SEJARAH KELAM DAN BAHAYANYA VALENTINE’S DAY


Oleh: Rika Dwi Ningsih
Penulis Lepas

Setiap bulan Februari, nasihat dan imbauan dari para ulama serta ustadz-ustadzah tentang bahaya perayaan Valentine’s Day selalu didengungkan. Namun, masih banyak orang tua yang menganggap bahwa Valentine hanyalah sekadar budaya remaja modern. Padahal, di balik perayaan ini terdapat ancaman besar yang tidak disadari oleh banyak orang.


Asal-Usul Valentine’s Day

Valentine’s Day diklaim sebagai ‘Hari Kasih Sayang’, tetapi benarkah demikian? Sebenarnya, sejarah tentang sosok St. Valentine sendiri tidak jelas dan hanya berdasarkan berbagai dongeng. Ada tiga versi utama mengenai siapa Valentine:
  • Valentino, seorang pemuda yang dieksekusi pada 14 Februari 269 M oleh Raja Romawi Claudius II karena menentang kebijakan wajib militer dan menikahkan pasangan muda-mudi secara diam-diam.
  • Valentine, seorang pastor di Roma yang menolak menyembah dewa-dewa Romawi dan mengakui Yesus sebagai Tuhan. Ia kemudian dieksekusi dan dianggap sebagai orang suci oleh gereja.
  • Valentine lainnya, seorang martir yang meninggal di Afrika pada abad ke-3 Masehi dan diakui oleh gereja.

Seorang penulis bernama Ken Sweiger dalam artikelnya “Should Biblical Christians Observe It?” mengungkapkan bahwa kata “Valentine” berasal dari bahasa Latin yang berarti “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat, dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini sebenarnya merujuk pada Nimrod dan Lupercus, dewa dalam kepercayaan pagan Romawi. Tanpa disadari, mengucapkan “Be my Valentine” berarti menyekutukan Allah, suatu perbuatan syirik dalam Islam.


Cikal Bakal Valentine

Sebelum agama Kristen menyebar luas, masyarakat Romawi Kuno menganut kepercayaan paganisme. Mereka memiliki tradisi tahunan yang disebut Lupercalia, sebuah festival yang diadakan setiap 13-15 Februari untuk menghormati dewa kesuburan Lupercus. Festival ini sarat dengan ritual hedonis, seperti Love Lottery, di mana para wanita memasukkan nama mereka dalam sebuah bejana dan para pria mengambil satu nama yang kemudian menjadi pasangan mereka selama festival berlangsung.

Gereja Kristen saat itu mengalami kesulitan dalam menyebarkan ajarannya karena tradisi pagan yang begitu mengakar. Oleh karena itu, Paus Gelasius I pada tahun 469 M mencoba mengadopsi perayaan ini dengan memberikan sentuhan Kristen, menggantinya menjadi Saint Valentine’s Day pada 14 Februari 498 M. Inilah bentuk sinkretisme agama, di mana tradisi pagan dicampuradukkan dengan ajaran Kristen untuk menarik lebih banyak penganut.


Wajah Lain dari Seks Bebas

Perayaan Valentine di masa lalu bukanlah perayaan kasih sayang seperti yang diklaim saat ini. Dalam tradisi Romawi Kuno, ‘love’ bukan berarti kasih sayang (affection), tetapi lebih mengarah pada nafsu dan hubungan seksual. Makna inilah yang kemudian terus diwarisi hingga sekarang.

Di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara Muslim seperti Indonesia dan Malaysia, Valentine’s Day sering dikampanyekan sebagai ‘Hari Kasih Sayang’. Namun, ironisnya, di balik itu justru terjadi banyak praktik seks bebas yang semakin merusak moral generasi muda. Bahkan di negara-negara Barat sendiri, perayaan ini mulai ditinggalkan, sementara di negeri-negeri Muslim justru semakin populer.

Samuel Zweimer, seorang orientalis Kristen, dalam konferensi gereja di Quds tahun 1935 pernah mengatakan:

Misi utama kita bukan menghancurkan kaum Muslim. Sebagai seorang Kristen tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, generasi yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi malas yang hanya mengejar kepuasan hawa nafsu.

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Valentine’s Day bukan sekadar perayaan biasa, tetapi juga bagian dari upaya pendangkalan akidah umat Islam melalui budaya yang tampak menyenangkan tetapi sejatinya menyesatkan.


Waspada dan Lindungi Generasi Muda

Fakta sejarah menunjukkan bahwa Valentine’s Day bukanlah hari kasih sayang, melainkan warisan budaya pagan yang sarat dengan ritual penyembahan berhala dan pergaulan bebas. Perayaan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi kesucian hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam bingkai pernikahan yang sah.

Sebagai umat Islam, kita harus lebih kritis terhadap budaya yang berasal dari luar Islam. Perayaan Valentine bukanlah sekadar hari untuk mengungkapkan kasih sayang, tetapi juga bentuk penjajahan budaya yang dapat merusak moral generasi muda. Sudah saatnya orang tua lebih peduli dan memberikan pemahaman yang benar kepada anak-anak mereka agar tidak terjebak dalam perayaan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Sebagai alternatif, Islam mengajarkan kasih sayang sepanjang waktu, bukan hanya pada satu hari tertentu. Kasih sayang sejati adalah yang didasarkan pada ketaatan kepada Allah, bukan sekadar ikut-ikutan tren yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Mari kita jaga akidah dan moral generasi muda dari bahaya budaya yang menyesatkan!

Posting Komentar

0 Komentar