GENERASI KAFE: POTRET IRONI ANAK MUDA MUSLIM MASA KINI


Oleh: Achmad Luthfi
Pemerhati Anak Muda

Di sudut-sudut kota, dari pusat hingga pinggiran, menjamur kafe-kafe estetik yang penuh dengan anak-anak muda. Mereka datang berbondong-bondong, duduk berjam-jam, dengan gadget di tangan dan kopi susu kekinian di meja. Obrolan mereka ringan, seringkali tak bermakna. Tertawa terbahak, lalu sibuk membuat konten untuk story Instagram. Hari demi hari berlalu, namun tak ada perkembangan berarti dari diri mereka selain update status dan jumlah followers.

Inilah generasi yang oleh sebagian orang disebut sebagai "generasi kafe", sebuah julukan untuk anak muda yang lebih banyak menghabiskan waktunya nongkrong, menggulir layar smartphone, dan berbicara ngalor-ngidul tanpa arah. Mereka bukan tidak cerdas, bukan pula tidak mampu. Namun mereka tenggelam dalam gelombang hedonisme ringan dan budaya digital yang meninabobokan semangat perjuangan dan pemaknaan hidup.

Generasi muda ini, yang seharusnya menjadi agen perubahan dan pilar peradaban, justru terperangkap dalam jebakan konsumsi dan kesia-siaan. Ironi terbesar terjadi ketika mereka, yang seharusnya menjadi penerus kejayaan Islam, justru menjauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Waktu yang berharga dihabiskan untuk perkara remeh, bukan untuk belajar agama, bukan pula untuk menggali ilmu pengetahuan.

Mari kita tarik sejenak pandangan kita ke masa lalu. Lihatlah generasi muda pada masa Nabi Muhammad ď·ş. Mereka tidak sibuk memburu eksistensi semu, tidak asyik mengejar validasi dari sosial media. Mereka sibuk mengejar ridha Allah dan memperjuangkan kebenaran.

Lihatlah Ali bin Abi Thalib, di usia belasan tahun beliau sudah menjadi pejuang tangguh dalam barisan Rasulullah ď·ş. Ketika orang-orang dewasa masih ragu untuk menyatakan keislaman, Ali tampil sebagai pemuda yang pertama beriman dan berani. Ketika ancaman datang, ia tidak lari. Ia bahkan menggantikan posisi tidur Nabi di malam hijrah, siap menerima resiko nyawa demi keselamatan Rasulullah ď·ş.

Kemudian ada Usamah bin Zaid, yang di usia belum genap 20 tahun, dipercaya Rasulullah memimpin pasukan perang yang berisi para sahabat senior. Kepercayaan ini bukan karena faktor usia, tetapi karena kapasitas, integritas, dan dedikasi Usamah sebagai pemuda yang tangguh dan terdidik secara ruhiyah dan intelektual.

Juga ada Mus'ab bin Umair, pemuda tampan dan kaya raya dari keluarga bangsawan Mekkah. Ketika ia menerima Islam, semua kemewahan itu ia tinggalkan. Ia habiskan hidupnya untuk menyebarkan dakwah, bahkan menjadi duta Islam pertama yang dikirim ke Madinah. Mus'ab bukan sekadar "anak muda rajin ngaji", ia adalah arsitek perubahan sosial-politik di Yatsrib yang kelak menjadi Madinah al-Munawwarah.

Jika kita lanjutkan perjalanan sejarah ke masa kejayaan Khilafah Islam, kita akan mendapati nama-nama besar yang mengukir peradaban dunia, dan banyak di antara mereka adalah anak-anak muda yang tumbuh dalam iklim keilmuan dan keimanan yang kuat.

Di era Bani Abbasiyah, Baghdad menjadi pusat ilmu dunia. Baitul Hikmah menjadi simbol kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, dengan ratusan ilmuwan muda Muslim yang menerjemahkan dan mengembangkan ilmu dari berbagai penjuru dunia.

Lihatlah Ibnu Sina, sang Bapak Kedokteran Modern. Di usia 16 tahun, ia sudah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan yang ada pada masanya, dari filsafat, logika, matematika, hingga kedokteran. Karyanya, Al-Qanun fi al-Tibb, digunakan di universitas-universitas Eropa hingga berabad-abad setelahnya.

Kemudian ada Al-Khawarizmi, ilmuwan muda yang menemukan dasar-dasar aljabar dan algoritma, fondasi bagi revolusi teknologi informasi yang kita nikmati hari ini. Atau Al-Jazari, penemu mesin otomatis yang konsepnya menjadi cikal bakal robotika modern.

Semua itu lahir dari lingkungan yang menjunjung tinggi ilmu dan keimanan. Pemuda-pemuda ini bukan hanya pintar, tetapi juga taat. Mereka belajar bukan untuk pamer, tapi untuk kemaslahatan umat dan sebagai bentuk ibadah kepada Allah.

Perbandingan ini sangat kontras. Di satu sisi kita melihat pemuda hari ini yang tenggelam dalam budaya santai, konten kosong, dan gaya hidup konsumtif. Di sisi lain, kita menyaksikan para sahabat dan generasi muda Islam terdahulu yang membakar usia mudanya untuk perjuangan, ilmu, dan perubahan.

Bukan berarti nongkrong di kafe adalah dosa. Tidak. Tapi ketika nongkrong menjadi gaya hidup utama, dan isi obrolannya hanyalah keluhan, gosip, atau rencana traveling tak berkesudahan, maka di situlah kerugian terjadi. Waktu (nikmat Allah yang sangat mahal) terbuang sia-sia. Sementara di luar sana, umat Islam masih tertinggal dalam banyak aspek: sains, ekonomi, teknologi, dan budaya.

Sudah saatnya kita bangun dari tidur panjang ini. Generasi muda Islam tidak boleh puas hanya menjadi "penikmat kopi dan Wi-Fi". Kita harus menjadi generasi yang kembali membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab keilmuan. Kita perlu menciptakan ruang-ruang diskusi yang membahas solusi umat, bukan hanya meme politik dan drama selebritas.

Bangkitlah menjadi pemuda produktif, yang menjadikan setiap detik hidupnya bernilai ibadah. Gali ilmu agama untuk memperkuat akidah, pelajari sains dan teknologi untuk membangun peradaban. Buat startup yang memberi solusi untuk ummat. Jadi penggerak dakwah, bukan sekadar penikmat tontonan.

Karena sejarah akan mencatat: apakah kita adalah generasi yang melanjutkan kejayaan Islam, atau justru generasi yang menjadi beban sejarah.

Posting Komentar

0 Komentar