
Oleh: Alex Syahrudin
Pemerhati Kebijakan Publik
Pada Selasa siang, 14 Januari 2025, sekelompok purnawirawan TNI dari Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia (FPPI) bersama aktivis dari Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) mendatangi Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta Pusat. Tujuannya adalah untuk menyampaikan temuan lapangan mengenai keberadaan pagar laut sepanjang 30 kilometer di Laut Utara Banten, yang kini menjadi sorotan publik. Dalam audiensi yang rencananya dilakukan, mereka ingin membuka fakta tentang dalang utama di balik proyek pagar laut tersebut, yakni Mandor Memet, Ang Cun alias Ghojali, dan Ali Hanafiah Lijaya, orang kepercayaan pengusaha terkenal, AGUAN.
Namun, karena terbentur prosedur birokrasi, mereka hanya mampu menyampaikan surat permohonan audiensi dan menggelar konferensi pers. Dalam kesempatan itu, mereka menegaskan kembali informasi yang diperoleh, termasuk keterlibatan pihak-pihak yang disebutkan sebagai aktor utama di balik proyek pagar laut tersebut.
Pemerintah Dituding Lamban Bertindak
Sehari kemudian, pada 15 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto melalui Ahmad Muzani, Sekjen Gerindra sekaligus Ketua MPR RI, menyatakan bahwa pagar laut di Laut Tangerang, Banten, harus segera dicabut dan diusut. Namun, janji tersebut tampak hanya retorika belaka. Bukannya menindaklanjuti laporan para penggugat, Direktur Pengawasan Sumber Daya Perikanan KKP, Halid Jusuf, justru mengalihkan perhatian dengan memanggil Jaringan Rakyat Pantura (JRP), yang mengklaim pagar laut itu dibangun secara swadaya oleh nelayan.
Klaim ini pun langsung terbantahkan. Dalam program televisi Catatan Demokrasi yang tayang pada 14 Januari, Sandi Martaptaja selaku Koordinator JRP gagal mempertahankan argumennya. Bahkan, seorang nelayan bernama Holid Mikdar dengan tajam dan logis membantah bahwa pagar laut itu dibuat oleh warga secara swadaya. Fakta-fakta ini seolah mempertegas bahwa pihak pemerintah lebih memilih menghindari konfrontasi dengan aktor-aktor besar yang diduga terlibat.
Simbol Perlawanan Emak-Emak ARM
Kritik terhadap lambannya langkah pemerintah semakin memuncak ketika pagar laut PIK-2, yang sebelumnya hanya disegel dengan memasang spanduk, tak kunjung dibongkar. Tindakan pemerintah ini dinilai sebatas formalitas tanpa hasil nyata. Akibatnya, akses nelayan untuk melaut tetap terganggu.
Pada Kamis, 15 Januari 2025, aktivis dari ARM, mayoritas terdiri dari emak-emak, mendatangi lokasi pagar laut. Dalam aksi simbolis yang penuh makna, mereka mencabut salah satu bilah bambu dari pagar laut tersebut. Tindakan ini menjadi representasi kegeraman rakyat atas ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan masalah yang jelas-jelas merugikan masyarakat kecil.
Janji yang Dianggap Kosong
Janji Presiden Prabowo untuk mencabut dan mengusut pagar laut ini justru dipandang masyarakat sebagai “omon-omon” belaka, sekadar retorika tanpa realisasi. Perbandingan pun muncul dengan janji program makan siang gratis yang berubah-ubah hingga akhirnya mengandalkan dana zakat, infak, dan sedekah. Kritik ini memunculkan saran bernada satir: mengganti kementerian koordinator bidang pangan dan gizi dengan takmir masjid yang dianggap lebih profesional dalam mengelola makan siang gratis.
Kritik terhadap Pemerintahan dan Oligarki
Kisruh pagar laut ini dianggap sebagai bukti konkret lemahnya pemerintah dalam menghadapi oligarki. Janji-janji yang dilontarkan hanya reaksi terhadap kritik tanpa inisiatif menyelesaikan masalah. Jika benar ada perintah Presiden untuk mencabut pagar laut, mengapa pelaksanaannya begitu sulit? Apakah pemerintah takut menghadapi kekuatan besar di balik aktor-aktor yang disebutkan, seperti AGUAN?
Jika pemerintah serius mengusut kasus ini, mengapa aparat hukum tidak segera menangkap Mandor Memet, Ang Cun alias Ghojali, dan Ali Hanafiah Lijaya?
Kesimpulan: Republik yang Dikuasai Oligarki
Kegagalan pemerintah menangani isu pagar laut di Pantai Utara Banten menjadi potret suram bagaimana Republik ini dikelola. Pemerintah yang seharusnya bertindak sebagai pelindung rakyat malah terlihat seperti boneka di bawah kendali oligarki. Ini adalah kenyataan pahit yang harus diterima rakyat Indonesia, bahwa kedaulatan negara sering kali terpinggirkan oleh kepentingan segelintir elite.
Harapan besar kini berada di pundak masyarakat untuk terus bersuara lantang dan memastikan pemerintah tidak lagi tunduk pada kekuatan-kekuatan yang merugikan kepentingan rakyat kecil.

0 Komentar