AMBIL VAKSINASI ATAU TIDAK?


Oleh: Muhammad RZ
Praktisi Pendidikan

Terkait dengan vaksinasi yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini dan dilansir dari Detik.com (20/5/25), Indonesia masih berjuang keras menghadapi penyebaran penyakit mematikan TBC. Di tengah upaya tersebut, hadirnya uji coba vaksin M72 yang digadang-gadang menjadi solusi justru menimbulkan kontroversi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami sejumlah fakta terkait vaksinasi ini.

Pertama, kita bisa menyaksikan kenyataan di lapangan terkait uji coba vaksinasi yang didanai oleh The Gates Foundation. BPOM bersama tim independen dari Komite Nasional Evaluasi Obat telah menjalankan penelaahan ilmiah guna mengawasi pelaksanaan clinical trial tahap 3. Tim penelaah ini melibatkan profesor-profesor ahli dari sejumlah universitas ternama, seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung. Berdasarkan penelaahan yang menyeluruh tersebut, Kepala BPOM, Taruna Ikrar, menyatakan bahwa seluruh tahapan uji klinis vaksin yang didukung oleh organisasi filantropi asal Amerika Serikat itu telah dilakukan sesuai dengan ketentuan. Karena itu, BPOM secara resmi memberikan izin kepada perusahaan (tempo.com, 15/5/25).

Kedua, dalam laporan yang dimuat oleh media daring detikX berjudul Vaksin Bill Gates di Antara Darurat TBC, disampaikan bahwa seorang dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Persahabatan yang juga merupakan peneliti vaksin TBC, Erlina Burhan, mengatakan bahwa vaksin BCG terbukti efektif dalam memberikan perlindungan bagi balita. Akan tetapi, saat mereka memasuki usia dewasa, risiko tertular TBC tetap menjadi masalah. Karena itu, menurut Erlina, hadirnya vaksin M72/AS01E-4, yang saat ini sedang dalam tahap uji klinis di sejumlah negara, memberikan harapan baru bagi kalangan dewasa. Sebab, TBC bukanlah penyakit yang bisa dianggap ringan karena memiliki tingkat kematian yang cukup tinggi (news.detik.com, 20/5/25).

Ketiga, hukum Islam mengenai vaksinasi adalah boleh dengan karahah (ketidaksukaan), sebab vaksinasi tergolong dalam tindakan pengobatan. Menggunakan sesuatu yang haram dan najis sebagai obat diperbolehkan dengan karahah. Namun, apabila terdapat dharar (bahaya) yang nyata, maka dalam kondisi tersebut hukum vaksinasi menjadi tidak diperbolehkan.

Lalu, kita dapat melihat dalil-dalil yang disebutkan dalam beberapa hadis, seperti yang dijelaskan Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah bahwa:

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ بِأَرْضِنَا أَعْنَابًا نَعْتَصِرُهَا فَنَشْرَبُ مِنْهَا قَالَ لَا
فَرَاجَعْتُهُ قُلْتُ إِنَّا نَسْتَشْفِي بِهِ لِلْمَرِيضِ قَالَ إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِشِفَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ
Aku katakan, 'Ya Rasulullah, sesungguhnya di tanah kami ada anggur yang kami peras dan kami minum.' Rasul menjawab, 'Jangan.' Lalu aku kembali kepada beliau dan aku katakan, 'Kami memberikannya untuk diminum orang sakit.' Rasulullah menjawab, 'Sesungguhnya itu bukan obat, melainkan penyakit.' ” (HR. Ibnu Majah melalui jalur Thariq bin Suwaid al-Hadhrami)

Larangan ini berhubungan dengan pemakaian najis atau zat haram seperti khamr untuk tujuan pengobatan. Akan tetapi, Rasulullah ﷺ mengizinkan pengobatan menggunakan najis seperti air kencing unta. Riwayat ini disampaikan oleh Imam al-Bukhari melalui jalur Anas ra:

أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ اجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَرَخَّصَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْتُوا إِبِلَ الصَّدَقَةِ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا
Ada orang-orang dari Urainah yang tidak cocok dengan udara Madinah sehingga mereka sakit, maka Rasulullah ﷺ memberi rukhshah kepada mereka untuk mendatangi unta zakat, lalu mereka meminum air susunya dan air kencingnya.

Rasulullah ﷺ memberikan izin kepada mereka untuk menjalani pengobatan dengan air kencing unta meskipun itu tergolong najis. Begitu juga, Rasul ﷺ membolehkan pemanfaatan sesuatu yang haram untuk keperluan pengobatan, seperti memakai sutra. Riwayat tentang hal ini disampaikan oleh At-Tirmidzi dan Ahmad, dengan lafaz At-Tirmidzi berasal dari jalur Anas:

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ شَكَيَا الْقَمْلَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي غَزَاةٍ لَهُمَا، فَرَخَّصَ لَهُمَا فِي قُمُصِ الْحَرِيرِ. قَالَ: وَرَأَيْتُهُ عَلَيْهِمَا
Abdurrahman bin ‘Auf dan az-Zubair bin al-‘Awwam mengadukan kutu kepada Nabi ﷺ pada perang keduanya, maka Nabi ﷺ memberi keduanya rukhshah (keringanan) untuk memakai sutra. Anas berkata, 'Dan aku melihat keduanya memakainya.' 

Dua hadis ini menunjukkan bahwa larangan dalam hadis Ibnu Majah tidak bermakna haram. Akan tetapi, penggunaan obat yang mengandung bahan najis dan zat haram dihukumi makruh.

Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah bahwa vaksinasi dengan vaksin yang mengandung bahan haram atau najis diperbolehkan, namun disertai dengan karahah. Sebab, vaksinasi masuk dalam bab pengobatan. Pengobatan dengan sesuatu yang haram dan najis, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dibolehkan namun disertai dengan ketidaksukaan. Dalam hal ini, hukum boleh artinya tidak sampai sunnah ataupun wajib. Tapi, perlu juga diperhatikan dan dipahami bahwa jika telah jelas terdapat dharar (bahaya), maka saat itu tidak boleh dilakukan.

Walhasil, kita harus benar-benar teliti dan bisa memahami fakta-fakta vaksin yang ada. Jika memang hal demikian mengandung dharar (bahaya), maka kita tidak boleh mengambilnya atau mengonsumsinya.

Wallahu a’lam bis shawab.

Posting Komentar

0 Komentar