
Oleh: Alex Syahrudin
Penulis Lepas
Kunjungan delegasi Indonesia ke Amerika Serikat baru-baru ini, yang terdiri atas Menteri Luar Negeri, Menko Perekonomian, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional, dan Wakil Menteri Keuangan, untuk melanjutkan proses negosiasi tarif ekspor, sejatinya merupakan gambaran dari lemahnya posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi global. Kenaikan tarif ekspor hingga 32% oleh AS memaksa Indonesia untuk kembali bersimpuh di meja perundingan, berharap belas kasih dari negara adidaya itu.
Ironis, negeri yang kaya akan sumber daya alam mulai dari tambang, hasil hutan, pertanian, hingga laut ternyata begitu rentan hanya karena satu keputusan sepihak dari negara lain. Jutaan tenaga kerja, ratusan industri, dan kelangsungan ekspor komoditas unggulan bisa terancam hanya karena lonjakan tarif. Di tengah kondisi ini, pemerintah tidak memiliki pilihan lain selain mencari kompromi yang dibungkus dengan istilah “diplomasi dagang.”
Ketergantungan Struktural: Warisan Sistem Kapitalisme
Fakta ini bukan semata soal diplomasi ekonomi. Ini adalah bukti nyata kegagalan sistem kapitalisme global yang telah menciptakan ketergantungan struktural dan relasi timpang antara negara maju dan negara berkembang seperti Indonesia. Sistem ini dirancang bukan untuk menciptakan keadilan, melainkan untuk mempertahankan dominasi negara-negara besar dan korporasi raksasa atas sumber daya dunia.
Kapitalisme menjadikan perdagangan sebagai alat penjajahan gaya baru (neoimperialisme). Negara-negara berkembang dijadikan pasar konsumsi dan sumber bahan baku murah. Mereka dipaksa mengekspor bahan mentah, menerima produk jadi, dan tunduk pada regulasi global yang dirancang oleh elite ekonomi dunia, seperti WTO, IMF, dan World Bank, semua berkiblat pada kepentingan negara-negara Barat.
Selama mengikuti logika kapitalisme, Indonesia tak akan pernah benar-benar mandiri. Ketika negara bergantung pada ekspor komoditas dan investasi asing, maka kebijakan luar negeri pun akan selalu diarahkan untuk menyenangkan investor dan mitra dagang besar seperti AS, alih-alih berpihak pada rakyat sendiri.
Di Mana Kemandirian yang Dijanjikan?
Berpuluh-puluh tahun mengikuti sistem demokrasi kapitalisme, Indonesia belum juga keluar dari jebakan ketergantungan. Rasio utang luar negeri terus naik, ketimpangan ekonomi semakin lebar, dan industri domestik justru terpuruk karena kalah bersaing dengan barang impor.
Data BPS menunjukkan bahwa lebih dari 60% ekspor Indonesia masih bergantung pada bahan mentah seperti batu bara, kelapa sawit, dan nikel. Ketika negara tujuan ekspor seperti AS menetapkan kebijakan proteksionis, Indonesia pun terguncang. Para pengusaha resah, dan pemerintah hanya bisa merespons dengan mengemis keringanan.
Islam dan Khilafah: Jalan Menuju Kemandirian Sejati
Dalam Islam, kedaulatan ekonomi bukanlah ilusi. Sistem ekonomi Islam yang dijalankan dalam bingkai Khilafah memiliki prinsip dan mekanisme yang sangat berbeda dari sistem kapitalisme.
Pertama, sistem Islam melarang dominasi asing atas sumber daya alam. SDA dikategorikan sebagai milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang wajib dikelola oleh negara demi kemaslahatan rakyat. Negara tidak boleh menjual, menghibahkan, apalagi menyerahkan pengelolaannya pada swasta dan asing seperti yang terjadi saat ini.
Kedua, perdagangan luar negeri dalam Khilafah tidak akan tunduk pada WTO atau tekanan negara adidaya. Negara Islam akan memberlakukan kebijakan ekonomi sesuai prinsip timbal balik (‘muqabalah’). Jika suatu negara mengenakan tarif atau hambatan dagang, maka Khilafah akan merespons dengan perlakuan yang sama, demi menjaga kedaulatan dan keseimbangan.
Ketiga, Khilafah akan membangun industri strategis dalam negeri, termasuk industri militer, energi, dan teknologi. Negara tidak akan membiarkan rakyat menggantungkan hidup pada pasar ekspor dan kebijakan luar negeri negara lain.
Keempat, Khilafah menggunakan mata uang berbasis dinar dan dirham, bukan uang fiat yang rentan terhadap fluktuasi dan manipulasi ekonomi global. Dengan sistem moneter ini, stabilitas ekonomi lebih terjamin, dan negara tidak tergantung pada dolar Amerika.
Saatnya Membuka Mata
Sudah saatnya bangsa ini sadar, bahwa sistem kapitalisme demokrasi tidak pernah dimaksudkan untuk memerdekakan negara-negara berkembang. Sistem ini justru menciptakan ilusi pertumbuhan ekonomi, padahal pada hakikatnya menjerumuskan kita ke dalam ketergantungan, kemiskinan struktural, dan penjajahan gaya baru.
Indonesia, dan dunia Islam secara umum, membutuhkan sistem alternatif yang mampu melepaskan belenggu ketergantungan ini. Sistem itu adalah Islam kaffah dalam bingkai Khilafah. Sistem ini bukan sekadar impian masa lalu, tapi kebutuhan mendesak masa depan untuk membangun kemandirian, keadilan, dan kekuatan sejati.
Dengan Khilafah, umat Islam tidak perlu lagi bersimpuh di meja perundingan menanti belas kasihan Barat. Sebaliknya, dunia akan menyaksikan kebangkitan umat yang mandiri, kuat, dan adil, serta menjadi mercusuar peradaban dunia sebagaimana pernah ditorehkan sejarah selama berabad-abad.

0 Komentar