
Oleh: Dewi Rosita
Penulis Lepas
Di era globalisasi dan budaya digital yang serba cepat, banyak remaja tumbuh dengan pola pikir instan, reaktif, dan minim ketajaman intelektual. Mereka lebih sering menjadi pengguna informasi daripada pengolahnya, lebih banyak mengikuti tren daripada melahirkan gagasan. Gejala ini tampak dari menurunnya minat membaca, melemahnya kemampuan analisis, serta meningkatnya kecenderungan mengikuti opini publik tanpa proses berpikir yang mendalam. Generasi yang seharusnya menjadi pendorong perubahan justru terperangkap dalam gaya hidup dangkal yang serba cepat dan tanpa visi.
Padahal, sejarah menunjukkan bahwa kebangkitan Islam tidak pernah ditentukan oleh jumlah atau kekuatan fisik, tetapi oleh kualitas kepemimpinan dalam berpikir. Generasi sahabat, tabi'in, dan para ulama lahir sebagai sosok yang bukan hanya bersemangat, tetapi juga tajam dalam menganalisis realitas melalui kacamata wahyu. Mereka memandang Islam sebagai kerangka utama dalam memahami persoalan, mengurai masalah, dan merumuskan solusi. Melalui generasi seperti inilah peradaban Islam pernah memimpin dunia selama berabad-abad.
Saat ini, umat Islam menghadapi tantangan besar: krisis moral, perpecahan politik, degradasi akhlak remaja, hingga dominasi budaya materialistik. Namun, krisis yang paling mendasar adalah melemahnya kepemimpinan berpikir. Banyak pemuda tidak lagi terbiasa mempertanyakan, mengkaji, dan menimbang sesuatu dengan standar iman. Akibatnya, mereka mudah diguncang arus ideologi asing yang merusak identitas dan keyakinan umat.
Kepemimpinan berpikir perlu ditanamkan kembali sebagai karakter utama generasi Muslim. Ia bukan sekadar kecerdasan intelektual, tetapi kemampuan membaca kehidupan dengan akal yang dituntun oleh wahyu. Kepemimpinan berpikir membuat seorang pemuda berani bertanya: Apa akar persoalan umat? Di mana peran saya? Bagaimana Islam memandu langkah saya untuk bergerak?
Karakter ini hanya bisa tumbuh jika keluarga, pendidikan, dan negara saling mendukung. Keluarga perlu menanamkan adab berpikir sejak dini, membiasakan anak untuk bertanya, merenung, dan memahami hidup sebagai amanah. Sekolah dan guru wajib menghidupkan tradisi berpikir kritis yang berlandaskan nilai Islam, bukan sekadar mengejar nilai atau kurikulum sekuler yang miskin makna. Negara sepatutnya menghadirkan kebijakan yang memperkuat pembangunan akal, mulai dari kurikulum berbasis iman hingga lingkungan publik yang membentuk jati diri umat.
Tanpa dukungan struktur keumatan, generasi tidak akan tumbuh menjadi pemimpin dalam pemikiran. Islam menegaskan bahwa kebangkitan sejati hanya terjadi ketika akal dan ruhiyah umat bangkit bersamaan. Karena itu, generasi yang dibutuhkan bukan hanya kreator konten, tetapi penggerak ide; bukan hanya populer, tetapi berpengaruh; bukan sekadar percaya diri, tetapi memiliki keyakinan mendalam pada Islam sebagai solusi seluruh problematika manusia.
Kepemimpinan berpikir adalah inti dari kebangkitan. Ketika generasi muda kembali menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai cara pandang, ketika mereka terbiasa menganalisis realitas dengan akal yang jernih dan hati yang bersih, mereka tidak akan mudah terseret budaya permisif, hedonistik, atau narasi yang melemahkan umat. Sebaliknya, mereka akan menjadi pilar kebangkitan, siap membawa risalah Islam menuju kejayaan seperti para pendahulu.
Tugas umat hari ini bukan hanya memperbaiki perilaku remaja, tetapi mengembalikan cara berpikir mereka kepada fitrah sebagai hamba dan khalifah. Generasi yang memimpin peradaban adalah generasi yang memimpin pemikiran. Kebangkitan Islam hanya akan lahir jika generasi ini menjadikan Islam bukan sekadar keyakinan, tetapi paradigma berpikir yang menuntun seluruh langkah. Kini saatnya menumbuhkan kepemimpinan berpikir agar generasi siap memikul amanah kebangkitan yang dinantikan.
Wallahu a’lam bishshawab.

0 Komentar