
Oleh: Ummu Aidzul
Tenaga Pendidik
Merasa dibohongi. Mungkin ini yang tengah dirasakan sebagian masyarakat di Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung. Pasalnya, hampir 3 bulan ini masyarakat setempat melakukan pengurusan tanah melalui PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap). Berdasarkan sosialisasi pada 6 desa, yang menyatakan pengurusannya gratis alias tidak dipungut biaya. Namun pada prakteknya harus membayar sebesar Rp150 ribu.(Kejakimpolnews.com, 4 Juli 2024)
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap atau disingkat PTSL ini merupakan program dari Kementerian BPN untuk semua kalangan masyarakat yang ingin mendaftarkan surat tanah dengan harga terjangkau. Dalam pelaksanaannya di lapangan banyak melibatkan aparatur desa. Masyarakat mendapatkan informasi bahwa pendaftaran surat tanah melalui PTSL ini tidak dipungut biaya. Ternyata ada beberapa proses yang dipungut biaya yakni pada proses pengurusan sampai pajak, dibebankan kepada pemohon. Namun pemerintah mengatur besarnya biaya berkisar di angka Rp150-Rp450 ribu.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan, padahal pelayanan penerbitan sertifikat hakikatnya adalah hak setiap warga negara. Tidak sepatutnya pelayanan terhadap rakyat itu berbayar. Sertifikat tanah merupakan bukti kepemilikan atas sebidang tanah. Seseorang yang memiliki sebidang tanah haruslah memiliki sertifikat sebagai bukti kepemilikannya. Akan tetapi, karena besarnya biaya pengurusan pencatatan tanah, terkadang bukti kepemilikan hanya berupa surat jual beli saja.
Maka ketika ada program PTSL yang katanya gratis untuk pengurusan sertifikat tanah tentu memberikan angin segar bagi warga. Meski pada akhirnya mereka kecewa karena ternyata gratis yang dimaksud justru tidak sepenuhnya.
Inilah yang terjadi pada sistem pemerintahan yang berasaskan kapitalisme. Materi menjadi ukuran atas perbuatan. Begitu pula pelayanan kepada masyarakat justru cenderung mengambil keuntungan dari kesulitan masyarakat. Alih-alih menjadi pengayom masyarakat, saat ini hanya sebagai pembuat regulasi yang minim bahkan kerap abai dengan pengurusan rakyat.
Padahal ketika rakyat sudah tinggal dan menggarap di suatu lokasi bahkan secara turun temurun dari leluhurnya tentu mereka adalah pemilik lahan yang sebenarnya. Namun hal ini tidak berlaku dalam kapitalisme. Ketika kepemilikan tanah tidak dibuktikan dengan sertifikat, tidak dianggap sebagai pemilik yang sah. Begitu pula ketika bukti kepemilikan hanya berupa surat jual beli, belum dianggap sah tanpa legalitas berupa sertifikat tanah. Sementara mengurus surat sertifikat tanah ini sangat rumit serta berbiaya tinggi. Ketika ada yang "katanya" gratis, ternyata tidak sepenuhnya.
Selain sulit dan mahalnya pengurusan sertifikat, di sistem kapitalisme pula negara justru lebih berpihak pada korporat dibanding rakyat, contohnya kasus Rempang. Tanah yang seharusnya menjadi milik rakyat seringkali justru diserahkan kepada pemilik modal maupun pihak asing. Masyarakat pulau Rempang yang justru harus meninggalkan tanah yang telah ditempatinya selama ratusan tahun. Pemerintah mengusir paksa penduduk asli demi memuluskan proyek bersama pihak swasta.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang justru sangat melindungi kepemilikan individu. Islam mengatur ada 3 macam kepemilikan harta termasuk lahan, yakni:
Pertama, kepemilikan individu, yaitu harta yang diperoleh seseorang melalui hasil bekerja, warisan, hibah, atau pemberian negara (iqtha addaulah). Contoh dari kepemilikan individu adalah kendaraan, rumah, tanah, dan lainnya.
Kedua, kepemilikan umum, yakni barang-barang yang diperlukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dan mereka boleh memanfaatkannya secara bersama-sama. Harta kepemilikan umum misalnya air, sumber energi, hasil hutan, dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ yaitu:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Ketiga, kepemilikan negara, yakni harta yang di dalam syariat pemanfaatannya ada di tangan negara. Dalam sistem ekonomi Islam harta jenis ini misalnya adalah ghanimah, rikaz, fa'i, kharaj, dan jizyah.
Amat disayangkan betapa saat ini, di sistem kapitalisme sekuler, sertifikat merupakan tanda bukti kepemilikan tanah dengan segala keruwetannya, baik dari segi kepengurusan maupun biaya pengurusannya. Tapi tidak demikian dengan sistem Islam yang komprehensif. Ia memiliki aturan yang khas tentang pertanahan. Negara akan mengakui tanah milik individu baik yang diperoleh melalui jual beli, warisan, maupun menghidupkan tanah mati.
Pemimpin dalam Islam akan mengurus urusan rakyatnya dengan profesional. Karena asas pemerintahannya yaitu wajib mengurus urusan rakyat. Karena itulah pemimpin dalam Islam sebagai raa'in (pengurus) rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ yakni:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Maka pengurusan sertifikat tanah akan gratis jika pemerintahnya memiliki visi untuk mengurus rakyat, bukan berdagang dengan rakyat seperti kapitalisme. Sehingga upaya untuk menerapkan sistem Islam secara kaffah merupakan hal yang harus diupayakan oleh kita semua.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar