GLOBAL MARCH TO GAZA “AMARAH UMAT YANG MENEMBUS SEKAT NASIONALISME”


Oleh: Sulis Setiawati,S.Pd
Aktivis Muslimah

Sejak awal tahun 2024, gelombang aksi umat Islam bertajuk Global March to Gaza (GMtG) menggema dari berbagai penjuru dunia, melampaui batas-batas geografis. Ratusan ribu umat Islam dari Indonesia, Malaysia, Turki, Yordania, Mesir, pakistan, hingga Eropa dan Amerika turun ke jalan menyuarakan dukungan bagi Gaza dan menuntut penghentian genosida yang dilakukan oleh Israel.

Puncaknya, ribuan orang bergerak menuju Perbatasan Rafah, gerbang Gaza dari wilayah Mesir. Dilaporkan oleh laman kompas.tv (12/06/2025), Pemerintah Mesir disebut telah mendeportasi puluhan aktivis yang berniat bergabung dalam konvoi kemanusiaan sebagai bentuk perlawanan terhadap blokade Israel di Jalur Gaza. Aksi Global March to Gaza dimulai pada Minggu, 15 Juni 2025 bertujuan untuk menekan pihak-pihak terkait agar membuka blokade Gaza yang digempur Israel sejak Oktober 2023.

Blokade ini menjadi tamparan keras bagi gerakan kemanusiaan. Dengan harapan pintu Rafah yang seharusnya dibuka untuk bantuan justru ditutup oleh sesama negara Muslim. Sungguh miris dengan apa yang dilakukan oleh rezim Mesir, bukankah mereka adalah bagian dari saudara, saudaranya yang ada di Plaestina? Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

مَنْ أُذِلَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ وَلَمْ يَنْصُرْهُ، وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يَنْصُرَهُ، أَذَلَّهُ اللَّهُ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa yang melihat seorang Mukmin dihinakan dan tidak menolongnya padahal mampu, maka Allah akan menghinakannya di hadapan seluruh makhluk-Nya pada Hari Kiamat.” (HR. al-Hakim)

Dalil ini menegaskan bahwa membiarkan saudara Muslim tertindas, apalagi dengan alasan batas negara atau kepentingan nasional, merupakan sikap tercela dalam pandangan Islam.

Peristiwa yang terjadi, juga menunjukkan satu hal, yakni tidak ada harapan pada lembaga internasional maupun reim-rezim Muslim nasionalis hari ini. Mereka bukan hanya tidak membantu, namun menjadi bagian dari pagar penjaga sistem penjajahan. Hal ini disebabkan oleh semangat Nasionalisme “Warisan Kolonial” yang telah mendarah daging dan menjadi penghalang solusi. Seperti yang kita pahami, bahwa Nasionalisme dan negara-negara (nation–state) bukan ajaran Islam.

Keduanya adalah produk Barat yang dimasukkan ke tubuh umat Islam pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah tahun 1924 silam, yang merupakan strategi penjajah untuk membelah kekuatan umat, sehingga mengalihkan loyalitas dari agama kepada tanah dan bangsa. Padahal, umat Muslim itu saudara sebagaimana Allah ﷻ berfirman:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara...” (QS.Al–Hujurat: 10). 

Islam tidak mengenal batas negara ketika menyangkut solidaritas umat. Sebaliknya, nasionalisme memisahkan umat, hingga tentara Mesir merasa lebih wajib menjaga kedaulatan nasionalnya ketimbang menyelamatkan rakyat Gaza. Inilah jebakan paling berbahaya, dimana penguasa Muslim hari ini lebih takut pada Washington daripada pada Allah subhanahuwata’ala. Mereka lebih memilih ridho Amerika ketimbang menolong saudaranya yang dibantai oleh Israel.

Mengamati Aksi Kemanusiaan ini, menunjukkan kesadaran umat sedang bangkit. Namun, arah gerakannya perlu diperdalam sebagaimana yang kita ketahui, Palestina bukan hanya masalah kemanusiaan. Didalamnya terdapat masalah politik, penjajahan, dan pengkhianatan. Selama sekat negara dan bangsa masih bersemayam dalam benak, maka umat belum memiliki satu kepemimpinan global (Khilafah), maka bantuan akan di blokir, demontrasi dideportasi dan penguasanya akan menjadi penjaga status quo.

Berbeda dengan kepemimpinan Islam yang menegaskan bahwa pemimpin adalah perisai umat. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi ﷺ:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai. Umat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR Muslim)

Oleh karenanya, gerakan umat haruslah mengakar pada akar masalah, yakni mendobrak rasa Nasionalisme. Sehingga dapat berjuang diberbagai negeri Muslim tanpa batas bendera dan konsisten menyuarakan penegakkan Islam Kaffah sebagai solusi tunggal untuk membebaskan Palestina dan negeri-negeri Islam lainnya dari penjajahan.

Kini saatnya umat Islam melepaskan diri dari belenggu nasionalisme yang memecah belah dan menggantinya dengan persatuan hakiki di bawah panji Islam. Nasionalisme telah membatasi ukhuwah Islamiyah dalam sekat-sekat buatan manusia, sementara Islam mengajarkan persaudaraan yang melampaui batas-batas negara.

Sudah waktunya umat ini kembali kepada sistem hidup yang telah disyariatkan oleh Allah ﷻ (yaitu Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah) sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang mampu menyatukan kaum muslimin, menegakkan keadilan, dan menjaga kemuliaan umat di muka bumi.

Posting Komentar

0 Komentar