
Oleh: Rahma Puri Handayani
Ibu rumah Tangga
Pemerintah Mesir telah mendeportasi puluhan aktivis yang berencana mengikuti konvoi kemanusiaan yang bertujuan melawan blokade Israel di jalur Gaza. Aksi ini dikenal dengan nama Global March to Gaza (GMTA) dan dijadwalkan dimulai pada Minggu ini. Tujuannya adalah memberikan tekanan kepada berbagai pihak terkait agar menghentikan blokade terhadap Gaza yang telah digempur oleh Israel sejak Oktober 2023. Seorang pejabat Mesir menyatakan bahwa pemerintah setempat telah mendeportasi lebih dari 30 aktivis di hotel dan Bandara Internasional Kairo.
Beliau juga menyatakan melakukan deportasi karena para aktivis tersebut tidak mengantongi izin yang diperlukan. Pemerintah Mesir menentang blokade Israel di Gaza serta mendesak untuk segera melakukan gencatan senjata. Selain itu, Kairo juga gencar membungkam para pembangkang dan aktivis yang menyuarakan kritik terhadap hubungan ekonomi dan politik antara Mesir dan Israel. Hubungan tersebut merupakan isu sensitif di Mesir karena pemerintah tetap menjaga hubungan dengan Israel, kendati publik secara luas bersimpati dengan masyarakat Palestina. (Kairo, kompas.tv)
Kemenlu Mesir menyatakan bahwa para peserta GMTA harus mengantongi izin terlebih dahulu. Pihak kementerian juga mengaku bahwa banyak sekali permintaan akses masuk menuju perbatasan Mesir-Gaza, Kementrian Mesir pun menyatakan bahwa Mesir berhak melakukan tindakan yang diperlukan untuk menjaga keamanan nasional, termasuk meregulasi keluar-masuk serta pergerakan individu diwilayahnya khususnya di daerah perbatasan yang sensitif. (Rabu,11 Juni 2025 Associated Press)
Selain itu, sejumlah aktivis dan advokat yang berencana bergabung dalam aksi GMTA mengungkapkan bahwa pemerintah Mesir mulai melakukan razia dan deportasi terhadap para peserta sejak hari Rabu. Tindakan tersebut dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa penjelasan resmi atau alasan yang transparan dari pihak berwenang, sehingga memunculkan dugaan bahwa langkah itu merupakan upaya sistematis untuk menggagalkan solidaritas internasional terhadap rakyat Gaza.
Fatimah Roubi advokat asal Aljazair menyebutkan bahwa sekitar 3 orang koleganya ditahan di bandara pada hari rabu sebelum dideportasi sehari kemudian Sedangkan Bilal Nieh seorang aktivis Tunisia yang tinggal di Jerman mengaku dirinya pun turut dideportasi bersama 7 orang rekannya asal Afrika Utara yang juga memegang paspor Eropa.
Penyelenggara GMTA menyebutkan bahwa sebanyak 170 peserta mengalami penahanan atau hambatan saat berada di Kairo, meskipun mereka telah mematuhi protokol yang ditetapkan oleh pemerintah Mesir dan mendesak agar diberikan izin masuk. Pihak penyelenggara juga menyatakan bersedia memberikan informasi tambahan yang dibutuhkan otoritas Mesir untuk memastikan longmars ini agar bisa berlanjut dengan damai sampai perbatasan Rafah seperti yang mereka rencanakan.
Dengan munculnya gerakan Longmars GMTA ini menunjukkan bahwa kemarahan umat sangat besar. Dan ini menandakan bahwa tidak bisa hanya berharap kepada lembaga-lembaga internasional dan para penguasa hari ini, Sehingga tertahannya mereka di pintu Rafah justru semakin menunjukan bahwa gerakan kemanusiaan apapun tidak akan pernah bisa menjadikan solusi terhadap masalah Gaza, mengapa?
Sebab, penjajah telah berhasil membangun penghalang terbesar di negeri-negeri kaum Muslim, yaitu paham nasionalisme dan konsep negara bangsa. Paham ini telah memupus hati nurani para penguasa muslim dan tentara mereka, sehingga mereka rela membiarkan saudaranya dibantai di hadapan mata bahkan ikut menjaga kepentingan pembantai hanya demi meraih keridhaan negara adidaya yang menjadi tumpuan kekuasaan mereka yakni Amerika. Lalu bagaimana seharusnya Umat Islam menyikapi hal ini?
Umat Islam harus paham betapa bahayanya paham nasionalisme dan konsep negara bangsa, baik dilihat dari sisi pemikiran maupun sejarahnya. Keduanya justru dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Khilafah dan mempertahankan penjajahan di wilayah-wilayah Islam.
Tidak hanya itu Umat Islam juga harus paham bahwa arah pergerakan mereka untuk memberikan solusi konflik Palestina ini harus bersifat politik, yakni fokus untuk membongkar sekat negara bangsa dan mewujudkan satu kepemimpinan politik Islam di dunia.
Karena itu, sudah sepatutnya umat Islam mendukung dan bergabung dengan gerakan politik ideologis yang konsisten memperjuangkan tegaknya kepemimpinan politik Islam, tanpa terhalang sekat kebangsaan. Mari kita, umat Islam, bersatu menjadi bagian dari gerakan ini demi mewujudkan satu kepemimpinan politik Islam di dunia dan menyelesaikan persoalan Palestina secara tuntas.
Wallahu a'lam
0 Komentar