
Oleh: Ai Siti
Muslimah Peduli Umat
Situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), tema Hari Anak Nasional (HAN) 2024 sama dengan 2023 yakni “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Dari tema tersebut terdapat enam subtema yang meliputi:
- Suara Anak Membangun Bangsa;
- Anak Cerdas Berinternet Sehat;
- Pancasila di Hati Anak Indonesia;
- Anak Pelopor dan Pelapor;
- Anak Merdeka dari Kekerasan, Perkawinan Anak, Pekerja Anak, dan Stunting serta;
- Digital Parenting.
Puncak acara HAN 2024 akan diselenggarakan di Jayapura, Papua. Menurut Menteri PPPA Bintang Puspayoga, Papua dipilih sebagai lokasi pelaksanaan agar kemeriahan perayaan HAN dapat dirasakan oleh anak-anak di daerah terpencil dan terluar.
Di antara rangkaian kegiatan menjelang puncak perayaan HAN 2024 adalah acara Festival Ekspresi Anak di Ancol, Jakarta pada Kamis (18-7-2024). Acara ini diselenggarakan dengan tema “Anak Cerdas, Berinternet Sehat”. Hadir dalam acara tersebut sekitar 1.000 peserta yang terdiri dari perwakilan Forum Anak Nasional (FAN) dari 38 provinsi. Mereka menyerahkan kumpulan aspirasi dari anak-anak di berbagai daerah untuk dibacakan saat puncak perayaan HAN 2024.
Jika kita mencermati acara HAN 2024, momen tersebut tidak ubahnya seremonial belaka. Begitu pula rangkaian subtema yang diangkat, semua itu lebih tampak sebagai formalitas wacana yang sangat jauh dari realitas problematik anak di akar rumput, alih-alih akar permasalahan sejatinya.
Permasalahan anak di negeri kita sudah sangat karut marut. Hal ini tentu saja tidak cukup dilihat dari satu sisi, melainkan harus dengan paradigma sistemis. Begitu pula solusinya, apakah lantas solusi permasalahan anak itu muncul dengan sendirinya melalui perayaan HAN?
Sungguh kita patut miris dengan fenomena yang masih hangat, yakni Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi, sebagai wujud nyata perampasan hak anak di bidang pendidikan. Juga maraknya kasus judi online di kalangan siswa usia sekolah dasar (SD) yang sudah sampai pada tingkat kecanduan hingga membuahkan perilaku yang tidak terkendali saat uang saku mereka habis karena kalah judi.
Pada saat yang sama, tindak kekerasan level sadis dengan pelaku maupun korban dari kalangan anak di bawah umur tidak kalah menjamur. Sementara itu, fakta seputar stunting juga menunjukkan kenyataan pahit betapa lambatnya penurunan angka stunting di negeri kita, kendati pemerintah sudah begitu jorjoran menggelontorkan dana.
Fakta-fakta tersebut baru secuil yang terindra. Ironis, solusi yang selama ini pemerintah berikan tidak mampu menyentuh akar masalah. Pemerintah lebih sibuk dengan berbagai slogan, formalitas, dan wacana, tetapi sejatinya abai dengan nasib rakyatnya.
Sejenak marilah kita lebih mendetail dan mendalami kompleksnya permasalahan anak, tidak sebatas rapuh maupun rendahnya kualitas kepribadian anak, format keluarga pun makin jauh dari fungsinya sebagai tempat pertama dan utama pendidikan anak yang turut mengambil peran.
Sekularisasi dan sekularisme sungguh marak di tengah keluarga. Liberalisasi akidah justru berasal dari kalangan keluarga sendiri. Kasus kekerasan terhadap anak sering kali dilakukan oleh anggota keluarganya. Pengabaian hak nafkah dan hak hidup anak juga tersebab oleh orang dekat mereka.
Secuil potret buram keluarga ini tidak bisa dimungkiri merupakan wujud makin jauhnya mayoritas keluarga muslim di Indonesia dari aturan agamanya sendiri, yakni Islam. Meski pendidikan berbasis akidah Islam begitu vital di tengah keluarga, hal ini tidak lantas membuat faktor lain kita lupakan.
Ini semua karena posisi keluarga tidak bisa berdiri sendiri. Keluarga hanyalah unit terkecil kehidupan seorang manusia yang sejatinya terkait erat dengan berbagai faktor lain di luar sana. Namun, ketika peran keluarga lemah, padahal keluarga adalah benteng terakhir dan semestinya teraman bagi kehidupan anak, peluang terampasnya hak anak juga makin besar.
Selain keluarga, ada sistem pendidikan yang punya peran vital dalam menunaikan hak anak. Namun, profil sistem pendidikan saat ini sudah sangat menyedihkan akibat komersialisasi dan kapitalisasi. Akibatnya, pendidikan pun beralih fungsi dari pencerdasan menjadi pembodohan generasi.
Komersialisasi dan kapitalisasi, apalagi zonasi, tidak hanya mendiskriminasi dan mendikotomi sekolah negeri dengan swasta. Lebih dari itu, semua itu secara tidak langsung telah membuat anak didik jadi putus sekolah. Akhirnya, hanya siswa dari kalangan berpunyalah yang mampu sekolah. Demikian halnya dengan zonasi, hanya siswa yang rumahnya dekat sekolah sajalah yang seolah-olah “berhak” mengenyam pendidikan, itu pun jika haknya tidak terampas oleh beragam kecurangan.
Ini masih belum bicara kurikulum yang tidak kalah karut marutnya. Kurikulum saat ini konon memerdekakan siswa untuk belajar sesuai minat, ini sungguh menghancurkan tatanan materi pembelajaran di jenjang pendidikan.
Sejatinya, ada kondisi-kondisi yang mengharuskan adanya kurikulum baku bagi pendidikan. Hal ini selanjutnya ditunjang oleh aspek-aspek teknis berwujud pembelajaran praktis yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa menurut jenjang pendidikannya. Bukan malah seperti sekarang yang diserahkan pada peminatan atas nama “merdeka belajar”.
Bayangkan, bagaimana hendak memberikan pembelajaran berbasis akidah Islam yang mutlak dibutuhkan oleh setiap individu muslim jika koridor belajarnya saja menurut peminatan? Apakah dalam persoalan akidah itu lantas bisa sesuka hati? Sungguh, inilah sejatinya wujud pembodohan generasi karena segala sesuatunya dikawal oleh sekularisasi.
Sengkarutnya sistem ekonomi di negeri ini tidak perlu diragukan lagi. Disparitas ekonomi terwujud nyata antara si miskin dan si kaya. Anak-anak dari keluarga kaya begitu bergelimang fasilitas mewah, sedangkan anak-anak yang berlatar belakang keluarga miskin kesulitan untuk membeli sepatu karena harus bertarung sengit dengan kebutuhan dapur.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, persentase anak-anak lebih tinggi dalam struktur penduduk miskin Indonesia pada 2022. Mereka paling banyak berasal dari kategori anak usia di bawah lima tahun (0-4 tahun), yakni sebesar 12,93% dari total penduduk miskin pada Maret 2022. Angka ini melampaui persentase kemiskinan semua umur yang besarnya 9,54%.
Untuk diketahui, indeks kedalaman kemiskinan adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, sedangkan indeks keparahan kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Makin tinggi indeks kedalaman kemiskinan, menunjukkan rata-rata pengeluaran yang makin jauh dari garis kemiskinan. Makin tinggi indeks keparahan kemiskinan menunjukkan ketimpangan pengeluaran antaranak miskin.
Realitas tersebut menunjukkan angka kemiskinan anak masih menjadi PR besar di negeri ini. Sistem ekonomi kapitalisme terbukti gagal menyejahterakan anak, juga masyarakat pada umumnya. Sebagai catatan, kesehatan berupa perbaikan nutrisi bagi anak-anak dan pendidikan mereka sejak usia dini adalah bekal untuk memutus kemiskinan. Namun, ketika sengkarut sistem ekonomi berkelindan dengan karut marutnya sistem pendidikan, ini menegaskan kualitas generasi di negeri kita benar-benar dalam kondisi terancam. Oleh karena itu, lagi-lagi permasalahan anak ini memang sistemis.
Islam memandang penting keberadaan anak karena mereka adalah generasi unggul penerus peradaban. Tentu saja, negara wajib untuk menjamin pemenuhan kebutuhan anak di dalam berbagai aspek. Satu hal yang pasti, anak tidak membutuhkan slogan dan wacana agar haknya terpenuhi dan tertunaikan. Sebaliknya, mereka membutuhkan aksi nyata berupa kebijakan pemerintah yang bervisi mengurus dan melayani urusan rakyatnya.
Berawal dari akidah, penguasa di dalam sistem Islam (Khilafah) memiliki kebijakan khusus untuk menjaga akidah individu warganya. Ini memungkinkan akidah warga tidak mudah tercemar oleh ide-ide selain Islam. Khilafah akan menutup berbagai celah masuk bagi pemikiran asing sehingga kondisi akidah Islam warga di dalam negeri senantiasa kental dengan suasana keimanan dan ketaatan pada hukum syarak. Khilafah juga akan mengatur arus opini di media massa agar yang berkembang hanyalah ide-ide bermotif amar makruf nahi mungkar.
Berikutnya, Khilafah berperan untuk mewujudkan fungsi keluarga yang optimal dalam mendidik anak. Khilafah menjamin pendidikan pranikah bagi para calon pengantin, membumikan konsep nasab dan keluarga sakinah, menegaskan posisi qawamah (kepemimpinan) kaum laki-laki bagi para calon ayah dan pencari nafkah, meluruskan fungsi dan naluri keibuan sebagai bekal pengasuhan (hadanah dan kafalah) sehingga mampu menjadi sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya, memastikan pelaksanaan pendidikan keluarga berbasis akidah Islam, serta memosisikan keluarga sebagai inkubator para pengemban dakwah.
Di luar keluarga, Khilafah berperan menyelenggarakan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang bertarget besar untuk menghasilkan generasi unggul berkepribadian Islam, pengisi peradaban, dan siap terjun ke masyarakat untuk mengemban dakwah. Pendidikan dalam Khilafah jauh dari format komersial sebagaimana dalam sistem kapitalisme, sebaliknya justru gratis dan berkualitas.
Selanjutnya pada sistem ekonomi, Khilafah wajib menjamin kesejahteraan ekonomi tiap individu rakyat, baik anak-anak maupun dewasa, dengan standar kecukupan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) secara individu per individu.
Khilafah wajib menjamin jalur nafkah para ayah/suami melalui ketersediaan lapangan pekerjaan dengan daya serap tenaga kerja yang banyak dan beragam. Khilafah juga menjamin iklim usaha dan ekonomi yang kondusif sehingga rakyat bisa melakukan aktivitas jual beli tanpa khawatir ada upaya penipuan dan mafia komoditas. Khilafah juga menyediakan fasilitas publik secara gratis dan memadai, seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi.
Selain itu, masyarakat pada masa Khilafah adalah masyarakat yang pemikirannya sehat sehingga mereka paham benar dengan peran mereka dalam rangka kontrol sosial dan amar makruf nahi mungkar, baik kepada sesamanya maupun dalam bentuk aktivitas muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa).
Khilafah merupakan negara yang tegas dan tuntas dalam menerapkan sistem sanksi. Sanksi tersebut adalah sanksi yang bersifat menjerakan pelakunya dan mencegah orang lain untuk melakukan kesalahan/tindak pidana yang sama.
Demikianlah, Khilafah adalah negara yang memiliki lingkungan pemikiran yang sehat dan kondusif bagi terciptanya anak-anak dan generasi yang unggul pengisi peradaban Islam.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar