
Oleh: Irohima
Penulis Lepas
Sudah berbulan-bulan sejak Israel melancarkan serangan brutalnya di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, situasi di Palestina semakin menakutkan. Korban semakin banyak berjatuhan, rakyat Palestina yang dipaksa berpindah-pindah untuk mencari perlindungan, belum lagi banyaknya fasilitas umum yang hancur karena serangan, kelelahan dan kelaparan membuat hidup mereka seakan begitu dekat dengan kematian, seiring asa yang mereka labuhkan pada manusia turut menghilang.
Meski telah dinyatakan melakukan genosida, nyatanya Israel tak menunjukkan tanda–tanda menghentikan serangan, justru mereka semakin menggila dan haus darah. Kabar terkini mengatakan bahwa jumlah korban yang tewas akibat serangan Israel di Gaza telah mencapai setidaknya 40.738 orang selama 11 bulan terakhir. Dalam operasi militer yang dilakukan Israel di wilayah Jalur Gaza bagian tengah dan selatan, mereka telah mengklaim bahwa mereka telah menewaskan lebih dari 250 militan Palestina.
Kecaman demi kecaman muncul dari berbagai belahan dunia tak terkecuali dari Indonesia. Puan Maharani, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat turut menyuarakan keinginannya untuk menghentikan genosida di Gaza saat berpidato di hadapan puluhan delegasi negara Afrika dalam Forum Parlementer Indonesia–Afrika (IAPF) 2024 di Nusa Dua, Bali, 1 September 2024. Dalam pidatonya Puan berharap dan mengingatkan parlemen untuk berkontribusi dalam persoalan global. Selain berniat memperjuangkan Palestina, Puan juga mendorong perdamaian di wilayah konflik seperti konflik yang terjadi di Ukaina (tvOnenews, 1/9/2024).
Dalam rentang waktu konflik Palestina-Israel kita sudah kerap mendengar para tokoh politik, pemimpin-pemimpin negara, lembaga- lembaga setingkat internasional dan lain sebagainya yang mengecam dan menyerukan untuk menghentikan genosida di Palestina, namun hingga detik ini konflik tetap saja berlanjut, Israel tetap saja menggempur dan meratakan tanah Palestina. Masih berlangsungnya gempuran Zionis adalah bukti bahwa seruan ataupun kecaman tak akan pernah mampu menghentikan serangan mereka, bahkan seruan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk membentuk aliansi negeri-negeri muslim guna melawan Israel diragukan oleh pakar politik Turki sendiri, Dr. Hay Eytan Cohen Yanarocak. Beliau menampik kemungkinan pembentukan aliansi untuk melawan Israel mengingat ada perpecahan yang sangat mendalam di dunia muslim, dan negara-negara muslim belum bisa bersatu karena memiliki kepentingan yang berbeda.
Saat ini, berharap pada negeri-negeri muslim untuk bersama-sama melawan Israel ibarat pungguk yang merindukan bulan, karena pada faktanya penguasa negeri-negeri muslim lebih memilih diam, mengambil posisi aman dan mencukupkan diri hanya dengan mengecam dan menyalurkan bantuan kemanusiaan. Seruan dan kecaman mereka tanpa mengirim pasukan tak lebih dari sekedar pencitraan.
Sesungguhnya persoalan Palestina adalah persoalan semua umat muslim di dunia, Nabi ï·º berkata bahwa muslim itu bersaudara, jika umat Islam itu satu keluarga, maka siapa yang akan memperjuangkan dan membebaskan umat Islam di Palestina kalau bukan umat muslim itu sendiri. Namun sayangnya, keterikatan antara sesama saudara muslim telah berhasil diputuskan oleh kafir penjajah melalui sekat nasionalisme yang mengakibatkan pemahaman kaum muslim terhadap persoalan Palestina berbeda-beda. Banyak umat muslim yang menganggap persoalan Palestina adalah persoalan internal hingga tak perlu ikut campur urusan negara Palestina, ada juga yang menganggap konflik Palestina merupakan persoalan kemanusiaan hingga cukup disikapi dengan mengirim bantuan logistik, uang, obat-obatan dan melakukan boikot barang. Mereka tak memahami kedudukan tanah Palestina dalam sejarah umat muslim.
Tanah Palestina sejatinya adalah tanah kaum muslim, saat Khalifah Umar bin Al-Khattab membebaskan tanah Palestina pada tahun 15 H, beliau menerima tanah tersebut langsung dari Safruniyus di atas perjanjian yang dikenal sebagai perjanjian “Umariyah”. Salah satu isi perjanjian tersebut dikatakan bahwa orang Yahudi tidak boleh tinggal di dalamnya, poin ini justru berasal dari usulan orang-orang Nasrani. Pada tanggal 27 Rajab, 583 H/1187 M, Shalahuddin Al-Ayubi kembali membebaskan tanah Palestina yang saat itu dikuasai oleh tentara salib, baru pada masa Khilafah Utsmaniyah runtuh di tahun 1924, Palestina jatuh ke tangan Zionis Yahudi berkat jasa Inggris dan negara-negara Eropa lainnya yang menginginkan penjajahan atas tanah yang diberkahi dan penjajahan atas kaum muslim pada umumnya.
Konflik Palestina adalah konflik agama dan ini adalah fakta yang harusnya sudah bisa kita sadari sedari semula, bisa kita lihat segala macam jenis pelanggaran telah dilakukan oleh zionis, namun hukum dan aturan kemanusiaan atas kejahatan tak pernah berlaku bagi zionis, HAM yang selalu didengungkan tak lagi terdengar, aktivis feminis juga menutup mata akan hak wanita dan anak-anak yang dirampas tak hanya di Palestina namun di belahan negara muslim lainnya. Semua ketidakadilan yang tercipta telah menjelaskan dengan gamblang bahwa ini adalah konflik agama, bukan konflik kemanusiaan semata.
Butuh kesadaran seluruh umat muslim bahwa isu Palestina adalah isu Islam dan solusi untuk Palestina adalah bersatunya umat Islam serta mengusir penjajah hanya bisa dengan mengirim tentara. Dan satu-satunya yang bisa mewujudkan itu semua adalah Khilafah. Tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah akan mampu menyatukan dan membebaskan negeri-negeri muslim dari hegemoni barat. Dengan bersatunya negeri muslim dalam satu komando, tentu akan memudahkan menghimpun kekuatan militer yang tangguh dalam memerangi kaum penjajah seperti zionis dan sekutunya.
Oleh karena itu, sudah selayaknya kita sebagai umat muslim berjuang untuk menerapkan syariat Islam dalam bingkai Khilafah dengan cara menanamkan akidah yang kokoh pada seluruh umat, memberikan pemahaman yang benar tentang Palestina, mendakwahkan Islam Kaffah serta turut berdiri bersama orang yang memperjuangkan tegaknya Daulah Islamiyah, karena hanya dengan tegaknya Daulah, Palestina dan muslim di belahan dunia lainnya akan merdeka.
Wallahualam bis shawab.
0 Komentar