
Oleh: Rika Dwi Ningsih
Jurnalis Lepas
Polemik terkait revisi Undang-Undang Pilkada semakin memanas setelah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengabaikan dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru-baru ini dikeluarkan. Revisi ini dinilai sebagai langkah mundur yang tidak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga menunjukkan kecenderungan DPR untuk mengakomodasi kepentingan elit politik di atas kedaulatan hukum.
Dalam beberapa hari terakhir, jagat sosial media diramaikan dengan seruan "darurat demokrasi." Banyak yang mengecam DPR karena dianggap membangkang putusan MK Nomor 60 dan Nomor 70, yang masing-masing berkaitan dengan syarat ambang batas pencalonan Pilkada dan batas usia calon gubernur.
Ahmad Khozinudin, seorang sastrawan politik, dalam opininya yang berjudul "Darurat Khilafah," menyoroti bagaimana DPR RI melalui Badan Legislasi (Baleg) dengan cepat merespons putusan MK tersebut. "Fenomena putusan MK diabaikan DPR, DPR kembali mengadopsi norma perundangan yang substansi bahkan hingga redaksinya telah dibatalkan MK, itu lazim dan biasa dilakukan DPR," tulisnya.
Putusan MK Nomor 60 mengurangi syarat ambang batas perolehan kursi atau suara partai untuk pencalonan dalam Pilkada, yang sebelumnya dinilai terlalu tinggi dan menguntungkan koalisi besar seperti Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus). Sementara itu, Putusan MK Nomor 70 memutuskan bahwa syarat usia 30 tahun bagi calon gubernur dan wakil gubernur harus dihitung sejak penetapan calon oleh KPU, yang secara langsung menggagalkan upaya Jokowi untuk memajukan putranya, Kaesang Pangarep, dalam Pilkada Jawa Tengah.
Namun, DPR justru berencana merevisi UU Pilkada dengan mengembalikan syarat usia 30 tahun tersebut dihitung saat pelantikan, bukan penetapan calon, yang jelas-jelas bertentangan dengan putusan MK. "Tindakan DPR yang membangkang pada Putusan MK Nomor 60, yang nantinya akan membuat norma baru yang substansinya kembali ke ambang batas 20% perolehan kursi atau 25% total perolehan suara, atau norma lain yang senafas, sejatinya bukanlah mandat hukum dan konstitusi melainkan mandat kedaulatan oligarki dan kartel politik di KIM Plus," ungkap Khozinudin.
Kondisi ini, menurut Khozinudin, bukan sekadar masalah darurat demokrasi, tetapi lebih dalam lagi, menunjukkan kerusakan sistem demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang selama ini diklaim sebagai sistem yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan supremasi hukum, ternyata hanya menjadi alat permainan oligarki dan elit politik. "Artinya, ide kedaulatan rakyat dalam demokrasi itu utopia, hanya mimpi, karena kenyataannya yang berdaulat dalam demokrasi adalah penguasa, dalam hal ini Jokowi," tegasnya.
Dengan semakin terungkapnya borok-borok demokrasi ini, Khozinudin menegaskan perlunya umat untuk mencari alternatif sistem yang lebih baik. Dalam opininya, ia menyebut bahwa saat ini umat berada dalam kondisi darurat Khilafah. "Umat darurat Khilafah untuk menegakkan kedaulatan Syara' dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah," tutupnya.
Langkah DPR RI yang membangkang terhadap putusan MK ini tidak hanya mengancam prinsip demokrasi, tetapi juga semakin memperkuat pandangan bahwa sistem demokrasi di Indonesia telah kehilangan esensinya sebagai sistem yang mewakili kedaulatan rakyat. Perdebatan ini diperkirakan akan terus memanas seiring dengan semakin dekatnya Pemilu 2024.
0 Komentar