
Oleh: Ahmad Khozinudin
Pejuang Khilafah
Narasi kembali ke UUD 45 hangat kembali, pasca pertemuan Amien Rais dengan sejumlah petinggi MPR RI (Bambang Soesatyo) dan DPD RI (La Nyalla Mataliti). Amien merasa prihatin, desain amandemen UUD yang secara faktual hari ini justru menjadikan politik uang makin mencengkeram.
Dulu, banyak yang berasumsi dengan Pilpres langsung tak akan ada politik uang karena mustahil bisa menyuap jutaan rakyat. Problemnya ketika itu, pemilihan via MPR RI sarat politik uang. Dengan ide Pilpres langsung via amandemen konstitusi, diharapkan kedaulatan rakyat benar-benar mewujud dan politik uang bisa diberangus.
Faktanya, Pilpres langsung justru menjadi ajang menyuap jutaan rakyat secara telanjang. Pilpres 2024, menjadi bukti faktual betapa politik uang itu terbuka dilakukan, tak ada lagi rasa malu.
Cara berfikir yang salah dalam mendiagnosa masalah, menyebabkan salah memberikan resep. Kesalahan analisa atau diagnosa masalah adalah ketika menyimpulkan bahwa sebab dari politik uang, korupsi, koalisi, hingga nepotisme adalah oligarki politik di tataran elit, yang saat itu ada di DPR dan MPR. Ide Pemilu langsung (termasuk Pilpres), dianggap menjadi resep ampuh untuk memberantas politik uang, korupsi, koalisi dan nepotisme.
Padahal, problem utamanya adalah sistem politik demokrasi. Dalam sistem demokrasi, yang berdaulat sejatinya adalah kapital (modal), bukan rakyat. kapital lah yang menentukan siapa yang layak berkuasa dalam sistem Demokrasi. Kapital pula, yang menentukan corak kekuasaan itu seperti apa, kebijakan, hukum dan peraturannya, semua ada dibawah kendali modal (uang).
Baik Pemilu langsung maupun perwakilan, baik Pilpres langsung maupun via MPR, semuanya dikendalikan oligarki sebagai pengendali karena pemilik kapital adalah kaum oligarki. Jadi, jika saat ini ada ide ingin kembali ke UUD 45, menyerahkan pemilihan Presiden ke MPR, berarti sama saja ingin kembali dikuasai oligarki, dikendalikan kapital dengan corak orde baru.
Saya berpendapat, bahwa problemnya bukan sekedar Pilpres langsung atau perwakilan, via rakyat atau via MPR. Justru yang bermasalah adalah sistem demokrasi dengan konsep kedaulatan rakyat tapi dalam tataran praktis sebenarnya kedaulatan kapital (uang).
Kalaupun demokrasi bisa diterapkan, kedaulatan rakyat diwujudkan, tetap saja sistem ini batil. Karena dalam Islam, kedaulatan ada ditangan Syara', bukan ditangan rakyat. Halal, haram, wajib, Sunnah, mubah, itu semua harus berpulang kepada hukum Syara', bukan kembali ke suara rakyat.
Suara mayoritas rakyat bukan parameter kebenaran. Kebenaran ukurannya adalah hukum Syara'. Saat Allah ï·» mengharamkan riba, meski seluruh rakyat bahkan penduduk bumi menghalalkannya, tetap saja tidak akan membuat riba menjadi halal dan baik.
Karena itu, saat ini yang urgen adalah kembali pada Islam. Kembali menerapkan hukum Allah ï·», dengan cara menegakkan Daulah Khilafah. Bukan kembali ke UUD 45.
Dengan tegaknya Khilafah, hukum Allah ï·» dapat diterapkan. Kedaulatan kembali ke tangan Allah ï·», melalui hukum Syara' yang ditegakkan. Al Qur'an dan as Sunnah, kembali menjadi sumber hukum dan perundangan.
Sistem pemilihan Khalifah pun menjadi simple, tak perlu uang. Bahkan, dominasi uang dapat diberangus hingga akar-akarnya. Pemilihan pemimpin, menjadi sederhana seperti saat memilih Khalifah Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali.
Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negeri ini hanya Islam. Melalui penerapan syariah Islam secara kaffah, dengan menegakkan Daulah Khilafah.
Kembali ke UUD 45, hanya memberi jalan bagi petualang politik yang tak laku ikut Pilpres langsung seperti La Nyalla dan Bambang Soesatyo, agar punya kesempatan meraih kekuasaan melalui jalur MPR. Sebab, pemilihan Presiden via MPR itu jalur senyap. Tetap pakai cuan, dan yang dikondisikan hanya elit. Jadi, peran uang mengendalikan kekuasan makin digdaya.
0 Komentar