NATION-STATE: BATAS IMAJINER YANG MENUTUP JALAN JIHAD


Oleh: Abu Siddiq
Aktivis Dakwah

Bayangkan tubuh Anda sendiri. Suatu hari, salah satu bagian tubuh itu (katakanlah lengan kiri) terus-menerus ditusuk, dipukul, dibakar. Darahnya mengucur, dagingnya mengelupas, tulangnya retak. Namun, bagian tubuh lainnya justru sibuk bersolek, duduk santai, atau bahkan membantu si penyiksa dengan menyodorkan alat-alat penyiksaan. Anda pasti menganggap tubuh ini sakit, tidak waras, atau bahkan sudah mati rasa. Inilah potret nyata umat Islam hari ini, dan Gaza adalah lengan yang berdarah itu.

Lebih dari 55.000 nyawa melayang di Gaza sejak Oktober 2023. Perempuan, anak-anak, dan warga sipil tak berdosa menjadi angka statistik yang terus bertambah. Luka bukan hanya tertoreh di tanah Gaza, tapi juga di jantung kemanusiaan. Lebih dari 90% infrastruktur luluh lantak. Namun dunia, khususnya dunia Islam, justru seperti tubuh yang diam membeku saat jantungnya disayat perlahan.

Padahal Islam telah mengatur: ketika satu bagian tubuh umat diserang, bagian lainnya wajib bangkit membela. Jihad bukan sekadar panggilan keberanian, tapi perintah Ilahi yang wajib dilakukan saat saudara seiman tertindas. Ayat-ayat Al-Qur’an dan ijmak para ulama menegaskan hal itu. Imam Ibnu Qudamah, An-Nawawi, hingga Al-Mawardi menulis jelas bahwa pembelaan terhadap negeri Muslim yang dijajah adalah kewajiban seluruh umat.

Namun realitasnya, umat seakan kehilangan satu kesadaran penting: kita ini satu tubuh. Fanatisme kebangsaan (yang dalam Islam disebut ‘ashabiyah) telah mengeras seperti tumor yang memutus aliran kepedulian. Karena ‘bukan dari negara kita’, maka luka Palestina dianggap bukan urusan. Batas-batas buatan kolonial seperti pagar besi yang memisahkan nurani umat.

Tak heran jika Rasulullah ﷺ menyebut ‘ashabiyah sebagai bau busuk dari zaman jahiliah. Dalam hadits lain beliau bahkan mengecam keras siapa saja yang mati dalam kondisi membawa fanatisme ini:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى الْعَصَبِيَّةِ
Bukan dari golonganku orang yang menyerukan ‘ashabiyah.” (HR. Abu Dawud)

Nation-state (negara-bangsa) yang lahir dari reruntuhan Khilafah 1924, telah mereduksi ukhuwah Islamiyah menjadi sekadar slogan. Padahal Allah dengan tegas menyebut:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara.” (QS. al-Hujurat [49]: 10)

Namun hari ini, saat saudaranya dibantai, dan “saudara lain” justru membangun tembok perbatasan, menutup jalur bantuan, dan menangkap siapa pun yang hendak membela. Mesir, misalnya, menutup pintu Rafah, satu-satunya gerbang Gaza ke dunia luar. Ketika rakyat Mesir ingin turun ke jalan, rezim justru menangkapi mereka, menyebutnya teroris, dan memadamkan bara jihad masyarakatnya yang ingin menolong sesama umat.

Para penguasa negeri-negeri Muslim seolah menjadi bagian dari pagar berduri yang mengurung Gaza. Mereka tidak hanya pasif, tetapi juga aktif menghalangi bantuan, mengkriminalisasi solidaritas, bahkan menormalisasi hubungan dengan penjajah. Sebagian dari mereka diam, sebagian lagi memihak musuh. Mereka ini bukan perisai umat, tapi lubang dalam pertahanan, yang membuat darah umat terus mengalir.

Padahal Allah ﷻ mengancam:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
Janganlah kalian condong kepada orang-orang zalim, yang membuat kalian akan disentuh api neraka.” (QS. Hud [11]: 113)

Bahkan Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ أُذِلَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ وَلَمْ يَنْصُرْهُ، وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يَنْصُرَهُ، أَذَلَّهُ اللَّهُ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa yang melihat seorang Mukmin dihinakan dan tidak menolongnya padahal mampu, maka Allah akan menghinakannya di hadapan seluruh makhluk-Nya pada Hari Kiamat.” (HR. al-Hakim)

Maka pertanyaannya: masihkah umat Islam percaya pada tubuhnya sendiri? Ataukah sudah waktunya mengangkat kembali satu kepemimpinan yang mampu menggerakkan seluruh otot dan syaraf umat untuk bangkit melawan penjajahan?

Khilafah adalah sistem yang menjadikan umat satu tubuh, satu arah, satu pemimpin. Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai. Umat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR Muslim)

Khilafah bukan sekadar simbol, tapi struktur hidup yang menyatukan kekuatan, memutus ‘ashabiyah, dan menghidupkan kembali ikatan iman. Tanpa Khilafah, umat bagaikan tubuh tanpa kepala, terpecah, lemah, dan mudah diinjak.

Saatnya menyadari bahwa yang sedang terbakar di Gaza bukan sekadar tanah, tapi nyawa-nyawa saudara kita. Yang sedang disayat adalah tubuh kita sendiri. Jangan biarkan darah itu terus mengalir tanpa pembelaan. Jangan tunggu hingga tubuh ini benar-benar mati.

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ
Apa alasan kalian tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang tertindas…?” (QS. an-Nisa’ [4]: 75)

Posting Komentar

0 Komentar