KONTESTASI PILKADA, KEKUASAAN SEOLAH KUE HANTARAN


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Siapa yang tak kenal Raffi Ahmad, salah satu pesohor negeri yang mendapat julukan “Pangeran Andara” atau “Sultan Andara”. Saat ini Raffi Ahmad memang sedang di puncak ketenarannya, berita tentang dirinya tak pernah terlewatkan oleh netizen, termasuk lamaran Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto untuk ikut dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2024.

Bahkan bisa on the way ke Jawa Tengah, bisa on the way ke Jakarta kelakar Airlangga. Peluang Raffi adalah bersanding dengan mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil pada Pilkada Jakarta. Pasangan istimewa, meski Ridwan Kamil bukan artis namun pesonanya sangat memukau melampaui artis.

Partai Golkar sebenarnya masih memiliki calon lain selain Raffi Ahmad, yaitu Erwin Aksa, Wakil Ketua Umum Bidang Penggalangan Strategis DPP Partai Golongan Karya dan Komisaris Utama di Bosowa Group berpasangan dengan Airin Rachmi Diany, Ketua Umum Pengurus Pusat Kesatuan Perempuan Partai Golkar (republika.co id, 18/5/2024).

Bandung pun berbinar, Dadang Supriatna saat Pilkada 2020 lalu menggandeng artis Sahrul Gunawan maju sebagai Bupati dan wakil bupati Bandung tahun 2024 ini maju kembali. Ketua DPC PKB kabupaten merasa percaya diri dengan raihan 12 kursi di DPRD Kabupaten Bandung bisa kembali mendulang sukses tanpa harus berkoalisi dengan partai manapun (rri.co.id, 10/5/2024).

Siapa pun dan apa pun latar belakang keahlian atau keilmuannya bisa maju dalam ajang Pilkada atau Pileg itu benar, apalagi dipayungi hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang mensyaratkan calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih yang ikut pencalonan diri sebagai kepala daerah, wajib membuat surat pernyataan bersedia mundur jika telah resmi dilantik sebagai anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD tapi tetap mencalonkan diri sebagai kepala daerah (Tirto.id, 10/5/2024).

Ketetapan ini dibenarkan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari, bahwa calon anggota legislatif (caleg) terpilih dalam Pemilu 2024 tidak perlu mengundurkan diri bila mengikuti Pilkada Serentak 2024. Caleg terpilih yang wajib mundur dari jabatannya adalah anggota DPR/DPD/DPRD untuk jajaran provinsi/kabupaten/kota Pemilu 2019 dan kembali terpilih dalam Pemilu 2024.

Dana Pilkada ini pun sudah tidak perlu dikhawatirkan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mencadangkan dana sejak 2022 dan telah terkumpul Rp1 triliun. Bey Macmidin, Penjabat Gubernur Jabar Bey Machmudin di Kota Bandung, mengatakan, dana cadangan ini sudah diatur dalam Perda Nomor 14 Tahun 2021 tentang Dana Cadangan untuk Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2024. Pada Pasal 3 ayat (3) disebutkan, kebutuhan dana pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang belum dialokasikan dalam dana cadangan dipenuhi dalam APBD Tahun 2024 (pikiranrakyat.com, 25/9/2023).


Berburu Kursi Panas Di Pilkada, Rakyat Diperdaya?

Bak sebuah lomba, perhelatan Pilkada ini telah dipersiapkan sematang mungkin. Harapannya berjalan lancar dan sesuai target. Sebab inilah saat krusial pembuktian perolehan kursi saat pilpres di pemilu tahun lalu, inilah saatnya pembuktian setiap koalisi tidak akan menimbulkan kerugian bagi yang bergabung. Terbukti setiap komposisi partai di badan koalisi mendapatkan bagiannya secara pasti.

Dan yang terjadi, suara rakyat kembali diburu, untuk kursi panas Pilkada, dengan berbagai cara, janji manis dan popularitas. Padahal sejatinya, kontestasi ini bukanlah untuk kepentingan rakyat, namun demi kepentingan elit oligarki. Pertanyaannya bagaimana bisa? Jelas setiap segala sesuatu agar berjalan lancar pasti membutuhkan dana. Dan tidak mungkin dana itu semata-mata didapat dari kantong para politisi praktis itu.

Simbiosis mutualisme tak mungkin terelakkan, di antara pengusaha (oligarki) yang ingin bisnisnya terus berjalan dengan penguasa yang juga ingin tetap berkuasa, sama-sama punya kepentingan di dalamnya. Maka dana yang masuk pun tak gratis, ada imbal baliknya, paling ringan adalah legalitas payung hukum bisnis mereka resmi dan aman.

Inilah satu keniscayaan dalam demokrasi, sistem politik dengan semboyan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Berburu kedudukan sebagai penguasa adalah hal yang lumrah. Lebih tepatnya kezaliman yang dilumrahkan, karena setelah kekuasaan ada di tangan praktisi politik itu, mereka lupa dengan hak rakyat, bahkan memberikan payung hukum bagi pengusaha penyandang dana mereka tetap ketok meski rakyat makin terzalimi.

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan semata-mata menjadi sarana untuk meraih materi dan kedudukan/prestise. Bagaimana hidup sejahtera, aman, harta berlimpah hingga turunan ke tujuh, kekuasaan dan kehormatan tetap didapat hingga akhir hayat dan lainnya adalah dengan kekuasaan. Itulah mengapa, tak peduli siapapun yang bakal menjadi penguasa, yang ada adalah siapa cepat dia dapat, siapa punya orang dalam, kemungkinan besar sukses tak bisa disangkal.

Apalagi hukum bebas diatur, sesuai kehendak. Masih ingat putusan MA tentang penetapan usia mereka yang resmi terpilih dalam Pilkada, minimal 30 tahun tepat saat pelantikan? Bukti nyata, apapun bisa diatur dalam demokrasi, omong kosong bicara soal hasil penelitian sebuah LSM bahwa demokrasi di Indonesia sudah cukup matang, kalau ukurannya UU mampu dirubah hanya dalam tempo tiga hari yang bisa jadi Indonesia adalah pemenangnya.


Islam Kaffah Jawaban Pemimpin yang Amanah

Islam memandang kekuasaan adalah amanah dan berkonsekuensi riayah (pengurusan urusan) rakyat, dan ini yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).

Pemilihan kepala daerah dalam Islam sederhana, cepat dan murah, efektif dan efisien, karena kepala daerah (wali atau amil) dipilih oleh Khalifah. Mereka adalah perpanjangan tangan khalifah dalam meriayah rakyat, bukan penguasa tunggal daerah. Masa kampanye juga tidak terlalu lama hingga berbulan-bulan dan memakan biaya banyak. Sebab, hal demikian hanyalah mengulur waktu, sementara urusan rakyat sangatlah penting untuk segera dipenuhi.

Satu tujuannya, agar tidak saling menzalimi dan rakyat tidak dibiarkan kosong tanpa kepemimpinan. Tegaknya kekuasaan, tidak ada kepentingan selain menerapkan hukum syara. Siapapun pemimpinnya, haram baginya menerapkan hukum selain hukum Allah.

Allah ﷻ berfirman yang artinya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (TQS al-Ahzab : 36).

Maka, masihkah kita berharap pada sistem demokrasi bisa menghasilkan pemimpin yang meriayah sementara kita tahu demokrasi asasnya sekular yaitu memisahkan agama dari kehidupan? Sampai kapan muncul kesadaran kita sebagai kaum Muslim bahwa kita sudah memiliki sistem yang terbaik dari Allah?

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar