PEMUKIM EKSTREMIS ISRAEL MAKIN GENCAR REBUT TANAH PALESTINA DI TEPI BARAT


Oleh: Diaz
Jurnalis Lepas

Pemukim ekstremis Israel semakin intensif merebut tanah warga Palestina di Tepi Barat yang mereka duduki, dengan meningkatnya jumlah pos-pos ilegal Israel menyebabkan kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat Palestina semakin meningkat. Ayesha Shtayyeh, seorang nenek Palestina, menjadi salah satu korban kekerasan tersebut. Dilansir dari BBC, ia menceritakan pengalaman pahit ketika seorang pemukim Israel menodongkan pistol ke kepalanya, memaksanya meninggalkan rumah yang telah ia tempati selama 50 tahun.

Menurut laporan terbaru, jumlah pos-pos ilegal di Tepi Barat melonjak tajam dalam beberapa tahun terakhir. Terdapat setidaknya 196 pos-pos pemukim, di mana 29 di antaranya didirikan pada tahun 2023. Pos-pos ini berupa pertanian, kelompok perumahan, atau sekumpulan karavan yang berdiri tanpa izin, baik menurut hukum Israel maupun internasional. Namun, investigasi BBC mengungkapkan bahwa organisasi yang dekat dengan pemerintah Israel menyediakan dana dan lahan untuk mendukung pembangunan pos-pos ilegal tersebut.

Selain meningkatkan jumlah pemukiman, pos-pos ini seringkali menjadi pusat kekerasan terhadap masyarakat Palestina. Seorang pemukim ekstremis yang diberi sanksi oleh Inggris, Moshe Sharvit, disebut sebagai salah satu pelaku kekerasan yang mengusir Ayesha dan keluarganya dari rumah mereka. Moshe bahkan menguasai tanah seluas sekitar 7.000 dunam di sekitar rumah Ayesha dan menggunakan kekuatan fisik serta ancaman senjata untuk mengusir warga Palestina.

Kekerasan yang dilakukan pemukim Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat kian meningkat, dengan lebih dari 1.100 serangan dilaporkan selama 10 bulan terakhir. Setidaknya 10 warga Palestina tewas, dan lebih dari 230 lainnya terluka akibat serangan tersebut. Di sisi lain, lima pemukim Israel tewas dan 17 lainnya terluka dalam serangan balasan oleh warga Palestina.

Meski pos-pos ini ilegal, pemerintah Israel cenderung melakukan pembiaran. BBC mengungkap bahwa dua organisasi, World Zionist Organization (WZO) dan Amana, terlibat dalam pendanaan dan penyediaan lahan untuk pembangunan pos-pos tersebut. Citra satelit menunjukkan bahwa lahan yang seharusnya digunakan untuk pertanian dan peternakan malah dibangun menjadi pemukiman ilegal.

Ironisnya, pemerintah Israel sering melegalkan pos-pos ilegal ini secara retroaktif, mengubahnya menjadi pemukiman sah. Pada 2023, Israel memproses legalisasi 10 pos pemukim dan telah melegalkan setidaknya enam pos lainnya. Hal ini memperkuat penguasaan tanah secara sepihak di wilayah Tepi Barat, yang semakin memperburuk konflik dengan warga Palestina.

Pemerintah Palestina dan organisasi internasional terus mengecam aktivitas ilegal ini. Pengadilan tertinggi PBB pada Juli 2023 bahkan mengeluarkan putusan yang menegaskan bahwa Israel harus menghentikan semua aktivitas pemukiman baru di Wilayah Palestina yang Diduduki. Namun, Israel menolak putusan tersebut, menyebutnya sebagai langkah yang "berat sebelah" dan "salah secara fundamental."

Bagi Ayesha dan warga Palestina lainnya yang terusir dari tanah mereka, tindakan pemukim ini menciptakan penderitaan yang mendalam. "Dia membuat hidup kami seperti di neraka," ujar Ayesha, yang kini tinggal bersama putranya di dekat Nablus setelah diusir dari rumahnya oleh Moshe Sharvit.

Tindakan keras para pemukim, didukung oleh berbagai organisasi dan pemerintah Israel, terus berlanjut tanpa hambatan yang berarti. Ketegangan dan kekerasan di Tepi Barat pun semakin meningkat, dengan warga Palestina menjadi korban utama dari perebutan tanah yang tidak sah ini.

Posting Komentar

0 Komentar