
Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas
Pada 23 April 2025, Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan program "Gerakan Indonesia Menanam (Gerina)" di Banyuasin, Sumatera Selatan. Inisiatif ini diklaim sebagai langkah strategis untuk menuju swasembada pangan nasional. Namun, di tengah gegap gempita peluncurannya, publik patut bertanya: Apa arti menanam jika tanahnya dikuasai segelintir elite, dan hasil panennya tetap dikalahkan oleh banjir impor?
Tanah Tak Bertuan: Ketimpangan Agraria yang Kronis
Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkap fakta mencengangkan: 68% tanah di Indonesia dikuasai hanya oleh 1% penduduk. Sementara itu, petani kecil yang menjadi ujung tombak sektor pangan rata-rata hanya memiliki 0,3 hektare lahan. Artinya, mayoritas petani bekerja di lahan yang terlalu sempit untuk bisa hidup layak, apalagi menopang kemandirian pangan nasional.
Lebih tragis, sejak 2019, lebih dari 320.000 hektare sawah telah hilang akibat alih fungsi lahan, sebagaimana dicatat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di sisi lain, proyek-proyek food estate dan perkebunan industri terus menjarah ruang hidup petani dan masyarakat adat. Ironisnya, dalam waktu yang sama, negara justru mendorong investasi skala besar dari korporasi baik domestik maupun asing yang semakin memperparah ketimpangan kepemilikan tanah.
Ketergantungan Impor: Potret Gagalnya Kedaulatan Pangan
Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa Indonesia terus mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok. Pada tahun 2024, impor beras menembus angka 4,52 juta ton (CNBC Indonesia), menjadikan Indonesia sebagai salah satu importir beras terbesar dunia. Tak hanya itu, dalam kurun Januari hingga September 2024, impor kedelai mencapai 2,16 juta ton, mayoritas berasal dari Amerika Serikat (Kontan.co.id).
Ini menjadi tamparan telak bagi narasi "kemandirian pangan" yang sering digembar-gemborkan. Bukannya memperkuat petani dan produksi lokal, negara justru menjerumuskan diri dalam jebakan pasar bebas yang dikuasai segelintir negara dan korporasi global.
Kapitalisme: Akar Masalah di Balik Krisis Pangan
Semua fakta di atas mengindikasikan bahwa problem pangan di Indonesia bukanlah semata soal teknis, seperti kurangnya benih, pupuk, atau keahlian petani. Masalah utamanya bersifat sistemik. Kapitalisme telah menjadikan tanah dan pangan sebagai komoditas bisnis. Prinsip utama yang diusung adalah keuntungan, bukan kesejahteraan rakyat.
Negara dalam sistem ini lebih bertindak sebagai fasilitator bisnis, bukan pelindung kepentingan rakyat. Maka tak mengherankan jika kebijakan pangan acapkali berpihak pada investor besar, bukan pada petani kecil yang menjadi tulang punggung kedaulatan pangan.
Islam dan Khilafah: Solusi Sistemik atas Krisis Pangan
Di tengah kebuntuan sistem saat ini, Islam menawarkan solusi yang tidak hanya menyentuh permukaan, tapi juga menyelesaikan akar persoalan. Dalam sistem Islam, melalui institusi Khilafah, terdapat prinsip-prinsip mendasar yang relevan dan solutif:
- Distribusi Tanah yang Adil: Islam mengharamkan monopoli kepemilikan tanah. Rasulullah ï·º bersabda: “Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya” (HR. Tirmidzi). Negara wajib menjamin akses rakyat terhadap tanah, dan melarang kepemilikan tanah dalam jumlah besar yang tidak dimanfaatkan.
- Negara Bertanggung Jawab Penuh atas Pangan Rakyatnya: Pemimpin dalam Islam adalah pelayan rakyat, bukan pelayan pemilik modal. Nabi ï·º bersabda: “Imam adalah raa’in dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Bukhari). Negara bertugas memastikan setiap warga memiliki akses pada kebutuhan dasar, termasuk pangan.
- Pendanaan Pertanian dari Baitul Mal, Bukan Asing: Islam menetapkan bahwa sumber daya alam adalah milik umum, dan hasilnya digunakan untuk membiayai sektor publik, termasuk pertanian. Rasulullah ï·º bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud). Ini menutup peluang kapitalisasi lahan dan sektor pangan oleh swasta dan asing.
- Pembatasan Impor dan Prioritas pada Swasembada: Khilafah akan membatasi impor pangan secara ketat, kecuali dalam kondisi darurat. Kebijakan ekonomi berbasis syariat akan memproteksi produk dalam negeri dan menguatkan pertanian lokal, bukan tunduk pada WTO atau tekanan negara adidaya.
Bukan Utopia: Sejarah Telah Membuktikan
Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hanya dalam waktu dua tahun, kesejahteraan rakyat meningkat drastis. Tidak ditemukan lagi orang miskin yang layak menerima zakat. Semua ini bukan karena retorika populis, tapi karena penerapan sistem Islam secara kaffah.
Menanam Harapan dalam Sistem Islam
Gerakan menanam seperti Gerina bisa menjadi langkah positif jika didukung oleh sistem yang adil dan berpihak pada rakyat. Namun dalam sistem kapitalisme saat ini, gerakan seperti itu berpotensi menjadi kosmetik belaka, menutupi luka mendalam dari ketimpangan agraria dan ketergantungan impor.
Karena itu, yang perlu kita tanam bukan hanya benih di tanah, tapi juga kesadaran akan pentingnya menumbuhkan sistem Islam yang adil dan menyejahterakan. Sudah saatnya kita bicara lebih serius tentang Khilafah sebagai sistem alternatif yang mampu menyelesaikan persoalan pangan dan agraria secara mendasar.
Wallahu A'lam Bishawab.

0 Komentar