
Oleh: Raisah Jannah
Jurnalis Lepas
Jakarta — Advokat rakyat Ahmad Khozinudin mengungkap skandal besar terkait penguasaan wilayah laut oleh korporasi di proyek reklamasi Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2). Dalam wawancara bersama Forum Keadilan TV, ia menyebut keterlibatan sejumlah pejabat dan aparat penegak hukum dalam pembiaran bahkan perlindungan terhadap dugaan pelanggaran hukum yang merugikan negara dan rakyat.
“Kalau hari ini ada jenderal yang tidak bersuara soal PIK 2, patut diduga dia makan duit Aguan,” tegas Khozinudin, merujuk pada konglomerat pemilik Agung Sedayu Group yang disebut-sebut berada di balik penguasaan lahan reklamasi secara ilegal.
Dalam penjelasannya, Khozinudin menguraikan bahwa negara telah menerbitkan 263 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan 17 Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas laut, yang seharusnya merupakan wilayah kedaulatan negara. Mayoritas dari sertifikat tersebut tercatat atas nama anak usaha Agung Sedayu Group dan Cahaya Inti Sentosa, yang disebutnya milik jaringan Aguan.
Empat tersangka sempat ditahan dalam kasus pemagaran laut ilegal sepanjang 30 kilometer yang melintasi enam kecamatan dan 16 desa di pesisir utara Tangerang. Namun keempatnya, termasuk Kepala Desa Kohod dan Arsin yang mengaku sebagai pelaku pemagaran laut dan bersedia membayar denda Rp48 miliar akhirnya dilepas karena alasan batas waktu penahanan telah habis.
Khozinudin menilai hal itu sebagai bagian dari skenario pengalihan isu dan pelokalisiran kasus. “Ini bukan soal keterbatasan SDM. Ini Bareskrim Polri, bukan Polsek. Bagaimana mungkin perkara pasal 263 dan 266 KUHP tidak rampung dalam 60 hari?” kritiknya keras.
Ia juga mengecam Kejaksaan Agung yang sempat menarik diri dari penyelidikan tindak pidana korupsi dalam kasus ini dengan alasan adanya MoU dengan KPK dan Polri, padahal, menurutnya, ada indikasi kuat kerugian negara dari alih status wilayah laut menjadi milik korporasi.
Lebih jauh, ia menyebut nama Ali Hanafi Lijaya sebagai “kepanjangan tangan Aguan” yang disebut-sebut menjadi aktor lapangan dalam banyak penggusuran dan perampasan lahan. “Ini monster perampas tanah, bahkan terhadap warga Tionghoa sekalipun,” ucapnya.
Ironisnya, di saat pelaku utama dilepaskan, korban seperti Charli Chandra warga keturunan Tionghoa yang mengklaim tanahnya dirampas PIK 2 justru dikriminalisasi dan dipanggil sebagai tersangka.
“Negara ini tidak hadir, bahkan mengkriminalisasi korban. Negara telah berpihak pada korporasi, bukan pada rakyat,” ujar Khozinudin.
Ia mengakhiri dengan menyerukan agar rakyat tidak diam. “Kalau hukum tak lagi membela yang benar, maka rakyatlah yang harus menghidupkan kembali keadilan. Diam hari ini adalah aib, dan sikap pasrah adalah bentuk lain dari pengkhianatan,” pungkasnya.
0 Komentar