
Oleh: Raisya Ummu Arqom
Muslimah Aktivis Peradaban
Kasus penahanan ijazah oleh perusahaan kembali mencuat ke publik setelah video Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, viral saat melakukan inspeksi mendadak di CV Sentosa Seal, Margomulyo, Surabaya. Dalam video yang diunggah ke akun YouTube pribadinya, Armuji datang bersama seorang mantan karyawan, DSP, yang mengaku ijazahnya masih ditahan perusahaan meski telah mengundurkan diri. Ironisnya, pihak perusahaan menolak berinteraksi, bahkan saat Armuji mencoba menghubungi pemilik CV Sentosa Seal, Jan Hwa Diana, ia mendapatkan respons tidak sopan yang terang-terangan menuduhnya sebagai penipu.
Polemik ini memantik perhatian lebih luas hingga ke tingkat Provinsi. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, berjanji menerbitkan ulang ijazah bagi korban penahanan, khususnya untuk lulusan SMA/SMK. Tindakan ini dimaksudkan sebagai wujud kehadiran negara dalam menyelesaikan persoalan rakyat. Namun, langkah tersebut tetaplah bersifat reaktif, bukan solusi struktural atas persoalan laten dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia.
Celah Hukum yang Melegitimasi Penindasan
Pada dasarnya, absennya aturan eksplisit yang melarang penahanan ijazah pekerja menjadi akar dari suburnya praktik ini. Hukum positif di Indonesia hanya mengatur bahwa perjanjian kerja harus didasari kesepakatan bebas antara pekerja dan pengusaha (Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan). Celah ini membuka ruang besar untuk praktik kebebasan berkontrak (freedom of contract), di mana perusahaan bisa dengan leluasa menetapkan syarat-syarat yang sejatinya memberatkan dan menzalimi pekerja.
Penahanan ijazah digunakan sebagai alat untuk mengikat pekerja, mencegah mereka berpindah ke perusahaan lain, dan pada akhirnya mengekang kebebasan mereka. Ini bukan sekadar praktik tidak etis, tetapi bentuk perbudakan modern yang dilegalkan oleh kelengahan regulasi.
Kasus Surabaya hanyalah satu contoh. Di Malang, sebagaimana diungkap Mediator Hubungan Industrial Disnaker-PMPTSP Carter Wira Suteja, terdapat dua kasus serupa sepanjang 2023–2024, di mana penahanan ijazah terjadi berdasarkan "kesepakatan lisan" yang tidak pernah benar-benar adil bagi pekerja.
Sekularisme dan Kapitalisme: Akar dari Penindasan Struktural
Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari sistem sekularisme yang memisahkan kehidupan dari nilai-nilai agama. Sekularisme melahirkan kapitalisme, ideologi yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama tanpa memedulikan keadilan sosial.
Dalam sistem kapitalistik, pemilik modal dalam hal ini perusahaan berkuasa hampir mutlak atas tenaga kerja. Pekerja, yang sering berada dalam posisi tawar rendah, terpaksa menerima segala syarat, betapapun merugikannya, demi mendapatkan penghidupan. Ketidaksetaraan relasi ini menciptakan struktur penindasan yang sistematis, di mana hukum dibuat bukan untuk melindungi yang lemah, melainkan untuk mempertahankan dominasi yang kuat.
Lebih tragis lagi, ketika negara hadir, seringkali hanya untuk meredam gejolak sesaat, tanpa membongkar akar ketidakadilan tersebut. Solusi seperti penerbitan ulang ijazah memang membantu secara administratif, tetapi tidak menyentuh sumber persoalan: absennya sistem hukum yang adil dan berpihak kepada manusia secara hakiki.
Menuju Perubahan Fundamental
Kehidupan yang adil hanya mungkin terwujud dengan meninggalkan paradigma sekularisme-kapitalisme. Diperlukan sistem yang meletakkan manusia sebagai makhluk yang dimuliakan, bukan sekadar alat produksi. Sebuah sistem yang mengatur hubungan kerja berdasarkan prinsip keadilan, penghormatan terhadap hak individu, dan perlindungan terhadap yang lemah, prinsip-prinsip yang ditemukan dalam ajaran Islam.
Islam, sebagai sistem kehidupan yang paripurna, mengatur hubungan kerja dengan penuh keadilan. Dalam Islam, mempekerjakan seseorang berarti harus membayar upahnya dengan adil dan tepat waktu, serta tidak boleh mempersulit hak-hak pekerja, termasuk hak atas dokumen pribadinya. Setiap bentuk penindasan dilarang keras, dan negara wajib memastikan hak-hak tersebut ditegakkan.
Selama kapitalisme masih menjadi sistem yang menopang kehidupan, kasus-kasus seperti penahanan ijazah ini akan terus terjadi, mirisnya hanya berganti nama, wajah, dan tempat. Maka, perubahan fundamental bukan hanya soal revisi regulasi, melainkan perubahan sistemik menuju sistem yang benar-benar memuliakan manusia.

0 Komentar