
Oleh: Rika Dwi Ningsih
Penulis Lepas
Ketika Airlangga Hartarto mengundurkan diri dari kursi ketua umum Golkar, peristiwa tersebut lebih dari sekadar perubahan kepemimpinan partai. Ini adalah contoh kudeta halus yang didorong oleh tekanan eksternal, khususnya dari arus politik istana yang kini berperan sebagai mesin utama dalam transisi kekuasaan dari Presiden Jokowi ke Prabowo.
Tekanan Eksternal dan Politik "Carrot & Stick"
Airlangga Hartarto menghadapi dua pilihan sulit: terlibat dalam proses transisi kekuasaan yang diatur oleh Jokowi atau menghadapi ancaman hukum yang mungkin berujung pada penjara. Ini adalah gambaran dari politik "carrot & stick" yang sering digunakan dalam skenario politik Indonesia.
Tekanan yang diterima Airlangga datang dari dorongan politik istana, yang berperan sebagai penggerak utama dalam suksesi transisi pemerintahan. Tekanan ini bersifat sangat kuat, dan Airlangga tidak memiliki banyak pilihan selain patuh. Ini mirip dengan tekanan yang dialaminya menjelang Pilpres 2024, di mana Jokowi menekan Airlangga untuk mundur dari pencalonan sebagai Capres atau Cawapres dan menyerahkan Golkar untuk mendukung pasangan Prabowo-Gibran.
Politik Premanisme dan Dugaan Korupsi
Istana menggunakan taktik premanisme untuk menekan Airlangga. Sebelumnya, Airlangga diancam dengan kasus dugaan korupsi terkait izin ekspor Crude Palm Oil. Ia diperiksa oleh Kejaksaan Agung selama 12 jam dan tampak menyerah pada tekanan tersebut.
Kini, Airlangga menghadapi dugaan kolusi terkait pelepasan barang-barang di pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Pada 9 Agustus, laporan mengenai dugaan kolusi tersebut disampaikan ke Bareskrim, dan pada 10 Agustus, Airlangga mengundurkan diri. Pertemuan dadakan dengan Jokowi di istana terjadi pada hari yang sama, di mana Airlangga mengajukan pengunduran dirinya. Pengumuman publik tentang pengunduran dirinya dilakukan keesokan harinya.
Transisi Kekuasaan dan Kontrol Politik
Perubahan ini lebih dari sekadar pergantian pemimpin Golkar. Ini merupakan langkah strategis untuk memastikan Golkar tetap di bawah kendali Jokowi, guna menjaga keberlangsungan dinasti politiknya pasca-transisi kekuasaan ke Prabowo. Posisi Gibran sebagai wakil presiden dianggap tidak cukup untuk menjaga kelanjutan dinasti politik Jokowi. Oleh karena itu, mengendalikan Golkar menjadi pilihan strategis untuk memastikan kekuatan politiknya tetap terjaga.
Dengan Prabowo yang akan dilantik sebagai presiden, Jokowi memerlukan partai besar untuk melindungi kepentingannya. Mengendalikan Golkar adalah langkah pragmatis untuk menjaga keseimbangan politik dan mengamankan posisi Jokowi di masa depan. Jika hubungan Jokowi dan Prabowo memburuk, Jokowi memerlukan alat politik seperti Golkar untuk melindungi dirinya dari kemungkinan ancaman.
Menunggu Pengganti dan Masa Depan Golkar
Airlangga Hartarto, yang kini tampaknya telah menerima peran baru sebagai bagian dari transisi pemerintahan, terlihat menjalani masa transisi dengan tenang. Ia bahkan terlihat menghadiri rapat kabinet pertama di IKN dan menikmati waktu dengan Jokowi.
Mengapa Airlangga memilih jalan ini? Tentu saja, risiko hukum dan kriminalitas yang mungkin dihadapinya membuatnya lebih memilih untuk menerima tawaran kompensasi yang telah disiapkan oleh Jokowi dan Prabowo. Kesempatan untuk tetap berperan penting dalam pemerintahan baru adalah pilihan yang lebih baik dibandingkan risiko penjara.
Kini, perhatian beralih kepada siapa yang akan menggantikan Airlangga sebagai ketua Golkar pada Munas di akhir Agustus mendatang. Nama-nama potensial termasuk Bahlil Lahadalia, Gibran Rakabuming Raka, atau bahkan Jokowi sendiri sebagai ketua dewan pembina. Proses ini masih terbuka dan waktu akan menjawab siapa yang akan menjadi pimpinan baru Golkar.
Kesimpulan
Peristiwa pengunduran diri Airlangga Hartarto bukan sekadar perubahan kepemimpinan biasa. Ini adalah bagian dari kudeta halus yang dilatarbelakangi oleh tekanan eksternal dari istana. Dinamika ini menggambarkan bagaimana politik Indonesia sering kali melibatkan tekanan dan transaksi untuk mencapai tujuan strategis. Dengan pengunduran diri Airlangga, Golkar berada di titik krusial untuk menentukan arah masa depannya dalam lanskap politik yang sedang berubah.
0 Komentar