BOBROKNYA DEMOKRASI MAKIN TERLIHAT DI TENGAH PENTAS PARPOL & ELIT POLITIK


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Pemilu dan Pilpres sudah selesai. Kedaulatan rakyat juga sudah selesai, karena suara rakyat sudah dibeli dengan sejumlah sembako dan uang tunai.

Sekarang, demokrasi milik parpol dan elit. Dalam paradigma mereka, tak ada kedaulatan rakyat. Yang ada, kedaulatan kekuasaan.

Semua merebutkan kekuasaan seperti semut yang berkumpul karena gula. Tak peduli sebelumnya bertarung dan saling menjatuhkan, ketika semua usai mereka berebut merapat untuk mendapatkan jatah kekuasaan.

Parpol yang mengusung misi 'perubahan' juga benar-benar berubah. Sebelumya, mereka keras mengkritik Prabowo Gibran, sekarang sibuk memuji untuk tujuan agar diterima berkoalisi.

Nasdem, PKB & PKS, tanpa malu berusaha merapat ke kubu Prabowo. Meski mereka sadar, koalisi Prabowo tak semuanya menerima secara baik (Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, Gelora & PBB), tapi peluang merapat tetap terbuka karena Prabowo Gibran memerlukan kekuatan parlemen yang kuat untuk mendukungnya.

Benefit kue kekuasaan menjadi motif utama yang dibungkus dengan kemasan 'demi persatuan, demi kesatuan, menjaga stabilitas, sinergi untuk negeri, membangun bersama' dan sederet alasan klasik lainnya.

Lihatlah Surya Paloh, saat kampanye menyerang keras kebijakan bansos Jokowi. Begitu KPU umumkan hasil Pemilu, Surya Paloh terdepan menerima hasil dan mengucapkan selamat kepada Prabowo Gibran.

Lihatlah PKB, meski pergerakannya belakangan, tapi kini juga ikut berburu karpet merah dengan menyambut Prabowo di kantornya. Persis, menjiplak manuver NasDem yang telah melakukannya duluan.

PKS, sekjennya Abu Bakar Al Habsy, begitu manis menyapa Mas Gibran. Selain mengakui hasil Pemilu saat pengumuman, Ketua Fraksi PKS juga mengucapkan selamat kepada Prabowo Gibran.

Dengan modal pernah bersama SBY, PKS juga menawarkan diri untuk bergabung. Meski mantan mitranya di Gelora, buru-buru umumkan penolakan.

Namun, semua itu tidak selalu mulus karena parpol pengusung Prabowo tidak ridho dengan merapatnya beberapa parpol, karena berpotensi menggerus jatah kue kekuasaan mereka. Bahkan Luhut sampai meminta Prabowo agar TOXIC politik jangan diakomodir dalam kabinet Prabowo Gibran. Luhut, seperti tak mau berbagi kue kekuasaan dengan rival politiknya.

Hari ini, ketika PDIP menolak Prabowo Gibran, menggugat di PTUN, juga bukan untuk dan atas nama rakyat. Semua, hanya manuver politik demi kekuasan. PDIP paham, kemenangan Prabowo tak bisa dibatalkan. Tapi untuk bernegosiasi politik, PDIP harus menyiapkan kedudukan yang relevan untuk negosiasi yang diharapkan.

Sedangkan kita, rakyat kecil ini, apa bagiannya? Siap-siap saja hidup makin sulit. Pertalite dihapus, PPN 12%, pendidikan mahal, sembako mahal, kemiskinan meningkat, SDA dikeruk asing dan aseng. Sementara bagian rakyat hanya kerusakan alam dan konflik sosial yang semakin merajalela. Ketahuilah, itu semua adalah dampak dari diterapkannya sistem demokrasi.

Posting Komentar

0 Komentar