BENCANA DI SUMATERA: SALAH SIAPA?


Oleh: Siami Nur Rohmah
Penulis Lepas

Banjir yang melanda Sumatera kembali menambah daftar korban jiwa dan kerugian besar. Berdasarkan data terkini dari Dashboard Penanganan Bencana Darurat Banjir dan Longsor yang dikeluarkan oleh BNPB pada Rabu (10/12/2025) pukul 07.40 WIB, tercatat 967 orang tewas, sekitar 5.000 orang mengalami luka-luka, dan 262 lainnya masih dinyatakan hilang. Sementara itu, jumlah pengungsi mencapai 850 ribu jiwa, menunjukkan betapa parahnya dampak bencana ini (Detik, 10/12/2025).

Bencana yang melanda Sumatera, dari Sumatera Barat hingga Aceh, tidak hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi. Akar masalahnya terletak pada kerusakan lingkungan akibat deforestasi, alih fungsi lahan, dan pembangunan yang tidak berkelanjutan, yang memperburuk daya tampung alam dan mempercepat terjadinya bencana.

Dampak banjir menjadi sangat parah, karena berkurangnya daya tampung wilayah. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa banjir bandang ini mirip dengan tsunami Aceh 2004. Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Sumut melalui Direktur Eksekutifnya, Rianda Purba, menyampaikan bahwa banjir bandang ini terjadi akibat kerusakan hutan yang masif dan alih fungsi lahan.

Berdasarkan catatan Walhi, seluas 2.000 hektare hutan di Sumatera Utara rusak dalam kurun 10 tahun terakhir. Keputusan pemerintah dengan SK Nomor 579 Tahun 2014 terkait status hutan yang menjadi non-hutan dan kemudian berubah menjadi APL (Area Penggunaan Lain), membuka pintu bagi investasi perusahaan di kawasan ekosistem tersebut (CNN Indonesia, 01/12/2025).

Ketika berbicara mengenai bencana, kita tidak bisa lepas dari faktor alam dan ketetapan Allah. Namun, kita juga perlu mencari penyebab yang masih dalam jangkauan kemampuan manusia, mengapa bencana bisa terjadi. Terkait dengan bencana banjir di Sumatera, ini bukan hanya ujian atau faktor alam semata, tetapi juga dampak dari kerusakan lingkungan yang sudah berlangsung lama, sebagaimana yang disebutkan oleh Walhi di atas.

Keputusan pemerintah yang memberikan legitimasi untuk perubahan status hutan menjadi lahan yang terbuka bagi konsesi, serta kemudahan izin untuk perusahaan sawit dan pertambangan, telah memperburuk kondisi ini, ditambah dengan kebijakan tambang yang diatur oleh UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang telah ada sebelumnya.

Kebijakan penguasa yang terkesan abai terhadap keberlangsungan alam dan rusaknya ekosistem memiliki dampak yang luas. Hal ini menjadi hal biasa dalam sistem demokrasi kapitalisme yang berasas sekuler, yang sudah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa di negeri ini. Di mana para penguasa dan pengusaha saling bekerja sama untuk menjarah hak milik rakyat.

Bahkan lebih parah lagi, banyak penguasa saat ini yang juga merupakan pengusaha. Mereka berkuasa untuk mengamankan usahanya. Melalui aturan yang mereka buat sendiri, penjarahan hak milik rakyat menjadi legal karena ada payung hukumnya. Tidak heran jika akhirnya kita menyaksikan lahirnya penguasa-penguasa zalim.

Dahsyatnya banjir bandang dan longsor yang terjadi seharusnya menjadi pengingat bahwa bahaya kerusakan lingkungan itu nyata. Ketika keserakahan diperturutkan, pembukaan lahan besar-besaran, serta penggusuran tempat hidup hewan-hewan hutan, kita merusak ekosistem yang telah Allah titipkan.

Maka, tinggal menunggu bom waktu yang akan meledak. Yang terdampak paling parah adalah rakyat, di mana mereka mungkin tidak menikmati manisnya hasil kebun sawit, gurihnya hasil tambang, dan lezatnya hasil penebangan kayu yang berusia ratusan tahun di hutan-hutan wilayah mereka.

Kerusakan menjadi sebuah keniscayaan ketika negara meninggalkan hukum-hukum Allah dalam menjalankan tata kelola negara, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Begitu jelas dampak kerusakan lingkungan di berbagai wilayah, mulai dari ujung timur Papua yang baru-baru ini mengemuka terkait penambangan di Raja Ampat yang merusak ekosistem, hingga di ujung barat, Sumatera yang dilanda banjir bandang. Bukankah semua ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita?

Rasulullah ﷺ lebih dari 14 abad yang lalu telah mengingatkan dalam sabdanya:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
"Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Hutan termasuk dalam padang rumput. Dari hadis ini, seharusnya negara tidak melepaskan sumber daya yang merupakan milik umum kepada swasta, baik dalam maupun luar negeri. Sumber daya tersebut harus dikelola demi kesejahteraan rakyat tanpa merusaknya.

Allah ﷻ berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS Ar-Rum: 41)

Dari ayat ini, kerusakan lingkungan menjadi konsekuensi langsung akibat perbuatan manusia. Dan sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah, manusia harus menjaga kelestarian lingkungan. Tunduk kepada aturan Allah dalam mengurusi semua urusan, termasuk mengelola hutan dengan benar, sehingga memberikan kesejahteraan dan kenyamanan, tidak hanya untuk manusia, tetapi juga bagi hewan yang bergantung pada keberlanjutan hutan.

Negara harus sigap dan tanggap terhadap bencana. Ada antisipasi pencegahan banjir dan longsor melalui para ahli lingkungan, serta siap mengeluarkan biaya demi kepentingan rakyat, bukan mencari keuntungan dan sibuk pencitraan ketika bencana sudah terjadi.

Mental pemimpin yang memfokuskan kebijakan untuk keselamatan rakyat dan lingkungan dari bahaya (dharar) sangat penting. Pemimpin yang memiliki pemetaan tata ruang secara menyeluruh, memetakan sesuai fungsi alaminya, tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, sumber daya, industri, dan kawasan konservasi (himmâh) akan kita rasakan ketika pemimpin menaati aturan Allah, sehingga keberkahan akan diberikan dari langit dan bumi.

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu, maka Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS Al-A'raf: 96)

Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar