
Oleh: Darul Iaz
Jurnalis Lepas
Jakarta - Polemik terbaru kembali mencuat terkait proses revisi Undang-Undang Pilkada oleh DPR. Keputusan DPR yang tampak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024 memunculkan gelombang kritik dari berbagai pihak. Sebelumnya, MK telah menetapkan bahwa syarat usia minimal calon gubernur 30 tahun harus dipenuhi saat penetapan calon, namun DPR justru memilih untuk mengadopsi norma syarat usia yang dihitung saat pelantikan, berdalih mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA).
Ahmad Khozinudin, seorang sastrawan politik, menyampaikan kritik keras terhadap keputusan DPR tersebut. "Miris! MK adalah Mahkamah Konstitusi. Dalam menafsirkan norma perundangan, MK adalah lembaga peradilan tertinggi. Keputusan MK bersifat final dan mengikat. Tapi nampaknya, MK harus berlutut di hadapan DPR," ungkapnya dalam sebuah opini.
Ahmad Khozinudin menambahkan bahwa tindakan DPR ini telah mencederai kedaulatan hukum dan merusak integritas demokrasi di Indonesia. "Bagaimana mungkin, putusan MK dikesampingkan oleh DPR hanya berdalih putusan MA? Secara hierarki, putusan MK lebih tinggi ketimbang MA. Republik ini benar-benar kacau!" tuturnya.
Keputusan DPR untuk tetap mempertahankan syarat usia 30 tahun dihitung saat pelantikan calon gubernur, dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk dukungan tersembunyi terhadap Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo. Dengan keputusan ini, peluang Kaesang untuk maju dalam Pilkada Jawa Tengah kembali terbuka lebar.
"DPR pasang badan untuk Kaesang, putra Jokowi. Tindakan DPR yang mengencingi putusan MK ini, makin menegaskan betapa bobroknya sistem politik demokrasi. Kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dalam demokrasi hanya basa-basi," pungkas Ahmad Khozinudin.
Dalam sidang DPR yang berlangsung, mayoritas partai politik termasuk PKS, Gerindra, PPP, Golkar, Demokrat, dan NasDem menyatakan setuju dengan revisi tersebut. Hal ini semakin menegaskan posisi DPR yang seolah berada "di bawah ketiak" kekuasaan, yang dalam hal ini, diwakili oleh sosok Kaesang.
Kondisi ini, menurut Ahmad Khozinudin, menunjukkan betapa lemahnya sistem demokrasi saat ini. Ia menegaskan bahwa rakyat harus mulai berpikir untuk meninggalkan demokrasi dan mencari alternatif yang lebih adil dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan.
0 Komentar