
Oleh: Afif Fadhyla
Pengusaha
Polemik seputar empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara sejatinya tidak perlu terjadi, apalagi dipermasalahkan kembali saat ini. Persoalan semacam ini berpotensi terus berulang di masa depan jika hanya didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok yang ingin mengambil keuntungan dari wilayah tersebut. Apabila kepentingan itu dicapai tanpa cara yang baik, benar, dan adil sesuai syariat, maka yang akan terjadi adalah kerusakan dan kerugian bagi masyarakat sekitar.
Melihat dinamika yang muncul, seharusnya sudah jelas bahwa polemik ini tidak patut dipahami sebagai perebutan hak atas empat pulau tersebut. Pasalnya, ketentuan mengenai wilayah tersebut telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom Provinsi Aceh dan perubahan pembentukan Provinsi Sumatera Utara. Lalu, mengapa baru sekarang muncul rencana pemindahan administrasi empat pulau itu ke Sumatera Utara?
Empat pulau yang secara historis merupakan bagian dari Provinsi Aceh (yaitu Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Lipan) akan dialihkan ke wilayah Sumatera Utara. Keempat pulau ini terletak di perairan strategis di pesisir barat Sumatera, yang menjadi lintasan pelayaran regional. Selain memiliki nilai strategis dari aspek sumber daya alam dan posisi geografis, wilayah ini juga memiliki prospek ekonomi-politik yang besar di masa depan.
Agar masalah ini tidak meluas dan mengganggu stabilitas nasional, Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, turun tangan secara langsung. Padahal semestinya, hal ini bisa ditangani oleh Menteri Dalam Negeri, Bapak Tito Karnavian. Dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Prabowo pada Selasa, 16 Juni 2025, diputuskan bahwa keempat pulau yang menjadi sengketa tersebut sah menjadi bagian dari wilayah Provinsi Aceh.
Polemik ini menjadi kompleks sejak terbitnya Keputusan Kementerian Dalam Negeri melalui Surat Keputusan Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang pemutakhiran kode serta data wilayah administrasi pemerintahan dan pulau-pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025. Dalam keputusan tersebut, empat pulau yang selama ini menjadi bagian Aceh dialihkan masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Sikap Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang mendukung keputusan Kemendagri tersebut, turut menyulut polemik. Sebagai menantu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, Bobby bahkan berdalih bahwa pengalihan pulau itu merupakan kewenangan pemerintah pusat, bukan provinsi Aceh ataupun Sumatera Utara. Pada akhirnya, polemik mengenai empat pulau itu terkesan sebagai perebutan wilayah yang seharusnya tak perlu terjadi.
Pandangan Islam
Dalam perspektif Islam, kita dapat menelaah lebih luas dan mendalam bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana ditegaskan dalam dua ayat Al-Qur’an:
وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ ۗوَاِلَى اللّٰهِ تُرْجَعُ الْاُمُوْرُ
“Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang di bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.” (QS. Ali ‘Imran: 109)
وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيْطًا
“Hanya milik Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’: 126)
Dari dua ayat ini dapat dipahami bahwa manusia sejatinya hanya diberi tanggung jawab untuk mengelola bumi, bukan memilikinya secara mutlak. Manusia diwajibkan menjaga agar tidak terjadi kerusakan di bumi ini.
Islam memandang kepemilikan sebagai amanah. Meskipun manusia memiliki kecenderungan untuk memiliki sesuatu secara individu, pada hakikatnya manusia tetap membutuhkan pihak lain dalam kehidupan sosialnya, karena manusia adalah makhluk sosial. Apa pun yang telah dianugerahkan Allah harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan umat, tanpa melanggar batas-batas yang telah ditentukan oleh syariat.
Hak atas kepemilikan dalam Islam berbeda dengan kepemilikan absolut. Kepemilikan sejati hanyalah milik Allah, dan manusia hanya diberi izin dan amanah untuk memanfaatkannya secara adil dan maslahat.
Dalam kasus polemik empat pulau ini, wilayah tersebut sejatinya termasuk dalam kategori kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah) dalam hukum Islam. Artinya, wilayah itu boleh dimanfaatkan oleh siapa saja, asalkan tidak merugikan masyarakat sekitar. Pulau atau perairan harus dapat diakses oleh semua orang, bukan dimonopoli atau dijadikan objek eksploitasi untuk kepentingan sempit.
Kepemilikan dan Naluri Baqa’
Salah satu alasan manusia terus merasa tidak puas adalah karena adanya naluri baqa’, naluri mempertahankan eksistensi. Jika naluri ini tidak dikendalikan oleh iman dan syariat, maka manusia akan terjerumus pada kerakusan, tidak pernah bersyukur, dan selalu merasa kurang. Inilah yang bisa menimbulkan konflik dan kerusakan di berbagai tempat.
Lebih jauh, sistem hari ini memaksa setiap negara atau wilayah administratif untuk membagi dan membatasi wilayah, baik darat, laut, maupun udara. Padahal dalam Islam, seluruh wilayah adalah milik Allah. Manusia hanya diberi amanah untuk mengelolanya dengan baik, benar, dan adil berdasarkan hukum Allah.
Penutup
Jika konsep kepemilikan dalam Islam diterapkan secara kaffah, maka polemik seperti sengketa pulau ini tidak akan berlarut-larut atau menyebar ke wilayah lain. Islam tidak hanya memikirkan kepentingan individu, tetapi juga meletakkan kepentingan umat sebagai poros utama pengelolaan sumber daya. Inilah solusi hakiki yang seharusnya menjadi arah pemikiran dan kebijakan para pemimpin negeri.
0 Komentar