
Oleh: Diaz
Penulis Lepas
Dalam dinamika politik Indonesia yang semakin memanas, rencana DPR RI untuk mengubah Undang-Undang Pilkada telah menuai kecaman keras dari berbagai kalangan. Para Advokat, Aktivis, Ulama, Tokoh Nasional, Artis dan Masyarakat umum menyatakan keprihatinan mendalam terhadap langkah yang dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan menyerukan perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai "kudeta konstitusi."
Pembangkangan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Rencana perubahan UU Pilkada oleh DPR RI melalui Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dianggap secara langsung melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan MK Nomor 60 mengatur tentang ambang batas suara atau kursi partai politik dalam pencalonan Pilkada, sementara Putusan MK Nomor 70 berkaitan dengan syarat usia minimal 30 tahun untuk calon Gubernur atau Wakil Gubernur yang dihitung sejak penetapan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menurut para tokoh, kedua putusan MK tersebut bersifat final, mengikat, dan setara dengan konstitusi. Oleh karena itu, tindakan DPR RI yang mengabaikan putusan ini tidak hanya melanggar norma hukum, tetapi juga dianggap sebagai bentuk pembangkangan konstitusi yang mencederai hak-hak rakyat.
Namun, situasi menjadi lebih rumit ketika DPR RI secara terang-terangan menolak mengakomodasi Putusan MK Nomor 70. Dalam rapat yang dipimpin oleh Achmad Baidowi, DPR justru mengedepankan Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 90 yang mengatur syarat usia calon kepala daerah dihitung pada saat pelantikan calon terpilih. Padahal, Putusan MK jelas mengatur bahwa syarat usia minimal 30 tahun harus dihitung sejak penetapan calon oleh KPU.
Mirisnya Kondisi Mahkamah Konstitusi dan DPR
Mirisnya, Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya menjadi lembaga peradilan tertinggi dalam menafsirkan norma perundangan, harus berhadapan dengan realitas pahit. Keputusan MK yang bersifat final dan mengikat justru diabaikan oleh DPR. Dalam hal ini, MK tampaknya harus "berlutut" di hadapan DPR. Putusan MK Nomor 70 tentang batasan usia Calon Gubernur 30 tahun dihitung saat penetapan calon, "dikencingi" oleh DPR yang berencana mengubah UU Pilkada dengan mengadopsi norma syarat calon Gubernur 30 tahun dihitung saat pelantikan, dengan berdalih mengikuti amar putusan Mahkamah Agung (MA).
Padahal, secara hierarki, Putusan MK lebih tinggi daripada MA, mengingat MK menguji UU terhadap UUD, sedangkan MA hanya menguji PKPU terhadap UU. Namun, kenyataan bahwa DPR lebih memilih untuk mengikuti Putusan MA, meskipun secara hierarki lebih rendah, hal ini menunjukkan betapa kacau dan rusaknya sistem politik di republik ini.
Motif Tersembunyi di Balik Pembangkangan
Para Advokat, Aktivis, Ulama, dan Tokoh Nasional yang menyampaikan pernyataan sikap ini menilai bahwa rencana perubahan UU Pilkada oleh DPR RI bukanlah untuk kepentingan rakyat. Sebaliknya, mereka menuding adanya motif tersembunyi di balik langkah ini, yaitu untuk melancarkan skenario oligarki dan kartel politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus). Dalam pandangan mereka, perubahan ini dimaksudkan untuk membagi-bagi kekuasaan di antara partai-partai yang tergabung dalam koalisi tersebut.
Selain itu, motif lain yang disorot adalah upaya untuk melanggengkan dinasti politik dengan memuluskan pencalonan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, dalam Pilkada Jawa Tengah. Langkah ini semakin memperkuat kekhawatiran bahwa perubahan UU Pilkada ini dilakukan semata-mata untuk kepentingan kelompok tertentu, bukan demi kesejahteraan rakyat.
Dalam rapat yang dihadiri oleh berbagai partai besar seperti PKS, Gerindra, PPP, Golkar, Demokrat, Nasdem, dan lainnya, mayoritas partai setuju untuk mendukung perubahan yang diusulkan DPR. Hal ini semakin mengukuhkan dugaan bahwa seluruh partai politik kini berada di bawah kendali Kaesang dan Jokowi, yang semakin menegaskan bobroknya sistem politik demokrasi di Indonesia.
Kolaborasi Pemerintah dan DPR dalam Pembangkangan Konstitusi
Pernyataan sikap ini juga menegaskan bahwa pemerintah dan DPR RI terlibat dalam kolaborasi yang berbahaya dalam melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. Pembahasan rancangan perubahan UU Pilkada yang dilakukan oleh DPR bersama pemerintah, dan nantinya akan disahkan dalam rapat paripurna, adalah bukti nyata dari kolaborasi ini.
Dalam hal ini, Presiden Jokowi diminta untuk tidak menghindar dari tanggung jawab dengan menyatakan bahwa perubahan UU adalah kewenangan DPR semata. Sebaliknya, para tokoh ini menuntut agar Presiden turut bertanggung jawab atas tindakan yang mereka sebut sebagai kudeta konstitusi.
Seruan Perlawanan dan Penegakan Supremasi Konstitusi
Melihat situasi ini, para Advokat, Aktivis, Ulama, dan Tokoh Nasional menyerukan seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu dalam menentang pembangkangan konstitusi yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI. Mereka juga menyerukan agar supremasi konstitusi ditegakkan kembali demi menjaga keutuhan negara.
Sebagai langkah akhir, mereka menuntut agar Presiden Joko Widodo diadili dan diturunkan dari jabatannya jika pemerintah dan DPR RI tetap ngotot melanjutkan rencana perubahan UU Pilkada ini. Seruan ini menunjukkan betapa seriusnya kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.
Sistem politik yang semakin rusak ini membuat rakyat semakin marah dan sengsara. Karena itu sudah saatnya rakyat berjuang untuk menegakkan Syariah dan Khilafah sebagai alternatif sistem yang dapat membawa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi justru terbukti merusak dan tidak lagi relevan dengan kebutuhan bangsa ini.
Wallahualam bissawab
0 Komentar