MIRIS, MATINYA RASA KEMANUSIAAN ATAS PALESTINA


Oleh: Lia marliawati
Penulis Lepas

Langit Gaza kembali memerah. Asap membumbung dari puing-puing bangunan yang rata dengan tanah. Tangis anak-anak terdengar dari balik reruntuhan, sementara dunia... hanya menatap tanpa daya. Di tengah takbir Iduladha yang semestinya membawa kedamaian dan suka cita, dentuman bom justru menjadi irama kematian bagi saudara-saudara kita di Palestina. Mereka tidak sedang merayakan hari raya, mereka sedang berjuang untuk tetap hidup.

Di tengah derasnya arus informasi dan derasnya opini, satu hal yang makin nyata adalah hilangnya nurani global. Dunia telah menyaksikan terlalu banyak darah tertumpah, terlalu banyak tubuh kecil tergeletak tanpa nyawa. Namun, reaksi dunia hanya sebatas retorika dan kecaman formal. Inilah potret nyata bahwa kemanusiaan hari ini sedang sekarat, atau barangkali sudah mati.

Dilansir dari beritasatu.com, sedikitnya 17 warga Palestina dilaporkan gugur pada Sabtu, 07 Juni 2025 dini hari waktu setempat, bertepatan dengan hari kedua Idul Adha. Mereka menjadi korban serangan udara dan tembakan militer Israel yang menghantam wilayah Khan Younis dan Rafah di Jalur Gaza.

Dunia kembali menyaksikan salah satu tragedi kemanusiaan paling memilukan abad ini: penjajahan dan pembantaian sistematis atas bangsa Palestina oleh rezim Zionis Israel. Selama puluhan tahun, tanah Palestina dirampas; warganya dibunuh, disiksa, dibantai, bahkan dipaksa hidup dalam blokade kejam. Serangan brutal yang terus digencarkan Israel menghancurkan ribuan bangunan dan merenggut puluhan ribu nyawa, kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.

Tragisnya, dunia hanya menjadi penonton. Kekejaman ini tersiar luas melalui media internasional dan media sosial, namun respons nyata dari negara-negara besar maupun lembaga internasional sangat lemah. Dunia seakan bisu dan mati rasa, seolah nilai-nilai kemanusiaan telah dikorbankan demi kepentingan politik dan ekonomi global.

Konflik Palestina bukan sekadar sengketa tanah atau konflik dua negara. Ini adalah bentuk kolonialisme modern yang dilegalkan oleh kekuatan global. Dengan dukungan penuh dari negara-negara Barat (terutama Amerika Serikat) Israel secara terang-terangan melakukan genosida terhadap bangsa Palestina. Setiap rumah yang hancur, setiap anak yang terbunuh, dan setiap jeritan dari reruntuhan adalah bukti nyata kegagalan sistem internasional dalam menegakkan keadilan dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang kerap mereka agung-agungkan.

Lumpuhnya Dewan Keamanan PBB menjadi bukti lain. Lembaga yang seharusnya menjadi penjaga perdamaian dunia justru tak berdaya menghadapi veto dari negara adidaya. Organisasi-organisasi internasional yang mengklaim membela Hak Asasi Manusia pun hanya mampu mengeluarkan kecaman kosong, tanpa langkah konkret.

Yang lebih menyakitkan lagi, negara-negara Muslim sebagian besar hanya terbatas pada kutukan verbal tanpa keberanian untuk bertindak tegas menghentikan penjajahan ini. Padahal, lebih dari 80% warga Gaza kini hidup dalam kelaparan dan ketergantungan total pada bantuan kemanusiaan yang distribusinya sangat terbatas dan penuh hambatan. Zionis menjadikan kelaparan sebagai senjata perang untuk membunuh secara perlahan namun pasti.

Tragedi ini bukan hanya soal konflik geopolitik. Ini adalah tragedi kemanusiaan. Ini adalah bukti matinya rasa keadilan dunia.


Palestina adalah Masalah Umat, Bukan Isu Lokal

Islam memandang bahwa Palestina bukan hanya milik warga Palestina, tetapi bagian dari tanah kaum Muslimin. Masjid Al-Aqsa di Yerusalem (Al-Quds) (kiblat pertama umat Islam dan tempat suci ketiga setelah Makkah dan Madinah) berada di jantung konflik ini. Penjajahan atas tanah ini adalah penjajahan atas kehormatan umat Islam. Maka membebaskannya adalah kewajiban syar'i seluruh umat, terutama para penguasa Muslim.

Solusi Islam atas tragedi Palestina tidak cukup dengan doa, donasi, atau kecaman diplomatik semata. Islam menetapkan bahwa pembebasan wilayah yang dijajah hanya sah melalui jihad fi sabilillah yang dipimpin oleh negara. Karena itu, solusi hakiki adalah kebangkitan Khilafah Islamiyah, yakni institusi kepemimpinan umat yang menyatukan dunia Islam secara politik, militer, dan ekonomi untuk membebaskan negeri-negeri yang dijajah.

Khilafah akan menghimpun seluruh kekuatan dan sumber daya umat Islam (yang kini tersebar di lebih dari 50 negara) menjadi satu kekuatan besar yang tidak bisa disepelekan. Ini bukan sekadar konsep utopis, tapi merupakan solusi historis dan ideologis yang telah terbukti menyatukan umat dan menjaga kehormatan mereka selama berabad-abad.

Islam juga menetapkan hukum-hukum perang yang adil dan manusiawi: tidak boleh membunuh anak-anak, wanita, orang tua, dan tidak boleh merusak rumah ibadah. Semua itu sangat kontras dengan kebiadaban yang dilakukan oleh rezim Zionis hari ini.


Saatnya Umat Bangkit

Tragedi Palestina seharusnya membangunkan kesadaran umat Islam di seluruh dunia bahwa kita membutuhkan kepemimpinan global yang tulus, berani, dan berpihak kepada Islam dan umatnya. Bukan hanya sebagai respon emosional sesaat, tetapi sebagai tekad ideologis untuk mengembalikan kehidupan Islam secara kaffah.

Saatnya umat Islam bangkit, bukan hanya dengan rasa iba, tetapi dengan kesadaran politik dan keimanan yang mendorong lahirnya kembali Khilafah Islamiyah sebagai pelindung sejati bagi kaum Muslimin, dimanapun mereka berada.

Posting Komentar

0 Komentar