DEEPSEEK DAN BABAK BARU PERANG TEKNOLOGI AS-CHINA


Oleh: Darul Al-Fatih
Pemerhati Teknologi

Industri kecerdasan buatan (AI) global kembali diguncang dengan kehadiran Deepseek, model AI asal China yang langsung mencuri perhatian sejak hari pertama peluncurannya pada 27 Januari. Tidak hanya menjadi platform AI dengan unduhan teratas di Apple Store, terutama di Amerika Serikat, Deepseek juga memberikan pukulan telak terhadap saham perusahaan teknologi raksasa di AS. Salah satu korban terbesar adalah Nvidia, yang sahamnya anjlok hingga 16,9%, menguapkan hampir 600 miliar dolar AS atau sekitar Rp9.600 triliun.

Tak lama setelah Deepseek menggemparkan industri AI, Alibaba—raksasa teknologi asal Hangzhou, China—turut meramaikan persaingan dengan meluncurkan Ken 2.5 Max, model AI yang diklaim lebih unggul dari Deepseek V3 hingga GPT-4o milik OpenAI. Fenomena ini menandai babak baru dalam perang teknologi yang semakin memanas antara Amerika Serikat dan China.


Dari Perang Dagang ke Perang Teknologi

Hubungan antara AS dan China memang tidak pernah stabil. Kedua negara ini memiliki sejarah rivalitas yang kompleks, yang awalnya didominasi oleh perang dagang, tetapi kini meluas ke ranah teknologi. Sejak tahun 2010, AS telah secara resmi mengakui adanya "perang teknologi" dalam dokumen kebijakan nasionalnya.

China yang dulu hanya dikenal sebagai pusat manufaktur dengan biaya produksi rendah, kini telah berubah menjadi pemain utama dalam inovasi teknologi, termasuk AI, semikonduktor, dan telekomunikasi 5G. Lewat kebijakan "Made in China 2025", Presiden Xi Jinping menegaskan tekadnya untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi Barat dan menjadikan China sebagai pemimpin global dalam industri teknologi canggih.


Persaingan di Bidang Kecerdasan Buatan (AI)

AI menjadi medan utama dalam perang teknologi ini. AS selama ini unggul dengan perusahaan-perusahaan seperti Google DeepMind dan OpenAI, sementara China telah memasukkan AI sebagai prioritas nasional dengan target menjadi pemimpin global pada tahun 2030. Lewat kebijakan "New Generation AI Development Plan", China secara agresif mendorong pertumbuhan AI dengan dukungan penuh dari pemerintah.

Persaingan semakin memanas ketika AS memperketat kontrol ekspor terhadap China. Pada 13 Januari 2025, AS mengesahkan aturan baru yang membatasi ekspor chip AI ke China. Sebagai respons, China mendirikan dana investasi AI baru senilai 60 miliar Yuan (sekitar 8,2 miliar dolar AS) untuk mempercepat pengembangan AI domestik.

Kehadiran Deepseek menjadi titik balik dalam persaingan ini. Dengan biaya pengembangan hanya sekitar 6 juta dolar AS dalam dua bulan, dibandingkan GPT-4 yang menelan biaya hingga 63 juta dolar AS dalam waktu setahun, Deepseek menjadi ancaman serius bagi dominasi AI Barat.


Perebutan Kendali atas Semikonduktor

Semikonduktor adalah tulang punggung teknologi modern. Selama ini, AS mendominasi industri semikonduktor melalui perusahaan seperti Intel, Nvidia, AMD, dan Qualcomm. AS juga mengendalikan rantai pasok global semikonduktor lewat perusahaan seperti ASML, Applied Materials, dan Lam Research.

Meski AI China berkembang pesat, negara ini masih bergantung pada teknologi semikonduktor asing. Untuk mengurangi ketergantungan tersebut, China mengembangkan perusahaan semikonduktor sendiri, seperti SMIC. Namun, SMIC masih tertinggal dari raksasa industri seperti TSMC dan Samsung dalam hal produksi chip canggih.

Perang teknologi semakin tajam ketika AS menerapkan larangan ekspor teknologi semikonduktor ke China. Sebagai balasan, China membatasi ekspor mineral langka seperti galium, antimon, dan germanium—bahan utama dalam pembuatan chip AI, persenjataan, hingga energi baru.


Pertarungan di Infrastruktur 5G

Di sektor infrastruktur jaringan, China telah menjadi pemimpin global, terutama melalui Huawei yang mendominasi industri 5G. Ketegangan semakin memuncak saat Huawei merilis ponsel Mate 60 Pro pada Agustus 2023. Ponsel ini menggunakan chip 7 nanometer buatan SMIC, sesuatu yang dianggap mustahil mengingat sanksi AS bertujuan mencegah China mengembangkan chip di bawah 14 nanometer.

Keberhasilan Huawei dalam menghadapi tekanan AS menjadi simbol bahwa China tidak bisa diremehkan dalam perang teknologi ini. Bahkan, peluncuran Mate 60 Pro bertepatan dengan larangan ekspor peralatan semikonduktor dari Belanda ke China, yang menunjukkan semakin ketatnya blokade teknologi dari Barat.


Dampak bagi Indonesia: Peluang atau Ancaman?

Rivalitas teknologi AS-China juga membawa dampak bagi Indonesia. Di satu sisi, kebijakan "China Plus One" yang diterapkan AS membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi di sektor teknologi. Banyak perusahaan AS mulai mencari alternatif manufaktur di luar China, dan Indonesia bisa menjadi salah satu tujuan utama. Faktanya, pada tahun 2021, investasi AS di sektor teknologi informasi Indonesia sudah mencapai 52,9% dari total investasi asing.

Namun, di sisi lain, China tetap memiliki pengaruh besar di Indonesia. Pada 2022, sebanyak 57,4% impor mesin listrik dan elektronik Indonesia masih berasal dari China. Ketergantungan ini bisa menjadi bumerang jika perang teknologi semakin memburuk, karena Indonesia akan terkena dampak dari kebijakan pembatasan perdagangan yang dilakukan AS terhadap China.

Salah satu tantangan utama bagi Indonesia adalah standarisasi teknologi. Saat ini, banyak produk teknologi China masih mengikuti standar AS agar tetap kompetitif di pasar global. Jika di masa depan kedua negara menciptakan standar teknologi yang tidak kompatibel satu sama lain, Indonesia bisa mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan teknologi yang berasal dari dua kutub berbeda.


Kesimpulan

Perang teknologi antara AS dan China tidak hanya sekadar persaingan industri, tetapi juga menjadi perebutan dominasi ekonomi dan geopolitik global. AS berusaha mempertahankan keunggulannya dengan membatasi akses China terhadap teknologi utama, sementara China terus berusaha mencapai kemandirian teknologi.

Hasil dari perang teknologi ini akan berdampak jauh melampaui kedua negara tersebut. Indonesia dan banyak negara lain harus bersiap menghadapi perubahan dalam rantai pasok, investasi, serta keseimbangan ekonomi dunia. Dalam situasi ini, Indonesia perlu memainkan strategi yang cermat agar bisa mengambil manfaat dari persaingan tanpa terjebak dalam ketegangan geopolitik yang semakin memanas.

Posting Komentar

0 Komentar