
Oleh: Widy Nuryadi
Pengamat Teknologi Ideologis
Razia minuman beralkohol (minol) kembali digelar di Bandung, dan ribuan botol disita. Hal ini terjadi karena tingginya angka penjualan minol ilegal di kota tersebut (Republika.co.id, 26/05/2025). Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, bahkan membentuk Satgas Anti Minol Ilegal (Prfmnews.pikiran-rakyat.com, 26/05/2025). Menurut Erwin, saat ini banyak siswa SD dan SMP yang mengonsumsi minol. Hal ini berdampak pada meningkatnya aksi vandalisme dan tindak kejahatan.
Selain di Bandung, razia minol juga digelar di Probolinggo, di mana Bea Cukai bersama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menyita 1.388 botol minol ilegal yang siap edar (Republika.co.id, 26/05/2025). Fakta ini seolah memperlihatkan bahwa peredaran minol ilegal tetap eksis dan sulit dibendung di negeri ini, meski razia semacam ini telah rutin dilakukan sejak lama.
Kapitalisme Biang Menjamurnya Minol
Banyak masyarakat Muslim berharap peredaran minol benar-benar dihentikan di Indonesia. Namun harapan ini tampaknya sulit terwujud. Sebab, aparat hanya fokus menertibkan minol ilegal, sementara minol legal tetap resmi beredar selama mengikuti aturan dan membayar pajak tertentu.
Per September 2024, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa pendapatan cukai dari minol mencapai Rp6,31 triliun—33,34 persen lebih rendah dari target Rp9,33 triliun. Menurut Kemenkeu, kenaikan tarif dari tahun sebelumnya diharapkan dapat mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, sekaligus meningkatkan pemasukan negara dari sektor cukai (Kontan.co.id, 11/11/2024).
Angka tersebut tentu tidak kecil. Artinya, sejak lama minol telah beredar dalam jumlah besar dan memberikan keuntungan signifikan bagi negara. Maka wajar jika muncul pertanyaan: ke mana saja minol itu beredar?
Menurut Goodstats.id (24/12/2024), sepuluh provinsi dengan tingkat konsumsi alkohol tertinggi di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur (15,2 persen), disusul Sulawesi Utara (11,4 persen), Bali (9,3 persen), Maluku (6,8 persen), Papua (6,1 persen), Papua Barat Daya (5,5 persen), Sulawesi Tengah (5 persen), Papua Barat (4,9 persen), Kalimantan Barat (4,7 persen), dan Gorontalo (4,2 persen).
Adapun berdasarkan profesi, konsumsi tertinggi terdapat pada nelayan (6,7 persen), lalu petani (3,9 persen), buruh/sopir/pembantu (3,6 persen), pegawai swasta (3,1 persen), wiraswasta (2,8 persen), PNS (2,4 persen), lainnya (1,7 persen), tidak bekerja (0,9 persen), dan pelajar (0,8 persen).
Bila dilihat dari status ekonomi, konsumsi tertinggi berasal dari masyarakat ekonomi terbawah (3,7 persen), disusul kelompok ekonomi bawah (2,3 persen), menengah (2 persen), ekonomi atas (1,8 persen), dan menengah atas (1,6 persen).
Meskipun data statistik tersebut tampak kecil dan tidak mencakup provinsi di Pulau Jawa dan Aceh, angka itu tetap tidak bisa dianggap remeh. Jika tingkat konsumsi pelajar sebesar 0,8 persen dikalikan 10 juta penduduk, maka ada sekitar 80 ribu pelajar yang diperkirakan telah mengonsumsi minol. Apalagi, razia minol ilegal yang rutin dilakukan di berbagai kota di Pulau Jawa membuktikan adanya peredaran, baik legal maupun ilegal.
Meskipun peredaran minol telah diatur negara melalui berbagai kebijakan, masyarakat Muslim tetap tidak sepenuhnya terbebas dari dampak buruk minol, yang menjadi pemicu tindakan kriminal dan vandalisme.
Pemerintah tampak mengatur peredaran minol agar para pengusaha tetap mendapat keuntungan dan dapat menyetor pendapatan kepada pembuat kebijakan. Masih terngiang di benak publik bagaimana alotnya pembahasan RUU Larangan Minol hingga saat ini. Ditambah potensi pemasukan besar dari sektor ini, tidak mustahil jika pemerintah tetap ingin mempertahankan keuntungan dari industri minol. Padahal, di balik perputaran uang yang besar itu, moral masyarakat menjadi taruhannya.
Inilah kerusakan yang muncul akibat negara berdiri di atas sistem kapitalisme-sekular. Dengan menjadikan keuntungan finansial sebagai standar kebijakan, para penguasa cenderung lebih berpihak pada kepentingan kapitalis ketimbang kepentingan rakyat.
Islam Solusi Jitu Memberantas Minol
Sudah menjadi tabiat manusia untuk menilai sesuatu berdasarkan manfaat atau kerugian yang ditimbulkan. Sesuatu dianggap baik jika membawa manfaat, dan buruk jika menimbulkan mudarat (dampak negatif). Maka, penting adanya standar yang jelas dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan.
Sekularisme menjadikan hawa nafsu manusia sebagai tolok ukur dalam menilai suatu perbuatan. Hal ini tentu berbahaya, karena manusia bisa saja membenci hal yang sebenarnya baik, atau menyukai hal yang sejatinya buruk. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an:
وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
"Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kalian. Boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Sekularisme memandang minol sebagai hal positif karena dianggap bisa memberi keuntungan ekonomi, menggerakkan sektor wisata, dan membuka lapangan kerja. Namun, pandangan ini mengabaikan dampak buruknya: kerusakan moral, meningkatnya kriminalitas, kehancuran tatanan sosial, serta dampak buruk terhadap kesehatan. Maka, pandangan ini sangat berbahaya dan merusak masyarakat.
Oleh karena itu, penilaian baik dan buruk tidak bisa disandarkan pada hawa nafsu. Allah ﷻ berfirman:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ اَهْوَاۤءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ بَلْ اَتَيْنٰهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُّعْرِضُوْنَ
"Seandainya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti rusaklah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya. Namun Kami telah membawa peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling darinya." (QS. Al-Mu’minun [23]: 71)
Islam memiliki standar yang baku dalam menilai suatu perbuatan, yaitu halal dan haram. Jika sesuatu dinyatakan halal oleh syariat, maka pasti itu baik. Jika haram, maka itu pasti buruk—tanpa peduli seberapa besar manfaat duniawinya.
Minol, meski dinilai menguntungkan oleh sebagian pihak, tetap haram menurut Islam. Karena itu, minol tidak layak diproduksi, diperjualbelikan, ataupun dikonsumsi. Allah ﷻ berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka jauhilah agar kalian beruntung." (QS. Al-Maidah [5]: 90)
Islam memandang mengonsumsi khamr sebagai dosa besar. Pelakunya dikenai hukuman cambuk sebanyak 40 kali. Bahkan Islam melarang seluruh lini terkait minol, dari produsen, distributor, penjual, hingga konsumen. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ
"Allah melaknat khamr, peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang meminta diperas, pengangkutnya, dan orang yang meminta diantarkan kepadanya." (HR. Ahmad 2: 97, Abu Daud no. 3674 dan Ibnu Majah no. 3380)
Penutup
Melarang minol secara total sangat mungkin dilakukan oleh negara, jika tolok ukurnya adalah syariat Islam, bukan hawa nafsu manusia. Selain melindungi masyarakat dari kehancuran moral, penerapan syariat membuka pintu keberkahan melalui larangan tersebut. Negara pun akan berperan sebagai pelindung dari berbagai sumber kemaksiatan.
Namun, keberkahan dari penerapan syariat ini hanya dapat dirasakan bila diterapkan secara menyeluruh dalam sistem kenegaraan, yaitu melalui tegaknya Khilafah Islamiyah.
Wallahu a‘lam bi ash-shawab.

0 Komentar