
Oleh: Muhar
Sahabat Gudang Opini
Menteri Agama RI, dalam Konferensi ke-4 Dewan Pengawas Lembaga Hadis Nabawi di Madinah (28 April 2025), mengusulkan pembangunan museum hadis Rasulullah ﷺ di Indonesia.
Di permukaan, pastinya usulan ini tampak sebagai bentuk kecintaan terhadap sunnah Nabi. Namun, jika mau ditelaah mendalam dan dalam konteks yang lebih luas, inisiatif ini justru memperlihatkan wajah asli sistem sekuler yang saat ini sedang melingkupi negeri ini, yakni sistem yang menempatkan agama sebatas ranah simbolik dan kultural, tetapi menolak isi penerapannya dalam kehidupan bernegara.
Itulah esensi sekularisme! Islam boleh dipajang sesuai selera, akan tetapi tak boleh dijadikan pijakan yang utuh sebagai pedoman kehidupan. Islam boleh dihormati sebagai warisan cerita sejarah, tapi tak boleh hadir sebagai solusi sistemik.
Ketika hadis Rasulullah ﷺ yang semestinya menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an ingin di museumkan, sementara hukum dan kebijakan negara tetap bersandar pada sistem kapitalisme-sekuler pertanyaannya, “Tidakkah ini bentuk peminggiran makna sejati dari sunnah Nabi Muhammad ﷺ?”
Maka, inilah yang bisa dipahami sebagai sekularisasi gaya baru, penghormatan simbolik terhadap agama, namun dalam praktiknya tetap menolak syariat (hukum-hukum Islam) sebagai aturan kehidupan.
Keberadaan museum hadis tanpa penerapan isi hadis itu sendiri dalam kehidupan publik, hanya akan menjadi ruang hening yang mengabadikan kekosongan komitmen terhadap risalah Nabi.
Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik; Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hlm. 12-13).
Selain itu, hakikat hadis bukanlah benda sejarah sebagaimana benda sejarah pada umumnya, tapi merupakan pedoman hidup yang seharusnya digunakan untuk mengatur urusan individu, masyarakat, hingga negara.
Kepemimpinan Islam, Khulafaur Rasyidin, memberikan keteladanan kepada kita dengan sebaik-baiknya, bahwa mencintai Rasulullah ﷺ adalah bukan fokus pada membangun museum, tapi dengan fokus sefokus-fokusnya dalam menegakkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang sesuai dengan hadis dan menjadikan sunnah Nabi Muhammad ﷺ sebagai rujukan dalam semua keputusan politik dan kebijakan publik.
Jelasnya, dalam sistem Islam itu, sunnah hidup Nabi, bukan hanya untuk dikenang. Karena itu, usulan pembangunan museum hadis seharusnya menjadi pengingat dan bukan pengalihan. Pengingat bahwa tugas besar umat hari ini bukan sekadar melestarikan warisan peninggalan sejarah, tapi kewajiban untuk fokus menghidupkan kembali sistem Islam yang menjadikan al-Qur'an dan hadis sebagai wahyu dan pedoman hidup yang harus dipraktikkan (diterapkan), termasuk oleh negara. Bukan sebatas bahan pameran.
Sudah saatnya umat Islam membuka mata, fakta membuktikan bahwa sekularisme tidak hanya hadir dalam bentuk penolakan terang-terangan terhadap penerapan hukum-hukum Islam secara kaffah (menyeluruh), tapi juga dalam balutan simbol-simbol religius yang dipisahkan dari substansi penerapan.
Mari berhenti fokus membanggakan Islam sebagai identitas kosong, dan mulai fokus memperjuangkan Islam sebagai sistem kehidupan. Inilah cinta Nabi yang sesungguhnya.
0 Komentar