OTONOMI DAERAH: KECEMBURUAN DAERAH?


Oleh: Rida Asnuryah
Tenaga Pendidik

Di tengah riuhnya janji desentralisasi dan otonomi khusus, narasi ironis kembali mencuat dari ujung barat Nusantara: kisah "hilangnya" empat pulau dari pangkuan Aceh. Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek (yang selama ini berada di bawah pengakuan dan pengelolaan Kabupaten Aceh Singkil) secara sepihak dialihkan ke wilayah Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. (Kompas com, 15-06-2025)

Keputusan ini, yang muncul diam-diam dari meja birokrasi di Jakarta, memicu gelombang protes dan kebingungan di Bumi Serambi Mekkah, seolah merobek kembali jahitan perdamaian yang telah lama dirajut. Insiden ini secara fundamental mempertanyakan sejauh mana otonomi khusus benar-benar memberikan kekuasaan substantif, ataukah ia hanya menjadi simbol kosong di tengah upaya resentralisasi pusat yang tak kunjung berhenti? (Kompas.com, 15-06-2025)

Menanggapi hal ini, Anggota DPR asal Aceh Muslim Ayub menyakini polemik kepemilikan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) berkaitan dengan potensi kandungan minyak dan gas (migas) di wilayah tersebut.

Ia menilai bahwa keberadaan potensi cadangan minyak dan gas bumi di empat pulau itu merupakan alasan strategis yang mendorong Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengambil langkah kontroversial dengan mengalihkan batas wilayah dari Aceh ke Sumatera Utara. Menurutnya, keputusan ini bukan semata-mata soal administrasi, melainkan sarat kepentingan ekonomi yang mengabaikan proses musyawarah dan kejelasan hukum atas klaim wilayah yang telah lama diakui oleh masyarakat Aceh. (CNNIndonesia.com, 15-6-2025)


Kecemburuan Daerah

Pengalihan empat pulau dari Provinsi Aceh ke Provinsi Sumut mengundang perdebatan, ditambah dengan adanya dugaan potensi migas di wilayah tersebut. Inilah salah satu dampak yang kerap muncul dalam sistem pemerintahan berbasis otonomi daerah (Otda), ketika kewenangan yang luas tidak dibarengi dengan kejelasan batas wilayah dan koordinasi yang kuat antar pemerintah pusat dan daerah. Persoalan seperti ini menunjukkan bahwa desentralisasi, tanpa pengawasan dan regulasi yang tegas, justru dapat menimbulkan konflik baru antarwilayah. Otda adalah sistem yang lahir dalam kerangka demokrasi sekuler-kapitalis, terutama dari pemikiran negara-negara Barat pasca-revolusi industri dan modernisasi pemerintahan.

Otda memberikan masing-masing daerah kewenangan penuh untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri, termasuk dalam hal pengelolaan pendapatan daerah. Otda akan memicu adanya perbedaan taraf hidup rakyat di masing-masing daerah. Karena itu, tidak mengherankan jika dugaan adanya kandungan migas atau sumber daya alam lainnya menjadi pemicu perebutan wilayah.

Otda juga dapat memicu adanya kecemburuan sosial suatu daerah yang memiliki PAD (Pendapatan Asli Daerah) tinggi. Perbedaan Tingkat kesejahteraan juga dapat memicu adanya disintegrasi. Hal ini berbeda dalam sistem sentralisasi, di mana pembagian dana dilakukan secara terpusat oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat mengalokasikan dana ke berbagai sektor dan daerah sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Tidak ada kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengatur atau mengelola dana secara mandiri.


Sentralisasi Ala Islam

Islam menetapkan adanya pengelolaan wilayah oleh negara secara sentralistik. Negara bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan secara merata pada seluruh wilayah, tidak tergantung pada pendapatan masing-masing wilayah. Semua dikelola oleh negara untuk kepentingan semua rakyat seluruh wilayah. Tidak akan ada kondisi dimana angka kesenjangan sosial antar daerah menjulang tinggi.

Negara akan berlaku adil dalam mengurus rakyat karena Islam menetapkan penguasa sebagai raain (pengurus) dan junnah (perisai) bagi rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ. Hal ini dituangkan dalam Hadits Rasulullah ﷺ:

اَلْإِمَامُ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Imam adalah raa'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari).

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).

Kedua hadits tersebut menyadarkan kita bahwa standar kepemimpinan harus disandarkan kepada Islam. Sosok pemimpin adalah pengurus yang bertanggungjawab atas rakyatnya.

Dengan diterapkan Islam secara menyeluruh dalam sistem pemerintahan, prinsip sentralisasi akan dijalankan secara amanah dan adil. Sistem ini secara alami akan menghilangkan kesenjangan antarwilayah serta menghapus kecemburuan yang kerap muncul di antara daerah-daerah. Konflik pun dapat diminimalkan karena setiap kebijakan didasarkan pada keadilan, tanggung jawab, dan kesejahteraan bersama. Sudah saatnya kita kembali menjadikan Islam sebagai landasan utama dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wallahu A'lam...

Posting Komentar

0 Komentar