
Jurnalis Lepas
Dalam kultur Barat, pemisahan antara agama dan politik menjadi hal yang tak terelakkan, dimulai sejak Revolusi Perancis. Sekularisme, yang memisahkan kekuasaan agama dari politik, menjadi pilar utama dalam tatanan masyarakat Eropa. Meskipun demikian, Barat masih mengakui yurisdiksi spiritual agama, seperti Tahta Suci Roma, yang memiliki kedudukan setara dengan negara dalam konteks hukum internasional.
Kehadiran Paus Franciscus di Indonesia baru-baru ini memicu euforia, termasuk di kalangan tokoh-tokoh dan organisasi Islam. Salah satunya adalah Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum Muhammadiyah, yang memuji kesederhanaan Paus. Namun, pujian ini dianggap berlebihan oleh sebagian umat Islam yang berpendapat bahwa Rasulullah Muhammad ﷺ sudah cukup sebagai teladan, tanpa perlu mengagumi pemimpin agama lain.
Paus Franciscus sendiri dikenal kontroversial karena pandangannya yang mendukung hak-hak kaum homoseksual, sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pernyataan Paus ini menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam, apakah pantas sosok seperti itu dijadikan panutan.
Beberapa tokoh Islam Indonesia, seperti Menag Yaqut Cholil Choumas dan Ketum PBNU Yahya Staquf, juga turut memuji Paus. Padahal, dalam Islam, hubungan dengan agama lain cukup dijalani dengan prinsip "Lakum Dīnukum Waliyadin" (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku).
Sejarah Islam menunjukkan bahwa Khalifah adalah pemimpin yang memadukan kekuasaan politik dan spiritual, berbeda dengan konsep pemisahan agama dan politik di Barat. Umat Islam di Indonesia seharusnya berfokus pada perjuangan menegakkan Khilafah, sebagaimana dahulu Nabi Muhammad ﷺ disambut sebagai kepala negara di Madinah.
Dalam sejarah, Islam telah menaklukkan Konstantinopel, dan umat Islam percaya bahwa penaklukan Roma juga akan terjadi di masa depan. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia diingatkan untuk memperjuangkan Khilafah sebagai persiapan menuju penaklukan tersebut.
سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلاً قُسْطَنْطِينِيَّةُ أَوْ رُومِيَّةُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ
Rasulullah ﷺ pernah ditanya, “Kota manakah yang dibebaskan lebih dahulu, Konstantinopel atau Roma?” Rasul menjawab, “Kotanya Heraklius dibebaskan lebih dahulu, yaitu Konstantinopel.” (HR Ahmad, Ad-Darimi, dan Al-Hakim).
Sementara itu, rencana misa yang dipimpin Paus Franciscus di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) pada 5 September 2024 menimbulkan kontroversi. Acara ini dianggap intoleran karena disiarkan secara langsung di seluruh stasiun televisi nasional, yang mayoritas penontonnya adalah umat Islam. Keputusan Kemenkominfo untuk meniadakan siaran adzan Maghrib selama misa berlangsung juga menuai kritik, dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap ajaran Islam.
Beberapa tokoh dan organisasi Islam menuntut agar siaran langsung misa tersebut dibatalkan dan siaran adzan tetap dikumandangkan seperti biasa, demi menjaga toleransi antar umat beragama. Mereka juga menilai bahwa kebijakan ini mencerminkan sikap rezim Jokowi yang sering dianggap merugikan umat Islam.
0 Komentar