
Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Fenomena politik dalam Pilpres dan Pilkada 2024 ini, membuat umat menjadi paham tentang pentingnya konsistensi memperjuangkan kebenaran. Mengingat, salah satu bentuk benarnya kelompok politik dalam memperjuangkan ide kebenaran adalah sikapnya yang konsisten.
Mulanya, kerusakan itu ditimbulkan oleh rezim Jokowi. Lalu, Koalisi Indonesia Maju yang terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN dan Gelora, mengusung ide Koalisi Indonesia Maju (KIM), untuk melanjutkan legacy kezaliman Jokowi. Koalisi ini, memaksakan Gibran sebagai anak haram konstitusi menjadi Cawapres Prabowo Subianto.
Lalu, muncul gerakan perubahan yang diusung oleh PKS, PKB & NasDem. Koalisi ini, akhirnya kalah Pilpres, gagal mengusung Anies Baswedan sebagai Presiden.
Setelah kalah Pilpres, tiba-tiba PKS, PKB & NasDem bergabung ke KIM Plus. Alasannya macam-macam, ada yang berdalih maslahat, adapula yang berdalih demi kepentingan bangsa dan negara. Namun, yang paling rajih adalah demi kekuasan sebagai tujuan dibentuknya partai politik.
Lalu, posisi PKS, PKB & NasDem tidak lagi konsisten. Telah berubah mendukung KIM Plus, yang merupakan kepanjangan rezim Jokowi, rezim yang semula ditentang dan dilawan dengan narasi perubahan.
Disisi lain, muncul PDIP yang tiba-tiba berhadapan dengan rezim Jokowi. Hanya saja, sikap PDIP ini bukan dilatarbelakangi pembelaan terhadap rakyat, melainkan karena pecah kongsi dengan Jokowi. Sebelumnya, nyaris 9 tahun PDIP membekingi kebijakan zalim rezim Jokowi.
Karena itu, seluruh Parpol nyaris tidak ada yang konsisten. Kesetiaan mereka hanya pada kekuasan, baik kekuasan itu diraih dengan berkoalisi dengan penguasa atau mencari simpati rakyat dengan mengambil peran beroposisi.
Ditengah kebingungan umat akan konsistensi perjuangan partai, Hizbut Tahrir telah mempelopori sebagai partai politik yang konsisten. Konsistensi Hizbut Tahrir telah teruji dalam dua keadaan, yaitu:
Pertama, meski mendapat perlakuan represi dari rezim Jokowi, Hizbut Tahrir tetap konsisten mendakwahkan ajaran Islam, Syariah & Khilafah. Represi rezim Jokowi tidak mengubah visi misi Hizbut Tahrir untuk tetap melanjutkan kehidupan Islam, dengan menerapkan Syariah & Khilafah dalam institusi Khilafah.
Ide Syariah & Khilafah yang makin dikenal luas, tidak lepas dari peran Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir tidak mengubah metode dakwah, menjadi gerakan kemaslahatan, gerakan pendidikan, atau gerakan spiritual. Hizbut Tahrir tetap konsisten bergerak dalam core dakwah politik (siyasah).
Kedua, meski ada godaan untuk menjadi partai politik yang terlibat dalam sistem demokrasi, meraih kekuasaan dalam sistem demokrasi, Hizbut Tahrir tidak pernah mengubah metode perjuangannya yakni dengan dakwah Islam, dan tetap konsisten menyampaikan demokrasi sebagai sistem kufur, sumber kerusakan umat manusia.
Mengenai hal yang kedua ini, penulis pernah berdiskusi dengan Ketua DPD PAN Kabupaten Tuban, yang menyatakan bahwa kalau Hizbut Tahrir mau ikut Pemilu, menurut kalkulasinya suara Hizbut Tahrir lolos parlemen. Bahkan, perolehan suaranya diprediksi melebihi suara PAN.
Namun penulis tegaskan bahwa metode perjuangan Hizbut Tahrir adalah dengan dakwah, meneladani dakwah Rasulullah Saw ketika mendirikan Daulah Islam di Madinah. Perjuangan Hizbut Tahrir tidak pernah bergeser, meskipun hanya sehelai rambut. Tidak berubah karena tawaran kekuasaan, tidak pula berpaling karena ancaman dan represi.
Jadi, bagi siapapun yang menghendaki perubahan ke arah Islam, dan menginginkan bergabung dengan entitas politik yang memperjuangkannya, maka Hizbut Tahrir dapat menjadi pilihannya. Hanya saja, berjuang untuk Islam tak harus bergabung dengan Hizbut Tahrir melainkan harus setia, loyal dan konsisten dengan syariat, yakni selalu terikat dengan hukum Syara'.
0 Komentar