
Oleh: Diaz
Subscriber Budi Ashari Official
Dalam podcast Ustadz Budi Azhari, beliau membahas topik menarik tentang kesengsaraan hidup di dunia, yang diambil dari kisah Nabi Adam dan Hawa. Ustadz Budi mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kehidupan modern yang penuh dengan kesibukan dan tekanan, serta bagaimana Islam memberikan panduan untuk menghadapi tantangan tersebut.
Antara Nafkah dan Kesengsaraan
Ustadz Budi Azhari memulai pembahasannya dengan menggambarkan betapa sibuknya kehidupan manusia modern. Setiap pagi, kita melihat orang-orang sudah bersiap untuk berangkat kerja, bahkan ada yang sudah memarkir kendaraannya di depan masjid sebelum salat Subuh. Mereka terburu-buru, kadang memprotes jika imam salat terlalu lama, karena harus segera berangkat kerja. Kesibukan ini tidak hanya terjadi di pagi hari, tetapi juga berlanjut hingga malam, bahkan seringkali lembur demi mengejar target pekerjaan.
"Lah, gimana? Cicilan mobil belum dibayar, cicilan rumah juga belum lunas, anak sekolah butuh biaya. Kalau tidak bekerja, bagaimana bisa menghidupi keluarga?" tanya Ustadz Budi, menggambarkan betapa beratnya beban yang dipikul oleh banyak orang, terutama laki-laki sebagai pencari nafkah.
Kesengsaraan Hidup di Dunia
Ustadz Budi kemudian mengaitkan kesibukan dan kesengsaraan ini dengan kisah Nabi Adam dan Hawa. Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan bahwa hidup di dunia ini memang penuh dengan kesengsaraan. Ketika Adam dan Hawa diturunkan ke bumi, Allah berfirman, "Sesungguhnya di bumi itu kamu akan hidup sengsara." (QS. Thaha: 117). Ini menunjukkan bahwa kesengsaraan adalah bagian dari kehidupan dunia.
Namun, yang menarik adalah, meskipun Adam dan Hawa sama-sama melakukan kesalahan dan sama-sama diturunkan ke bumi, Allah menyebut kesengsaraan itu khusus untuk Adam. "Fatasqa Adam" (Adam akan hidup sengsara). Mengapa hanya Adam yang disebut sengsara, padahal Hawa juga ikut merasakan kesulitan hidup di bumi?
Ustadz Budi menjelaskan bahwa ini adalah simbol bahwa laki-laki, sebagai pencari nafkah, akan menanggung beban kesengsaraan tersebut. Dalam tafsir Imam Qurtubi disebutkan bahwa sejak saat itulah, tanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga dibebankan kepada laki-laki. Ini adalah bentuk perlindungan Islam terhadap perempuan, agar mereka tidak terbebani dengan urusan mencari nafkah.
Peran Laki-laki sebagai Qawwam
Ustadz Budi menekankan bahwa laki-laki diciptakan dengan kekuatan fisik dan mental untuk menanggung beban kesengsaraan dalam mencari nafkah. Ini adalah tugas mulia yang setara dengan tugas kenabian. Dalam Islam, mencari nafkah yang halal untuk keluarga adalah ibadah yang sangat bernilai. Bahkan, setiap suapan makanan yang diberikan kepada istri dan anak-anaknya dianggap sebagai sedekah.
"Kalau laki-laki sengsara, maka keluarganya juga akan sengsara. Sebaliknya, jika laki-laki bahagia, maka keluarganya juga akan bahagia," ujar Ustadz Budi. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran laki-laki sebagai qawwam (pemimpin) dalam keluarga. Namun, sayangnya, banyak laki-laki modern yang justru melibatkan perempuan dalam kesengsaraan mencari nafkah, seperti istri yang harus bekerja keras di pabrik atau menjadi tulang punggung keluarga.
Kesengsaraan yang Tidak Perlu
Ustadz Budi juga mengkritik gaya hidup modern yang justru menambah beban kesengsaraan. Selain empat kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, dan air), manusia modern menciptakan banyak "kebutuhan" tambahan yang sebenarnya tidak pokok. Mulai dari ganti-ganti gadget, kendaraan mewah, hingga gaya hidup konsumtif lainnya. Ini semua justru menambah beban dan kesengsaraan hidup.
"Allah sudah mengingatkan, hidup di dunia ini sengsara. Tapi kita malah menambah-nambah kesengsaraan itu dengan hal-hal yang tidak perlu," ujar Ustadz Budi. Beliau mengajak kita untuk kembali ke fitrah, hidup sederhana, dan fokus pada kebutuhan pokok yang memang diperlukan.
Menghadapi Kesengsaraan dengan Syariat
Meskipun hidup di dunia penuh dengan kesengsaraan, Islam memberikan solusi untuk menghadapinya. Ustadz Budi menekankan pentingnya memasukkan aktivitas mencari nafkah dalam frame syariat. Artinya, setiap usaha yang dilakukan untuk menghidupi keluarga harus dilandasi dengan niat ibadah dan mencari ridha Allah.
"Kalau kita mencari nafkah dengan frame syariat, maka lelah dan capek itu akan bernilai pahala. Bahkan, setiap suapan makanan yang kita berikan kepada istri dan anak-anak kita adalah sedekah," jelas Ustadz Budi. Ini adalah cara Islam mengubah kesengsaraan menjadi sesuatu yang indah dan bermakna.
Hidup Bahagia dalam Kesederhanaan
Ustadz Budi mengajak kita untuk merenungkan kembali tujuan hidup. Kesengsaraan di dunia ini seharusnya tidak membuat kita lupa bahwa kehidupan akhirat adalah tujuan utama. "Hidup di dunia ini sengsara, tapi Allah memerintahkan kita untuk mengambil dunia secukupnya. Jangan sampai kita terjebak dalam kesengsaraan yang kita ciptakan sendiri," pesannya.
Dengan hidup sederhana, fokus pada kebutuhan pokok, dan menjalankan peran sebagai qawwam dengan penuh tanggung jawab, kita bisa menemukan kebahagiaan sejati. Kesengsaraan hidup di dunia ini akan terasa lebih ringan jika kita mengikuti petunjuk syariat dan selalu mengingat bahwa kehidupan akhirat adalah tujuan akhir kita.
Menjadi Laki-laki Sejati
Ustadz Budi menutup pembahasannya dengan pesan penting: "Jangan libatkan perempuan dalam kesengsaraan mencari nafkah. Biarkan laki-laki menanggung beban itu, karena itu adalah tugas dan kehormatan kita sebagai laki-laki." Dengan memahami peran dan tanggung jawab sebagai qawwam, serta menjalani hidup dengan frame syariat, kita bisa menghadapi kesengsaraan dunia dengan penuh ketenangan dan kebahagiaan.
Hidup di dunia memang sengsara, tetapi dengan Islam, kita bisa menemukan makna dan kebahagiaan sejati di balik setiap kesulitan. Mari kembali ke fitrah, hidup sederhana, dan menjalankan peran kita dengan penuh tanggung jawab.
0 Komentar