
Oleh: Darul Iaz
Penulis Lepas
Dalam demokrasi, sering kali kita mendengar istilah "kedaulatan rakyat." Namun, apakah benar rakyat memiliki kendali penuh dalam menentukan pemimpin mereka? Data terbaru mengenai Pilkada Jakarta menggambarkan sebuah realitas yang jauh dari idealisme demokrasi, menunjukkan bagaimana kekuasaan sebenarnya berada di tangan partai politik dan oligarki, bukan di tangan rakyat.
Putusan MK: Harapan yang Berujung Kekecewaan
Awalnya, rakyat menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan batas ambang pencalonan Pilkada, berharap ini akan memberikan kesempatan bagi calon-calon independen yang didukung oleh rakyat untuk maju. Namun, kenyataannya berbeda. DPR mencoba menganulir putusan tersebut dengan mengusulkan RUU Pilkada yang mengembalikan syarat pencalonan ke ambang yang lebih tinggi, 20% jumlah kursi atau 25% dari total perolehan suara. Meski akhirnya RUU ini tidak disahkan karena gelombang protes mahasiswa, namun hasil tersebut masih belum mampu membawa kedaulatan ke tangan rakyat.
Oligarki dan Partai Politik Tetap Mengendalikan
Meskipun syarat pencalonan telah berubah, kendali pencalonan tetap berada di tangan partai politik. Contohnya adalah Anies Baswedan, sosok yang diinginkan banyak warga Jakarta untuk maju sebagai calon Gubernur, namun tetap tidak bisa maju karena tidak mendapat dukungan dari partai politik. PKS, meskipun memiliki cukup kursi untuk mengusung calon sendiri, tetap memilih berkolaborasi dengan koalisi besar (KIM Plus), mengunci kemungkinan Anies untuk maju.
PDIP, di sisi lain, pada saat-saat terakhir memutuskan untuk tidak mengusung Anies, melainkan mengusung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno (Paslon PORNO). Dengan demikian, sekali lagi, keputusan penting ini berada di tangan partai politik, bukan rakyat.
Indikator Ketidakpercayaan Rakyat
Polling yang dilakukan oleh AK Channel dan Republika menunjukkan hasil yang mengecewakan bagi ketiga pasangan calon yang maju. Suara untuk pasangan PORNO, RAKUS (Ridwan Kamil - Suswono), dan DRAKUN (Dharma Pongruken - Kun Wardhana) semuanya di bawah 10%. Sebaliknya, suara golongan putih (Golput) dan dukungan terhadap perjuangan Syariah dan Khilafah justru menunjukkan peningkatan signifikan. Ini menjadi bukti bahwa banyak masyarakat Jakarta merasa tidak puas dengan pilihan yang disediakan oleh partai politik.
Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat
Dari data dan fakta di atas, jelas bahwa demokrasi yang seharusnya memberikan kedaulatan kepada rakyat, dalam praktiknya sering kali justru menguntungkan partai politik dan oligarki. Rakyat hanya menjadi alat untuk melegitimasi proses pemilu, sementara pilihan-pilihan penting tetap berada di tangan elit politik. Ini menguatkan pandangan bahwa dalam demokrasi, kedaulatan rakyat lebih merupakan mitos daripada realitas.
Langkah-langkah seperti golput mungkin menjadi bentuk perlawanan, namun tanpa perubahan fundamental, demokrasi akan tetap menjadi alat yang dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan mereka sendiri, sementara rakyat tetap terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan yang seharusnya mereka kendalikan.
Islam sebagai Solusi
Dalam Islam, kedaulatan sejati bukanlah milik segelintir elit, tetapi milik Allah ï·» yang diamanahkan kepada seluruh umat manusia untuk dijalankan sesuai dengan syariat-Nya. Islam menawarkan sebuah sistem yang berbeda dari demokrasi, di mana pemimpin dipilih bukan berdasarkan kekuasaan partai atau kekuatan finansial, melainkan berdasarkan ketaatan kepada Allah ï·» dan kemampuan untuk menjalankan hukum-hukum-Nya.
Sistem Islam tidak memberikan ruang bagi oligarki atau elit politik untuk mengambil kendali dari rakyat. Sebaliknya, Islam menekankan pada keadilan, transparansi, dan tanggung jawab pemimpin kepada rakyatnya serta kepada Allah ï·». Dalam sistem ini, pemimpin yang terpilih adalah mereka yang memiliki kualitas kepemimpinan dan ketakwaan, bukan sekadar berdasarkan popularitas atau dukungan partai.
Menuju Sistem yang Lebih Adil
Kekecewaan terhadap demokrasi yang kita saksikan saat ini menunjukkan perlunya mempertimbangkan alternatif lain yang lebih adil dan benar-benar memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Islam, dengan prinsip-prinsipnya yang kokoh, menawarkan solusi yang lebih adil dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Dengan kembali kepada syariat Islam, suara rakyat bukan hanya menjadi slogan kosong, tetapi dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, di mana setiap individu diperlakukan dengan adil dan pemimpin benar-benar bertanggung jawab atas amanah yang diberikan kepada mereka.
Demokrasi, dengan segala kelemahannya, telah menunjukkan keterbatasannya dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua kalangan. Sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali sistem yang lebih sesuai dengan fitrah manusia dan lebih selaras dengan ajaran Islam. Islam sebagai solusi bukan hanya sebuah alternatif, tetapi sebuah jalan menuju kehidupan yang lebih adil, damai, dan sejahtera bagi seluruh umat manusia.
Wallahualam Bissawab.

0 Komentar