UJIAN KONSISTENSI UMAT DALAM DINAMIKA POLITIK


Oleh: Diaz
Pengamat Politik dan Perubahan

Kabar tentang kemungkinan Anies Baswedan diusung oleh PDIP dalam Pilkada Jakarta menimbulkan gelombang diskusi yang tajam di kalangan pendukungnya. Isu ini semakin menarik karena Partai Buruh dan Partai Hanura sebelumnya telah menyatakan niatnya untuk mengusung Anies, meski kedua partai ini tidak memiliki kursi yang cukup untuk mengajukan calon. Namun, situasi berubah dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan partai dengan minimal 7,5% kursi untuk mengusung calon dalam Pilkada Jakarta. Hal ini membuka peluang bagi PDIP untuk maju dengan kekuatan 15 kursi yang dimilikinya.

Tindakan PDIP ini tentunya menimbulkan pertanyaan mendasar bagi para pendukung Anies, terutama mereka yang berasal dari kelompok yang selama ini menentang kebijakan-kebijakan PDIP, termasuk saat partai tersebut mengusung Ahok dalam kontestasi politik sebelumnya. Dalam situasi ini, muncul kekhawatiran bahwa pendukung Anies bisa jatuh ke dalam jebakan pragmatisme, memilih calon berdasarkan kalkulasi maslahat atau keuntungan jangka pendek daripada berdiri teguh pada prinsip syariat.

Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa dalam berbagai momentum, rakyat sering kali menghadapi dilema antara idealisme dan pragmatisme. Dalam Pilpres 2019, umat Islam dengan tegas menolak partai yang dianggap sebagai pendukung penista agama, namun apakah ketegasan tersebut masih akan tetap dijaga ketika Anies diusung oleh partai yang sama? Jika dukungan kepada Anies tetap diberikan meski diusung oleh PDIP, maka tidak ada perbedaan signifikan antara keputusan ini dengan tindakan PKS yang memilih mendukung Ridwan Kamil atas dalih maslahat.

Masalah ini mengungkap realitas politik bahwa sering kali, baik partai politik maupun rakyat, terjebak dalam logika pragmatis yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang seharusnya dipegang teguh. Alasan maslahat sering kali tidak lebih dari pembenaran untuk memperoleh keuntungan materi, kekuasaan, atau jabatan, yang dibungkus dengan kata-kata yang seolah-olah bermakna mulia.

Situasi ini juga menekankan pentingnya konsistensi dalam perjuangan politik. Ketika rakyat menuntut konsistensi dari partai politik, mereka juga harus mempertahankan konsistensi dalam sikap dan tindakan mereka. Mengikuti seorang calon hanya karena ia menjanjikan maslahat tanpa mempertimbangkan latar belakang politik dan ideologinya, dapat membuka celah bagi politisi untuk terus mempermainkan rakyat.

Dalam konteks ini, loyalitas umat Islam seharusnya hanya kepada Islam dan hukum syariat. Ketika tidak ada calon yang dianggap ideal, maka golput menjadi pilihan yang sah untuk menghindari beban dosa jariyah akibat mendukung kekuasaan yang merusak. Umat Islam harus terus berjuang menapaki jalan dakwah, menyeru penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan Daulah Khilafah.

Situasi politik ini adalah ujian bagi umat untuk membuktikan komitmennya dalam menjaga konsistensi dan integritas, serta menghindari jebakan pragmatisme yang hanya akan merugikan umat dalam jangka panjang. Dengan demikian, umat Islam perlu terus memperkuat kesadaran politik dan tetap setia pada prinsip-prinsip Islam dalam menghadapi dinamika politik yang ada.

Allahu Akbar!

Posting Komentar

0 Komentar