
Oleh: Diaz
Penulis Lepas
Pada 20 Maret 2024, ratusan pengungsi Rohingya ditemukan terombang-ambing di perairan Aceh Barat setelah kapal mereka karam. Dari 149 penumpang, hanya 75 orang yang selamat dan berhasil mencapai daratan, sementara sisanya tewas dan hilang di lautan. Peristiwa ini disebut oleh PBB sebagai salah satu tragedi terburuk yang terjadi pada era modern.
Tragisnya, kejadian ini justru memicu kebencian di sebagian masyarakat Indonesia. Di media sosial, disinformasi dan ujaran kebencian menyebar luas, memperburuk situasi. Narasi Newsroom, bersama Mones Data and Democracy Research Hub, melakukan investigasi mendalam terhadap fenomena ini dengan menganalisis 15.000 postingan di Facebook, Instagram, dan Twitter, serta lebih dari 3.700 video di TikTok yang terkait dengan isu Rohingya.
Hasilnya, ditemukan bahwa dalam waktu kurang dari tiga bulan, kampanye terorganisir di media sosial mampu mengubah pandangan publik terhadap pengungsi Rohingya. Data menunjukkan bahwa sejak November 2023 hingga Februari 2024, jumlah konten dan interaksi yang membahas pengungsi Rohingya melonjak signifikan. Sebanyak 1,08 juta konten tercipta, meningkat 313% dibandingkan periode sebelumnya. Keterlibatan pengguna media sosial juga melonjak hingga 2.300%, dari 2,37 juta menjadi 57,7 juta.
Namun, konten-konten ini didominasi oleh disinformasi yang memicu kebencian. Misalnya, narasi bahwa Rohingya akan menjajah Indonesia, merusak fasilitas umum, atau bahkan terkait perdagangan manusia yang difasilitasi oleh UNHCR. Dari narasi kebencian di dunia maya tersebut memuncak hingga menyebabkan aksi pengusiran pengungsi Rohingya di Aceh oleh sekelompok mahasiswa terjadi.
Analisis lebih lanjut dari tim investigasi menunjukkan adanya pola terorganisir dalam penyebaran kebencian ini. Sebagai contoh, pada tiga unggahan Instagram UNHCR terkait pengungsi Rohingya, ditemukan bahwa 91% dari 54.000 komentar berisi ujaran kebencian, yang sebagian besar diorganisir melalui penggunaan bot. Selain itu, 95% dari orang yang melihat unggahan tersebut bukanlah pengikut akun UN Indonesia, data ini menunjukkan bahwa konten-konten tersebut dijangkau oleh orang-orang yang mungkin telah diarahkan untuk menyerang secara sistematis.
Fenomena ini juga terlihat jelas di TikTok, di mana lebih dari 3.700 video terkait Rohingya telah ditonton lebih dari 1,1 miliar kali. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar konten ini diproduksi oleh micro-influencer lalu disebar oleh akun makro-influencer seperti Adi Shahreza dan Ali Hamsa yang memainkan peran besar dalam menyebarkan kebencian terhadap Rohingya.
Tak hanya di TikTok, konten-konten ini juga menyebar ke platform lain seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, memperlihatkan bahwa kebencian ini dipropagandakan secara lintas platform. Salah satu puncak dari penyebaran kebencian ini terjadi pada 26 Desember 2023, bertepatan dengan kampanye politik di Aceh yang dilakukan oleh salah satu calon presiden, Prabowo Subianto. Pernyataan Prabowo yang menekankan pentingnya kepentingan nasional dibandingkan membantu pengungsi, diamplifikasi secara besar-besaran di media sosial dan menjadi bahan bakar bagi tindakan nyata penolakan terhadap pengungsi Rohingya.
Dalam analisis lebih lanjut, ditemukan bahwa banyak akun yang terlibat dalam penyebaran kebencian ini merupakan akun anonim yang mendukung salah satu calon presiden. Pola penggunaan isu imigran atau pengungsi sebagai alat politik bukanlah hal baru, mengingat hal serupa terjadi di berbagai negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.
Jika tidak dikelola dengan bijak, isu Rohingya ini dapat memperburuk sentimen rasial dan menambah ketegangan sosial di Indonesia. Kebencian yang awalnya hanya berkembang di dunia maya kini telah menjelma menjadi tindakan nyata, menandakan perlunya langkah-langkah mitigasi yang cepat dan tepat untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
Note: Artikel ini disusun berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari channel YouTube Narasi Newsroom.
0 Komentar