
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Seorang anak berusia 14 tahun di Lebak Bulus menusuk ayah, nenek dan ibu dengan sebilah pisau. Peristiwa ini menyebabkan ayah dan nenek tewas. Sedangkan ibu pelaku mengalami luka parah.
Kapolsek Cilandak Kompol Febriman Sarlase menyebut ayah dan nenek pelaku ditemukan tewas dalam kondisi bersimbah darah di lantai dasar rumah. Sedangkan ibunya dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati dalam keadaan luka berat. Pelaku sudah ditangkap dan kepolisian sedang mendalami motif apa dari sang anak begitu tega melakukan perbuatan keji itu (suara.com, 30-11-2024).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi meminta masyarakat untuk refleksi dan introspeksi serta mengambil pembelajaran dari kasus ini. Khususnya bagi para orangtua, Arifah mengingatkan untuk memastikan pola pengasuhan pada anak dapat dilakukan dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak (suara.com, 3-12-2024).
Generasi Sadis, Buah Penerapan Sistem Sekuler
Mengapa hanya diminta refleksi, intropeksi serta mengambil pelajaran dari kasus pembunuhan dewasa oleh anak? Padahal kasus serupa sudah berkali-kali terjadi, sangat tidak simpati jika hanya dikatakan kasuistik, ini sudah menjadi sebuah fenomena yang keluar akibat problem persoalan sistemis yang tak kunjung mendapatkan solusi.
Dalam sistem hari ini, faktor penyebabnya tak hanya berasal dari pola asuh orangtua yang mungkin kurang tepat sebagaimana yang disampaikan Arifah Fauzi saja, lebih banyak dari itu dan semua saling berkelindan. Semua terkait dengan sistem hari ini yang merusak fitrah manusia, termasuk mengubah karakter masyarakat menjadi masyarakat yang terbiasa dengan kekerasan. Tak ada budaya saling nasehat menasehati dan kehidupan ditempuh secara individualis.
Kondisi ini diperparah dengan negara yang tidak menjalankan fungsinya termasuk dalam menyelenggarakan sistem pendidikan yang memiliki visi membina kepribadian dan menjaga Kesehatan mental generasi. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).
Tentu yang dimaksud adalah seorang pemimpin yang berfungsi sebagai raa’in, yang bertanggung jawab atas rakyatnya termasuk membangun generasi. Sekaligus sebagai junnah (perisai) yang mampu melindungi rakyatnya dari gangguan apapun, termasuk jaminan kesehatan mental bagi generasi.
Sekalut apapun persoalan tidak dibenarkan solusinya adalah membunuh, kecuali memang mampu dibuktikan secara fakta bentuk kesalahan dan pelanggaran seseorang, semisal pencurian dengan pengambilan nyawa atau perlukaan. Namun jika sekarang, nyawa tak lebih murah dari sebungkus kacang tak bisa hanya bicara kemanusiaan apalagi HAM.
Lemahnya sanksi hukum di negeri ini juga jadi faktor pemicu kesekian. Bahkan mirisnya hukum bisa dipermainkan asalkan ada uang. Banyak kasus yang pelakunya anak pejabat, penguasa, pengusaha yang menguap begitu saja meski yang dilakukan sang anak terbukti sadis dan tak berperikemanusiaan.
Islam Solusi Kesehatan Mental Umatnya
Butuh solusi nyata yang bisa mewujudkan hadirnya pemimpin dengan kapasitas sebenar-benarnya pemimpin. Dan hanya kepemimpinan Islam yang memiliki tanggung jawab untuk melahirkan generasi cemerlang yang berkualitas. Melalui pendidikan yang berbasis akidah Islam. Menghasilkan generasi yang beriman dan bertakwa, menguasai iptek, berjiwa pemimpin.
Negara mendorong terciptanya suasana amar makruf nahi mungkar, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran sebagaimana Allah ﷻ berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya tetap di atas kesabaran” (TQS al-Ash :1-3).
Sejarah panjang penerapan Islam telah membuktikan lahirnya banyak sosok ilmuwan yang juga menguasai ilmu agama dan optimal berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Bukan yang berpenyakit mental hingga memandang pembunuhan adalah solusi.
Sebut saja penakluk Benteng Konstantinopel yaitu Muhammad Al Fatih atau Sultan Mehmed II. Kala itu beliau adalah sultan ketujuh dari Dinasti Utsmaniyah, berhasil menaklukkan Konstantinopel pada 29 Mei 1453 M di usia belia. Berbekal pendidikan yang mumpuni, penjagaan ulama, pola asuh anak, teladan orangtua yang salih dan penjagaan negara atas potensinnya, hingga teladan ketaatan orangtuanya terhadap syariat.
Alhamdulillah Fatih tumbuh dalam semangat jihad yang kental, sebagaimana ayahnya, Sultan Murad II, mengepung kota Konstantinopel selama 8 tahun. Tidakkah ini membangunkan kesadaran kita, bahwa hanya syariat yang diterapkan secara totalitas dan segala lini kehidupan yang mampu menciptakan generasi bersih dari kriminalitas dan ketakwaan yang luarbiasa? Mereka adalah generasi yang sadar senantiasa diawasi Allah, berkontribusi penuh terhadap pengaturan negara dan bersama rakyat terus menerus menjunjung tinggi agama Islam.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar