
Oleh: Rika Dwi Ningsih
Penulis Lepas
Pendahuluan
Proses pengisian jabatan Kepala Daerah dalam sistem politik demokrasi seringkali menjadi topik yang memicu perdebatan. Hiruk-pikuk pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengisian jabatan ini mencerminkan keruwetan sistem yang ada, di mana persyaratan untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah hampir menyerupai proses pencalonan Presiden.
Putusan MK No. 60/2024: Mengubah Mekanisme Pengisian Jabatan
Dalam putusan MK No. 60/2024, MK membatalkan syarat yang mengharuskan calon Kepala Daerah diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan syarat tertentu, seperti 20% kursi atau 25% suara. Sebagai gantinya, MK mengadopsi norma baru yang memungkinkan calon perseorangan untuk maju dalam Pilkada, dengan persyaratan dukungan suara yang lebih rendah dan proporsional terhadap jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Respons Partai Politik terhadap Putusan MK
Seharusnya, penurunan syarat ini disambut gembira oleh semua partai politik, karena memungkinkan mereka untuk mengusung calon tanpa perlu berkoalisi. Misalnya, di Pilkada Jakarta yang memiliki jumlah DPT sebesar 8,2 juta, syarat suara untuk mengusung calon hanya 7,5% atau sekitar 8 kursi. Ini berarti hampir semua partai politik di Jakarta dapat mengusung calon sendiri.
Namun, partai politik justru menentang putusan MK ini. Penolakan ini terutama datang dari partai-partai dalam kartel politik KIM Plus, yang memiliki ambisi untuk menguasai Pilkada dan mengatur pembagian jatah kursi Kepala Daerah. Dengan penurunan syarat yang diatur oleh MK, skenario penguasaan ini menjadi tidak mungkin.
Pengisian Jabatan Kepala Daerah dalam Sistem Khilafah
Berbeda dengan sistem demokrasi, dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), pengisian jabatan Kepala Daerah, baik Wali (setara Gubernur) maupun Amil (setara Walikota atau Bupati), diatur secara berbeda. Syarat untuk menjadi Wali atau Amil sama dengan syarat untuk menjadi Khalifah, yaitu harus Muslim, laki-laki, merdeka, berakal, baligh, adil, dan memiliki kemampuan dalam mengemban tugas pemerintahan.
Proses pengisian jabatan Wali dan Amil ini dilakukan oleh Khalifah, tanpa melalui Pilkada yang memakan biaya besar dan rawan konflik. Jika masyarakat di suatu wilayah merasa tidak dilayani dengan baik oleh Wali atau Amil yang ditunjuk, mereka dapat mengajukan komplain kepada Khalifah, yang kemudian dapat mengganti pejabat tersebut dengan yang lebih diridhai oleh masyarakat.
Kesimpulan
Sistem pengisian jabatan dalam Khilafah yang sederhana dan efisien ini menghindari konflik serta biaya tinggi yang sering muncul dalam sistem Pilkada demokrasi. Pengisian jabatan yang diatur dengan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam ini memberikan stabilitas dan keadilan dalam pemerintahan daerah.
0 Komentar