EVALUASI KINERJA REZIM JOKOWI JELANG LENGSERNYA, 20 OKTOBER 2024


Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat

Catatan Reportase Evaluasi 10 Tahun Kekuasaan Jokowi, Jakarta, 15 Juli 2024. Ada sebagian orang yang komplain, kenapa 20 Oktober 2024 disebut Jokowi lengser? Bukanlah 20 Oktober Jokowi memang selesai dari jabatannya sebagai Presiden RI periode kedua?

Jawabnya adalah, karena kritik publik yang keras terhadap wacana Presiden tiga periode dan penundaan Pemilu untuk memperpanjang usia kekuasaan Jokowi, akhirnya memaksa Jokowi lengser pada 20 Oktober 2024. Kalau tidak ada kritik publik, bukan mustahil jabatan Jokowi tidak berakhir 20 Oktober 2024 namun lanjut 3 periode.

Karena itulah, kami menggunakan istilah 'lengser' untuk mendeskripsikan berakhirnya kekuasaan Jokowi 20 Oktober 2024 nanti.

Alhamdulilah, Senin kemarin, tanggal 15 Juli 2024, acara Evaluasi Total Kinerja Rezim Jokowi Jelang Lengser 20 Oktober 2024 Part 1 sukses terselenggara. Sejumlah narasumber seperti:
  • Bang Eggi Sudjana (Ketua TPUA);
  • Bang Refly Harun (Ahli Hukum Tata Negara);
  • Bang Edy Mulyadi (Wartawan Senior);
  • Bang Aziz Yanuar (Advokat FPI);
  • Bang Ismar Syafrudin (Kuasa Hukum Ustadz Farid Okbah dkk);
  • Bang Azam Khan (Sekjen TPUA);
  • Pak Gamari Sutrisno (Cendekiawan/Akademisi);
  • Bang Juju Purwantoro (Advokat Umat);
  • Buya Fikri Bareno (Ulama);
  • Ustadz Eka Jaya (Ketua Umum Ormas Pejabat) dan;
  • Penulis sendiri bisa hadir.

Hanya saja Bang Taufik Baha'uddin (UI WATCH) berhalangan hadir, karena agenda bersamaan. Seyogyanya, beliau akan menyampaikan pandangan seputar banyaknya kebijakan nir-logika di era Jokowi, yang hanya berdasarkan semangat kerja, kerja, kerja, tanpa memikirkan dampaknya bagi masa depan bangsa.

Kekuasaan Jokowi sudah dijalankan keluar dari konstitusi, Jokowi telah melakukan banyak pelanggaran konstitusi dari soal ijazah palsu, mobil Esemka, proyek IKN hingga hadiah status PSN untuk PIK 2 dan BSD.

Untuk Evaluasi Pertama, disampaikan oleh Bang Eggi Sudjana. Ketua TPUA ini menyoroti banyaknya ulama & aktivis dizalimi, problem disfungsi parlemen, hingga kasus ijazah Palsu Jokowi. Bang Eggi juga memaparkan kronologi TPUA menggugat Jokowi & DPR RI tentang ingkar janji dan kebohongannya di PN Pusat, mendampingi Bambang Tri menggugat ijazah Palsu Jokowi, mendampingi Gus Nur yang dikriminalisasi Jokowi di PN Solo akibat mengkritik Ijazah Palsu Jokowi.

Diakhir, Bang Eggi menyampaikan Kesimpulan & Rekomendasi, pasca lengser kasus ijazah palsu harus dituntaskan. Semua kebohongan Jokowi harus diadili, Jokowi harus dipenjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Berikutnya, Bang Edy Mulyadi menyampaikan paparan soal Proyek IKN yang mengkonfirmasi Jokowi hanya mementingkan oligarki, bukan kepentingan rakyat. Sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) sejatinya bukan dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi lebih kepada menyiapkan lapak bisnis untuk kepentingan oligarki.

Status PSN pada Proyek PIK 2 dan BSD juga disorot, proyek ini disebut konfirmasi Negara dalam melegalisasi perampasan tanah rakyat untuk kepentingan lapak bisnis oligarki properti.

Diakhir, Bang Edy menyampaikan Kesimpulan & Rekomendasi, agar dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap PSN era Jokowi, batalkan Proyek IKN pro oligarki, dan menuntut cabut status PSN untuk PIK 2 dan BSD.

Bang Aziz Yanuar menyampaikan paparan seputar tragedi pembantaian KM 50. Kasus KM 50 hingga saat ini, belum ada satupun pihak yang bertanggungjawab dan diberi sangksi hukum.

Pengadilan terhadap 2 Anggota polisi di PN Jaksel, hanyalah dagelan hukum yang tidak lucu, yang dibuat di atas 6 mayat anak bangsa yang menderita.

Problem Unwilling dan Unable, menjadi kendala pengusutan kasus. Kasus KM 50 Bukan hanya kasus keluarga 6 Ikhwan, bukan kasus FPI, tetapi kasus keumatan dan merupakan tragedi bagi kemanusiaan, seperti kasus lainnya: Kanjuruhan, Demo Bawaslu, Demo di MK, korban KPPS, dll.

Kasus KM 50 merupakan legacy tangan Jokowi yang berlumuran darah, saat memimpin negeri ini. Kesimpulan & Rekomendasi yang disampaikan adalah untuk kembali mengangkat kasus KM 50 di Pengadilan HAM, seret semua yang terlibat untuk bertanggungjawab di muka hukum.

Buya Fikri Bareno menyampaikan paparan di Era Jokowi, Ajaran dan agama Islam banyak dilecehkan, dari kasus penistaan Al Qur'an oleh Ahok, kriminalisasi ajaran Islam Khilafah dan pembungkaman HTI, pembungkaman FPI, hingga penangkapan Ust Abdul Qadir Baradja pemimpin Khilafatul Muslimin.

Islam dan ajarannya, diposisikan sebagai ancaman. Umat Islam dianggap musuh. Sementara sekulerisme liberal, begitu bebas membuat kerusakan, maksiat makin merajalela, hingga hanya di era Jokowi makanan haram di festivalkan (Festival Non Halal Solo).

Beliau menyampaikan Kesimpulan & Rekomendasi, para ulama harus terdepan memimpin umat, melakukan aktivitas dakwah, siapapun pemimpinnya. Umat Islam, harus fokus berjuang bersama ulama untuk tegaknya syariat Islam. Rezim Jokowi harus diseret di pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Lalu ada Pak Gamari Sutrisno yang diminta memaparkan soal Di Era Jokowi terjadi puncak kerusakan moral bangsa dan pelemahan pertahanan negara, dari masalah game online, pinjaman online, judi online, hingga kebocoran pusat data nasional. Kasus laut Natuna Utara yang diintevensi China, serbuan TKA China, penguasaan tambang nikel oleh perusahan China, Hinga perpanjangan pengelolaan tambang emas Papua oleh Amerika, menjadi konfirmasi rezim Jokowi ada dibawah kendali aseng dan asing.

Bang Juju Purwantoro menegaskan di Era Jokowi penegakan hukum kacau balau, lembaga penegakan hukum rusak parah.

Selain KPK, institusi penegak hukum yang paling rusak adalah kepolisian. Kasus pembunuhan berencana Brigadir Josua oleh Sambo, Kasus polisi Beking Narkoba Teddy Minahasa, kasus dugaan pembunuhan remaja di Padang oleh polisi hingga rekayasa kasus Vina Cirebon, mengkonfirmasi lembaga kepolisian sedang sakit parah.

Kerusakan hukum di negeri ini tidak lepas dari kesalahan Jokowi yang menjadikan aparat penegak hukum sebagai alat kekuasaan. Kesimpulan & Rekomendasi yang disampaikan adalah agar fungsi lembaga penegak hukum dikembalikan, adili abuse of power yang dilakukan Jokowi selama memimpin dua periode.

Bang Ismar Syafrudin memaparkan proses kriminalisasi Ulama di era Jokowi sampai pada titik puncaknya, hingga ulama selembut Ustadz Farid Okbah yang pernah diundang ke istana oleh Jokowi, Ustadz Ahmad Zain an Najah dan Ustadz Anung Al Hamad dituduh dan dipenjara dengan kasus terorisme.

Kasus terorisme lebih terlihat sebagai kasus yang mendeskreditkan Islam dan umatnya, karena yang disasar hanya ulama dan aktivis Islam.

Bang Ismar menegaskan pentingnya sinergi bersama umat, untuk melawan isu War on Terorism yang sejatinya adalah War on Islam. Dirinya saat ini juga sedang menangani kasus terorisme yang sudah divonis inkrah yang harusnya sudah dipindah di Lapas, tapi masih tetap ditahan di Rutan Cikeas.

Kesimpulan & Rekomendasinya adalah hentikan terorisasi dan kriminalisasi ulama dan aktivis, berdalih perang melawan terorisme.

Sebagai Sekjen TPUA, Bang Azam Khan menegaskan di Era Jokowi paling banyak Ulama dan aktivis yang dikriminalisasi, dari Habib Rizieq, Ustadz Alfian Tanjung, Gus Nur, Ali Baharsyah, Eggi Sudjana, Ustadz Farid Okbah, Roy Suryo, Rocky Gerung, Edy Mulyadi, dll.

TPUA berkomitmen untuk terus membela dan mendampingi para ulama & aktivis yang dizalimi rezim Jokowi. TPUA memandang seluruh kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis adalah dampak dari kebijakan era Jokowi yang anti kritik, anti ulama, anti Islam.

Pembungkaman terhadap HTI & FPI harus dilawan, karena kedua ormas ini adalah simbol perjuangan umat Islam. Kesimpulan & Rekomendasinya, ulama & aktivis bersatu, tuntut pertanggungjawaban Jokowi, meski telah lengser dari jabatannya.

Ustadz Eka Jaya menegaskan Proses Pemilu di era Jokowi, baik pada periode pertama hingga periode kedua, adalah Pemilu dan Pilpres yang paling buruk.

Banyak catatan pelanggaran Pemilu, yang akhirnya hanya dilegitimasi oleh lembaga yang berwenang, baik oleh KPU, MK hingga MA. Rakyat tidak mendapatkan pemimpin yang dikehendaki, melainkan pemimpin yang disiapkan oligarki yang didukung penuh oleh kekuasaan dan kekuatan uang.

Kesimpulan & Rekomendasinya, perkuat persatuan dan konsolidasi antara elemen ulama dan aktivis, juga tokoh nasional untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan.

Adapun Bang Refly Harun diakhir Evaluasi, menyampaikan alasan kenapa Jokowi masih begitu ngotot untuk terus cawe-cawe, padahal akan segera selesai. Paling tidak ada 4 (empat) alasan.

Pertama, Jokowi khawatir kasus korupsinya dituntut, kasus Korupsi keluarga Jokowi yang dilaporkan Ubedilah Badrun bisa diproses pasca Jokowi tidak berkuasa. Karena itu, Jokowi sekuat tenaga ingin terus berkuasa agar bisa menutupi kejahatan korupsi dirinya, keluarga dan kroninya.

Kedua, Jokowi juga takut kasus kejahatan kemanusiaan di era kepemimpinanya khususnya terkait tragedi pembantaian KM 50 menyeret dirinya ke penjara. Jokowi ingin terus berkuasa, termasuk melalui manuver dibentuknya DPA untuk bungker politik Jokowi pasca berhenti dari Presiden.

Ketiga, Jokowi ingin menjaga dan memelihara politik dinastinya setelah sukses menempatkan Gibran sebagai Wapres. Berikutnya, menempatkan menantunya Boby Nasution sebagai Gubernur di Pilkada Sumut dan Kaesang di Pilkada Jakarta.

Keempat, Jokowi ingin tetap menjaga hubungan patron klien dengan kepentingan oligarki dan asing dibalik layar. Dia ingin menegaskan, komitmen oligarki dan asing tetap harus lewat dirinya, tidak perlu melalui Prabowo, kendati Jokowi tak lagi berstatus sebagai Presiden.

Diakhir agenda, penulis membacakan dokumen Evaluasi. Selanjutnya, acara pun selesai. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dan memberikan andil atas suksesnya agenda ini. Jelang 20 Oktober 2024 nanti, insyaallah akan diadakan agenda Evaluasi Part 2.

Posting Komentar

0 Komentar