AHMAD KHOZINUDIN KRITIK KERAS SYIAR KEKUFURAN PAUS FRANSISKUS


Oleh: Darul Al Fatih
Jurnalis Lepas

Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk tidak mempersoalkan syiar Misa yang akan disiarkan secara langsung di televisi nasional, sementara adzan hanya akan ditampilkan dalam bentuk running text, mengundang banyak kontroversi. Sebagian umat Islam merasa kebijakan ini sebagai bentuk penghormatan yang berlebihan terhadap ibadah non-Islam, yang justru mengorbankan syiar Islam.

Ahmad Khozinudin selaku Sastrawan Politik mempertanyakan keputusan ini dengan menyebutnya sebagai "pembenaran syiar kekufuran." Ahmad berargumen bahwa Misa adalah bagian dari ibadah agama Katolik yang mengandung unsur keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti konsep trinitas (Tuhan yang beranak dan diperanakkan). Bagi umat Islam, hal ini bertentangan dengan keyakinan bahwa Allah ï·» Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan” (QS Al-Ikhlas: 3).

Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, dalam keterangannya menyatakan bahwa tidak ada syariat Islam yang dilanggar dengan keputusan Kemenag ini. Menurutnya, ini adalah bentuk penghormatan kepada umat Katolik yang sedang melaksanakan ibadah penting. Niam memahami kebijakan ini sebagai penghormatan bagi umat Katolik.

Namun, Ahmad merasa keberatan dengan sikap ini. Ahmad mempertanyakan, "Sejak kapan umat Islam harus menghormati syiar kekufuran dengan mengorbankan syiar Islam?" Menurut Ahmad, meski Rasulullah Muhammad ï·º mengajarkan untuk tidak memaksa orang lain masuk Islam, beliau tidak pernah memberi ruang untuk syiar kekufuran, apalagi jika syiar tersebut mengorbankan syiar Islam.

Salah satu kritik utama Ahmad dalam menolak kebijakan ini adalah bahwa acara Misa Paus Fransiskus akan disiarkan secara terbuka di televisi nasional, yang dapat ditonton oleh mayoritas penduduk muslim Indonesia. Ahmad khawatir hal ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi akidah umat, terutama generasi muda yang mungkin kurang paham akan perbedaan keyakinan tersebut. Dalam pandangan Ahmad, memperlihatkan syiar kekufuran secara terang-terangan dapat merusak akidah umat Islam, dan oleh karena itu tidak seharusnya disiarkan secara terbuka.

Lebih jauh, mereka membandingkan kebijakan ini dengan kisah-kisah Rasulullah ï·º yang dengan tegas menghancurkan berhala-berhala di Mekkah saat Fathu Makkah sebagai simbol ketegasan dalam memerangi kekufuran. Rasulullah ï·º memang menghormati perbedaan keyakinan, tetapi beliau juga melindungi umatnya dari syiar yang bertentangan dengan ajaran Islam. "Apakah Rasulullah ï·º kurang tegas dalam melawan syiar kekufuran sehingga sekarang kita harus menerima hal ini?", tanyanya.

Isu ini semakin diperparah dengan kejadian-kejadian sebelumnya yang dianggap sebagai penodaan terhadap syiar Islam, seperti permasalahan jilbab di beberapa institusi, serta adanya kegiatan yang dinilai tidak sesuai dengan akidah Islam di Masjid Istiqlal. Keputusan ini pun dipandang sebagai kelanjutan dari rangkaian kebijakan yang dinilai permisif terhadap pendangkalan akidah Islam.

Sementara itu, para ulama yang diharapkan berada di garda terdepan dalam melindungi akidah umat, justru dinilai permisif terhadap hal ini. Sebagian umat merasa kecewa karena, alih-alih membimbing umat dalam menjaga akidah, ulama seperti MUI dianggap membela syiar kekufuran.

Dalam Islam, toleransi terhadap keyakinan lain memang penting, namun ada garis tegas ketika syiar agama lain mulai mendominasi ruang publik dan mengorbankan syiar Islam. Seharusnya, menurut Ahmad, misa yang dilakukan di gereja tanpa mengganggu syiar Islam adalah bentuk toleransi yang dapat diterima. Tetapi, jika syiar tersebut dilakukan secara terbuka dan mengorbankan syiar Islam seperti adzan, ini dianggap melampaui batas.

Sebagai penutup, kritik ini disampaikan dengan harapan agar MUI dan pihak terkait bisa lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang menyentuh akidah dan syiar Islam. "Semoga Allah subhanahu wa ta'ala selalu memperbaiki umat ini dengan mengirimkan penjaga-penjaga agamanya. Siapa pun yang meninggalkan kemuliaan untuk menjaga agama ini, maka Allah pasti akan menggantinya," pungkas Ahmad.

Posting Komentar

0 Komentar