
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Ada dua fungsi utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disebut sebagai bukti kehadiran pemerintah dalam menghadapi krisis, yaitu sebagai shock absorber (peredam guncangan atau dampak negatif dari peristiwa ekonomi tidak terduga) dan bersifat counter-cyclical (tindakan untuk melawan atau menyeimbangkan siklus bisnis). Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, dalam acara CNBC Indonesia Economic Update 2025 yang digelar di Hotel Borobudur, 18 Juni 2025.
Saat ini, Indonesia dinilai rawan terkena guncangan eksternal, terutama akibat pelemahan ekonomi global dan konflik berkepanjangan di berbagai belahan dunia. Ketidakpastian ekonomi berdampak langsung kepada masyarakat, mulai dari kenaikan harga barang hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Dampak paling menyakitkan tentu dirasakan oleh kelompok rentan dan masyarakat miskin.
Febrio memastikan bahwa APBN disiapkan agar tetap resiliensi, yaitu mampu beradaptasi dan pulih dari tekanan, sehingga bisa melindungi masyarakat dari dampak signifikan ketidakpastian global.
Menurutnya, ketahanan pangan dan energi adalah kunci agar Indonesia mampu bertahan. APBN akan difokuskan untuk mendorong pertumbuhan sektor bernilai tambah tinggi yang menciptakan lapangan kerja, khususnya dimulai dari desa.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendukung pendapat Febrio. Ia menegaskan bahwa APBN memiliki tiga fungsi utama: stabilitas, distribusi, dan alokasi. Fungsi stabilitas menjadikan APBN sebagai shock absorber ketika ekonomi mengalami lonjakan ataupun pelemahan. Adapun fungsi counter-cyclical dilakukan dengan meningkatkan belanja pemerintah dan memangkas pajak saat kondisi ekonomi sedang lesu (CNBCIndonesia.com, 20/6/2025).
Istilah Keren, Tidak Selaras dengan Fakta
Banyak istilah asing digunakan oleh para pejabat dalam menjelaskan fungsi APBN. Intinya, APBN disebut tangguh menghadapi krisis dan bisa menjadi bantalan fiskal (shock absorber) melalui kebijakan belanja dan perpajakan yang fleksibel (counter-cyclical). Tapi benarkah begitu kenyataannya?
Faktanya, postur APBN sangat bergantung pada pajak dan utang negara, dua sumber penerimaan yang rentan dan tidak berkelanjutan.
Banyak pembiayaan APBN justru dialokasikan untuk proyek yang tak kunjung selesai seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Kereta Cepat. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri pernah mengeluhkan bahwa beban terbesar APBN justru berasal dari program bantuan sosial (Bansos), BLT, dan ragam subsidi lainnya.
Nasib rakyat pun serba dilematis. Di satu sisi, mereka dipungut pajak atas hampir semua aktivitas, pekerjaan, usaha, rumah, tanah, makanan di restoran, bahkan saat menggunakan toilet umum. Di sisi lain, ketika menerima bantuan, rakyat masih dicap sebagai beban negara. Bukankah mereka hanya menuntut haknya?
Belum lagi beban besar dari utang negara yang terus bertambah atas nama pembangunan. Alih-alih menyejahterakan rakyat, utang justru menggerogoti APBN untuk membayar cicilan dan bunganya. Pada 2024, pembayaran bunga utang saja mencapai hampir Rp500 triliun, atau sekitar 15% dari total APBN.
Celakanya, pemerintah terus menambah utang, baik melalui skema investasi maupun hibah. Berbagai nota kesepakatan ditandatangani, menciptakan siklus "gali lubang tutup lubang". Tiap kali Sri Mulyani mengumumkan bahwa Indonesia telah membayar utang jatuh tempo, sesungguhnya yang dibayar sering kali hanyalah bunganya, bukan pokoknya. Lalu, pantaskah rakyat diharapkan sejahtera dalam sistem seperti ini?
APBN Islam, Tanpa Pajak dan Tanpa Utang
Sebagai umat Islam, kita sebenarnya tidak perlu mencari solusi terlalu jauh. Akar persoalannya jelas: aturan kehidupan yang diadopsi dunia hari ini adalah kapitalisme, yang bersifat sekuler dan memisahkan agama dari kehidupan. Ukuran sukses dalam kapitalisme adalah akumulasi materi sebanyak mungkin, tanpa peduli halal dan haram.
Utang berbasis riba dianggap biasa, bahkan jadi andalan. Transaksi non-riil seperti saham dan asuransi dijadikan tumpuan ekonomi. Maka tak heran bila sistem ini hanyalah bom waktu kehancuran.
Islam menawarkan solusi alternatif melalui lembaga Baitulmal, yang memiliki sumber dan pengeluaran berdasarkan syariat. Dalam Islam, terdapat tiga jenis kepemilikan: individu, negara, dan umum. Jika suatu harta termasuk kepemilikan individu, maka pihak lain tak boleh mengganggunya. Sementara kepemilikan umum dan negara dikelola oleh negara untuk dikembalikan kepada rakyat, baik dalam bentuk barang langsung seperti listrik dan air, maupun tidak langsung seperti pembangunan sekolah, jalan, dan rumah sakit.
Berbeda dengan APBN, Baitulmal tidak mengenal defisit. Semua pemasukan dan pengeluaran dilakukan atas perintah Khalifah untuk kemaslahatan umat. Tidak ada sistem penganggaran tahunan yang dibawa ke sidang legislatif. Pos-pos dalam Baitulmal bersifat dinamis, bergantung pada aktivitas negara, terutama politik luar negeri yang berbasis dakwah dan jihad, yang bisa membawa peningkatan pendapatan dari sumber-sumber sah.
Namun, tidak ada kezaliman dalam sistem ini. Baitulmal Khilafah terbukti tangguh. Salah satu contohnya terjadi saat bencana kelaparan besar di Irlandia (1845–1852), yang menewaskan lebih dari satu juta jiwa. Saat itu, Irlandia berada di bawah kendali Inggris yang hanya memberi bantuan sebesar £2.000.
Sebaliknya, Sultan Abdulmejid I dari Kekhilafahan Utsmaniyah (Ottoman) justru mengirim bantuan sebesar £10.000 (setara USD 1,3 juta hari ini). Namun karena nilainya melebihi bantuan Inggris, Ratu Victoria meminta bantuan itu dikurangi. Sultan menurunkannya menjadi £1.000, tapi diam-diam tetap mengirim tiga kapal berisi makanan dan obat-obatan ke pelabuhan Drogheda, menghindari angkatan laut Inggris yang melarang kapal asing berlabuh di Dublin dan Cork.
Hingga kini, 173 tahun kemudian, rakyat Irlandia masih mengenang bantuan Sultan Ottoman tersebut. Bukti bahwa pengelolaan yang tepat berbasis Islam dapat memberikan keberkahan dan kesejahteraan lintas batas.
Penutup
Dunia yang kacau ini bukan karena kekurangan sumber daya, melainkan karena kesalahan sistem dalam mengelolanya. Ketika kapitalisme menjadikan rakyat sebagai beban, maka Islam justru memuliakan rakyat sebagai pemilik hak yang harus dilayani.
Sudah saatnya kita kembali kepada aturan yang datang dari Sang Pencipta, yakni Islam, dengan sistem Khilafah dan Baitulmal sebagai jalan keluar hakiki dari kekacauan ekonomi global.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
0 Komentar