
Oleh: Rika Dwi Ningsih
Aktivis Dakwah
Dalam suasana global yang penuh ketidakpastian, baik secara ekonomi maupun politik, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang dunia. Pada 2 April 2025, Trump secara resmi menerapkan kebijakan tarif impor baru bertajuk Reciprocal Tariff, sebuah perang dagang berskala global. Melalui kebijakan ini, semua produk impor ke AS dikenakan tarif minimum sebesar 10%, dengan tarif yang lebih tinggi bagi 57 negara, termasuk Indonesia.
Trump berdalih, kebijakan ini bertujuan memperkuat ekonomi dalam negeri, membuka lapangan kerja, serta menghapus hambatan perdagangan yang dinilai tidak adil. Menurut laman resmi Whitehouse.gov (3/4/2025), Trump ingin menciptakan kompetisi yang adil bagi bisnis dan pekerja AS, terutama setelah melihat defisit yang besar dalam neraca perdagangan.
Secara teori, kebijakan Reciprocal Tariff memang tampak rasional bagi negara yang ingin melindungi perekonomiannya. Namun, kebijakan ini sejatinya penuh paradoks. Amerika sebagai promotor utama Kapitalisme global yang mengusung perdagangan bebas tanpa hambatan, kini justru menutup pintu dengan tarif proteksionis. Ini membuktikan bahwa ketika kepentingan mereka terganggu, prinsip Kapitalisme pun bisa dilanggar demi menjaga hegemoninya.
Kapitalisme dan Watak Imperialistiknya
Perang tarif ini bukan sekadar strategi ekonomi, tetapi juga merupakan ekspresi ideologis dari Kapitalisme. Sebagai adidaya kapitalis, Amerika akan terus memaksakan kehendaknya untuk mendominasi perekonomian dunia. Negeri-negeri Muslim pun tak luput dari sasaran kebijakan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka menjadi korban permainan kepemimpinan global yang dikendalikan oleh segelintir negara kapitalis.
Kondisi ini semakin diperparah oleh fakta bahwa negeri-negeri Muslim telah lama dijajah, bukan hanya secara fisik, tetapi secara sistemik. Mereka telah dirampas kedaulatannya, baik politik maupun ekonomi. Bahkan, Barat telah menjadikan negeri-negeri Islam sebagai pasar empuk sekaligus sumber eksploitasi sumber daya alam.
Lebih ironis lagi, negeri-negeri Muslim yang kaya akan minyak, gas, emas, dan bahan tambang lainnya justru menjadi negara-negara pengutang dan terbelakang secara ekonomi. Sebab, kekayaan tersebut dikuasai oleh negara asing dan perusahaan multinasional kapitalis. Maka, ketika Amerika melancarkan perang dagang, negeri-negeri Muslim hanya bisa bereaksi lewat forum-forum diplomatik tanpa daya tawar yang kuat.
Khilafah: Solusi Ekonomi dan Politik Dunia Islam
Realitas ini semestinya menjadi tamparan keras bagi dunia Islam. Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa kerusakan ekonomi dan politik yang mereka alami adalah akibat langsung dari dominasi sistem Kapitalisme global. Sejak runtuhnya Khilafah Islam pada tahun 1924, Dunia Islam telah tercerai-berai dan kehilangan perisai yang mampu melindungi kepentingan umat secara kolektif.
Kebangkitan Dunia Islam hanya mungkin terwujud jika mereka kembali kepada sistem Islam secara total, termasuk dalam aspek ekonomi. Sistem ekonomi Islam memiliki dua keunggulan besar yang tak dimiliki Kapitalisme:
Pertama, sistem moneter Islam berbasis dinar dan dirham (emas dan perak), yang memiliki nilai intrinsik dan tidak bisa dimanipulasi. Ini menciptakan stabilitas dan kepercayaan dalam perdagangan internasional.
Kedua, Islam melarang riba, spekulasi dan pajak yang mencekik. Transaksi fokus pada sektor riil dan sumber daya alam dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Kepemilikan umum seperti minyak dan gas tidak boleh dikuasai swasta apalagi asing.
Dengan sistem ini, Negara Khilafah akan menjadi entitas yang mandiri secara ekonomi dan tidak mudah ditekan oleh negara lain, termasuk Amerika. Jika negara lain menaikkan tarif, Khilafah pun akan mampu merespons dengan tegas tanpa takut terguncang ekonominya.
Saatnya Dunia Islam Bersatu dan Bangkit
Dunia Islam memiliki potensi luar biasa: jumlah penduduk yang besar, kekayaan alam yang melimpah, posisi geografis strategis, dan sejarah kejayaan panjang. Namun semua itu tak akan berarti jika terus berada di bawah dominasi Kapitalisme global. Perlu ada politik global alternatif yang lahir dari rahim Islam, yaitu Khilafah Islam.
Menjadikan proyek penegakan kembali Khilafah sebagai agenda umat bukan utopia, melainkan keniscayaan. Hanya dengan institusi ini, umat Islam akan mampu membebaskan diri dari penjajahan ekonomi dan politik. Khilafah bukan hanya pelindung, tetapi pemimpin peradaban yang akan membawa rahmat ke seluruh alam.
Allah ﷻ pun telah menegaskan:
وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
Sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin. (QS. an-Nisa’ [4]: 141)
Dan juga:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
Andai saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka aneka keberkahan dari langit dan bumi. (QS. al-A’raf [7]: 96)
Sudah cukup lama umat Islam mengalami ma’isyah dhanka (kehidupan yang sempit) akibat berpaling dari aturan Allah. Saatnya negeri-negeri Muslim kembali menjadikan al-Quran sebagai panduan hidup dan menegakkan syariah Islam secara kaffah.
Khatimah
Perang tarif global yang dipimpin oleh AS hanyalah satu dari sekian banyak bukti kerusakan sistem Kapitalisme. Dunia Islam tak boleh terus menjadi penonton apalagi korban. Kini saatnya membangun kekuatan politik dan ekonomi yang berpijak pada akidah Islam. Hanya dengan itu, umat Islam bisa kembali menjadi mercusuar peradaban dunia. Khilafah adalah jalan satu-satunya.

0 Komentar