BANTUAN GIZI YANG MENUMBUHKAN NESTAPA


Oleh: Winda Raya, S.Pd, Gr
Aktivis Muslimah

Niat hati ingin meningkatkan kesehatan dan keceriaan anak, namun yang terjadi justru sebaliknya: berubah menjadi isak tangis. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang seharusnya menyehatkan dan menjadi berkah bagi pelajar serta guru penerima manfaat di Bogor, justru diduga membawa petaka berupa keracunan massal.

Pemerintah telah meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi pelajar di seluruh Indonesia, mulai dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, termasuk di pesantren. Melalui program ini, pemerintah berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pemenuhan gizi yang optimal.

Alih-alih memberikan gizi terbaik bagi generasi emas, ironisnya, program MBG justru menyimpan potensi keracunan yang mengancam kesehatan dan masa depan anak-anak. Apa langkah negara dalam mengantisipasi risiko kesehatan yang justru berujung pada keracunan massal di sekolah-sekolah?

Dilansir dari tirto.id, 8 Mei 2025, guru dan tiga puluh enam peserta didik SD dan SMP Sekolah Bosowa Bina Insani, Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, mengalami dugaan keracunan makanan. Mereka dilarikan ke sejumlah rumah sakit.

Letkol Inf. Dwi Agung Prihanto, Dandim 0606/Kota Bogor, membenarkan kejadian tersebut. Sejak kemarin sore hingga pagi hari secara bertahap, para pelajar dan guru mengalami gejala yang diduga akibat keracunan makanan.

Dinas Kesehatan Kota Bogor tengah melakukan pengujian sampel makanan untuk menyelidiki penyebab dugaan keracunan. Dwi menyatakan di Makodim 0606 Kota Bogor, “Memang benar tadi siang ada laporan masuk, tapi masih kami selidiki. Kami juga sudah bekerja sama dengan Dinas Kesehatan.

Dikutip dari CNN Indonesia, 11 Mei 2025, hingga perkembangan kasus pada 9 Mei 2025, jumlah korban keracunan yang diduga akibat konsumsi makanan program MBG di Kota Bogor bertambah menjadi 210 orang. Dalam keterangannya, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor, Sri Nowo Retno, mengatakan, “Total perkembangan kasus dugaan keracunan makanan dari tanggal 7–9 Mei 2025, secara kumulatif sebanyak 210 orang.” Sri Nowo juga menjelaskan bahwa 210 korban itu berasal dari delapan sekolah yang telah melaporkan kejadian, dengan rincian 34 orang menjalani rawat inap, 47 orang rawat jalan, dan 129 orang mengalami keluhan ringan.

Dilansir dari bisnis.com, 11 Mei 2025, menurut Ogi Prastomiyono selaku Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP), Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) bersama Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) saat ini sedang menyusun proposal awal mengenai mekanisme penyelenggaraan produk asuransi untuk program MBG.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bahwa program MBG akan mendapatkan proteksi asuransi. Sebelumnya, Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat setidaknya terdapat enam kasus keracunan sejak program MBG diluncurkan pada Januari 2025, melibatkan 327 siswa.

Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola Program MBG BGN, Tigor Pangaribuan, mengungkapkan bahwa ke depan cakupan asuransi akan diperluas hingga mencakup perlindungan non-medis, seperti kehilangan penghasilan orang tua yang harus menemani anak sakit di rumah sakit.

Terjadinya kasus keracunan dalam program MBG merupakan dampak dari sistem kapitalis yang lebih mengutamakan keuntungan. Kapitalisme mengabaikan keselamatan dan kesehatan masyarakat. Negara lalai dan tidak bertanggung jawab terhadap keamanan warganya. Pelajar dan guru penerima manfaat program justru tumbang akibat keracunan. Harapan untuk mendapatkan gizi dan kesehatan yang baik berubah menjadi peristiwa pahit.

Kapitalisme gagal menjamin kualitas gizi generasi. Pasar bebas memungkinkan produk-produk berbahaya beredar luas tanpa pengawasan ketat. Bahan makanan yang tahan lama namun rendah nutrisi dan mengandung bahan tambahan berbahaya dijual bebas. Setiap tindakan ekonomi berlandaskan pada tujuan meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Negara seharusnya menjamin masyarakat untuk hidup sehat dan sejahtera. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: minimnya lapangan kerja menyulitkan masyarakat memperoleh penghidupan layak. Perekrutan kerja lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal demi memaksimalkan keuntungan.

Negara bahkan berlepas tangan dengan mengusulkan asuransi MBG, yang makin menunjukkan komersialisasi risiko alih-alih solusi preventif. Asuransi hanya memberikan kompensasi setelah kejadian buruk menimpa penerima program. Ini tidak mencegah keracunan, karena tidak menyentuh akar persoalan. Solusi preventif sejati adalah pengawasan ketat terhadap mutu gizi, memastikan kualitas bahan baku, serta proses pengolahan makanan yang bersih dan higienis.

Sistem Islam hadir dengan solusi menyeluruh yang menyentuh akar masalah, mengatur ekonomi dan kehidupan rakyat berdasarkan syariat Islam yang berorientasi pada kemaslahatan. Seorang pemimpin bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, termasuk dalam memastikan kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pangan terpenuhi, serta menyediakan lapangan kerja yang layak.

Abu Maryam al-Azdy r.a. berkata kepada Muawiyah, “Saya telah mendengar Rasulullah ï·º bersabda: ‘Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum Muslimin, lalu ia menyembunyikan diri dari kebutuhan mereka, maka Allah akan menolak kebutuhan dan hajatnya pada hari kiamat.’ Maka Muawiyah pun mengangkat seorang untuk melayani segala kebutuhan rakyat.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi).

Dengan demikian, dalam sistem Islam, pemimpin negara bertanggung jawab penuh atas keamanan pangan dan gizi masyarakat. Ini tidak diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi. Negara juga menjamin terbukanya lapangan kerja melalui pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan sektor produktif.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar