar biasa. Tapi tak sebanding dengan kesejahteraan rakyatnya.


Saatnya Ganti Sistem

Ibarat mobil, kapitalisme demokrasi sudah tua dan bobrok, diganti sopirnya yang ahli pun tetap akan mogok cepat atau lambat. Seperti itulah gambarannya, mengapa masih saja mempertahankan?

Pemerintah dalam sistem kapitalisme sekuler tidak akan mungkin memutuskan kontrak begitu saja, sebab itu dianggap pelanggaran dalam hukum positif hari ini, sementara dalam Islam ketika diharamkan bekerja sama dengan kafir atau asing dalam pengelolaan harta kepemilikan umum maka tanpa tawar menawar lagi langsung diputuskan. Jika ada utang maka utang dibayar pokoknya saja sedangkan ribanya tidak. Selanjutnya negara sendirilah yang akan mengelola SDA sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.

Hasil dari pengelolaan SDA dikembalikan kepada rakyat secara langsung berupa zatnya, semisal air, listrik, BBM dan lainnya. Atau dikembalikan dalam bentuk tak langsung seperti pembangunan sekolah, masjid, rumah sakit, jalan tol, jembatan dan lainnya termasuk penyediaan tenaga guru, nakes, menyusun kurikulum pendidikan dan lainnya.

Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah ï·º, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang gembalaan dan api” (HR. Abu Dawud). Maka haram hukumnya memprivatisasi ketiganya kepada satu pengusaha atau sekelompok badan usaha asing.

Inilah yang menjamin kesejahteraan bisa diwujudkan sebab jelas hukum kepemilikan atas setiap barangnya. Tak ada kebebasan mutlak sebagaimana dalam kapitalisme. Bahkan lebih zalimnya, di tengah kekayaan alam negara yang berlimpah ini, biaya operasional negara justru dibiayai dari pajak dan utang luar negeri.

Utang luar negeri inilah yang makin membuat negara terpuruk kehilangan kedaulatannya. Jangankan mengurusi rakyatnya, menetapkan UU saja harus menunggu ratifikasi global dari badan-badan dunia bentukan kafir. Padahal jelas Allah ï·» berfirman yang artinya, “…..dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (TQS an-Nisa 4:141).

Jelas hanya Islam yang mampu memberi harapan perubahan riil. Sejarah membuktikan bagaimana kegemilangannya dengan sistem Baitulmal. Khalifah Umar Abdul Azis hingga kehabisan penerima zakat saat harta zakat yang terkumpul di Baitulmal berlimpah. Belum lagi dengan pembangunan berbagai jalan dan lembaga pendidikan yang dibangun dari harta Baitulmal.

Sistem sahih tanpa pemimpin bertakwa juga tak akan berhasil, maka dalam Islam sangat detil menetapkan kedudukan pemimpin adalah periayah (pengurus) rakyat sesuai dengan sabda Rasulullah ï·º, “Pemimpin itu adalah perisai dalam memerangi musuh rakyatnya dan melindungi mereka. Jika pemimpin itu mengajak rakyatnya kepada ketakwaan kepada Allah dan bersikap adil, pemimpin itu bermanfaat bagi rakyat, tetapi jika dia memerintahkan selain itu, pemimpin tersebut merupakan musibah bagi rakyatnya.” (HR. Muslim).

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar