
Oleh: Alfianisa Permata Sari
Penulis Lepas
Tentara Israel kembali melancarkan operasi udara mendadak di Jalur Gaza pada tanggal 18 maret. Meskipun sedang terjadi gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan yang berlaku pada bulan Januari. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, jumlah korban tewas akibat genosida Israel sejak Oktober 2023 menjadi 50.846 jiwa sementara jumlah korban luka menjadi 115.729 akibat serangan Israel (Anadolu Ajansi, 09/04/2025).
Serangan entitas Yahudi yang makin brutal dan keji ke Palestina khususnya ke Gaza telah memakan korban yang sangat banyak. Sejauh ini belum terlihat nyata upaya dari dunia Islam, khususnya dari penguasa di negeri Arab seperti Mesir, Arab Saudi, dan lainnya untuk menghentikan agresi yang sudah berjalan lebih dari satu tahun. Mereka tetap bungkam seolah-olah di depan mereka tidak terjadi apa-apa. Yang dilakukan baru sebatas retorika, kutukan, atau persiapan untuk pengiriman bahan makanan, obat-obatan, peralatan, dan tenaga medis.
Sementara itu, solusi lain ditawarkan seperti boikot, two-state solution (solusi dua negara) yang mana sama saja membagi Palestina menjadi dua bagian dan memberikan sebagiannya kepada penjajah. Tuntutan sanksi dari PBB untuk Israel, gencatan senjata bahkan memindahkan korban ke tempat yang lebih aman pun menjadi pilihan solusi.
Presiden Prabowo Subianto turut berkomentar. Ia merencanakan hendak mengevakuasi 1.000 warga Gaza ke Indonesia. Katanya, mereka akan ditampung selama agresi Israel di Gaza masih terus terjadi. Pemerintah juga akan memberikan beasiswa kepada warga Palestina untuk kuliah di Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan) (detik.com, 12/04/2025). Menurut Prabowo, inisiatif ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk terus memberi kesempatan bagi pelajar Palestina belajar di Indonesia, sambil membangun fasilitas kesehatan di Tepi Barat dan Gaza.
Berbagai solusi terus ditawarkan namun nyatanya agresi Israel tetap berlangsung bahkan semakin parah. Hal ini sudah jelas, solusi tadi hanya untuk meredam sementara tapi tidak menyelesaikan masalah utama.
Tipu Daya Nasionalisme
Hari ini umat tidak dalam kondisi baik-baik saja. Terhitung sudah 101 tahun masehi sejak runtuhnya Kekhilafahan Utsmani tahun 1924, umat Islam sudah tidak lagi memiliki kekuatan. Daulah Islam yang selama ± 1300 tahun menjadi satu negara adidaya, kini harus tersekat nation-state.
Nasionalisme muncul setelah Perang Dunia I, pihak sekutu sebagai negara pemenang (khususnya Inggris) memecah belah Daulah Islam menjadi beberapa wilayah negara kecil. Ini sesuai dengan rencana yang telah disiapkannya. Konsep inilah yang disuntikkan ke tubuh umat Islam karena mereka melihat kaum muslim bisa bersatu dan memiliki banyak sumber daya.
Para musuh Islam melihat hanya ada satu jalan untuk membuat kaum muslim lemah, yakni membagi-baginya dengan sistem politik yang sama dengan yang mereka gunakan. Sistem yang menyebabkan mereka gagal untuk bersatu. Ketika mereka gagal untuk bersatu, mereka pun ingin kaum muslim tidak bersatu. Tipu daya nasionalisme sunggung nyata. Barat berdalih dengan nasionalisme akan memberikan kemerdekaan negeri muslim, nyatanya negeri muslim menjadi terjajah baik secara budaya maupun mental.
Sungguh ironi, hari ini banyak kaum muslim yang justru menjalankan nasionalisme ini dengan penuh kebanggaan. Padahal, yang memberikan konsep nasionalisme itu adalah pihak yang telah membunuh jutaan muslim saat Perang Dunia I, yang mengambil alih sumber daya milik kaum muslim, dan memerangkap para tentara kaum muslim.
Inilah penyebab Palestina masih terjajah. Barat telah berhasil menumbuhkan racun nasionalisme dalam tubuh umat Islam. Akibatnya kini umat Islam terkotak-kotakkan, semakin lemah dan tidak berdaya. Semua negeri muslim semakin sibuk dengan urusan negerinya, hingga tega mengkhianati saudaranya.
Nabi menggambarkan kaum muslim ibarat satu tubuh dimana kaum muslim itu saling terhubung. Ketika ada bagian tubuh yang terluka, bagian tubuh lain pasti akan merasakan sakit dan tidak dapat berfungsi normal. Itulah yang terjadi saat umat Islam dipisah-pisah oleh nasionalisme sehingga tidak bisa bergerak seperti yang seharusnya.
Umat Islam harus bersatu kembali dengan cara melepas batas nasionalisme, termasuk aturan tentang nasionalisme dan para pelindungnya. Sebagai bentuk kasih sayang kepada sesama muslim, maka harus diingatkan bahwa menyebarkan nasionalisme sesungguhnya telah menyebarkan racun dan infeksi di tubuh umat sehingga semestinya nasionalisme ini dilawan. Sebab hanya dengan persatuan umat, musuh-musuh Islam tidak akan berani melangkahkan kakinya menjajah negeri muslim.
Solusi Tuntas Bebaskan Palestina
Perihal perampasan rumah dan tanah kaum muslim Palestina yang dilakukan oleh Zionis Yahudi, satu-satunya solusi untuk mengatasinya adalah merebutnya kembali, bukan dengan membaginya kepada Yahudi sebagaimana konsep solusi dua negara (two state solution). Ditambah adanya pembantaian dan genosida kepada kaum muslim Palestina, solusinya adalah melawan dengan aktivitas jihad fi sabilillah dalam rangka menegakkan kalimat Allah serta membela darah dan nyawa kaum muslim.
Sejarah telah mencatat, Palestina pertama kali dibebaskan oleh kaum muslim melalui aktivitas jihad fi sabilillah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra. dari tangan Romawi pada 16 H (637 M). Khalifah Umar berhasil membebaskan Palestina (Baitul Maqdis) dan seluruh penduduknya dari kezaliman penguasa Romawi yang pada akhirnya menyerah tanpa peperangan karena mereka bersedia berdamai.
Baitul Maqdis kemudian ditaklukkan oleh tentara Salib pada Perang Salib I (1096—1102 M). Selama hampir 90 tahun berada di bawah kekuasaan kaum Nasrani, penduduk muslim disana banyak mendapat perlakuan yang buruk dari mereka. Namun, di bawah kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi, kaum muslim berhasil merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan orang-orang kafir, tepatnya pada 27 Rajab 583 H (1187 M).
Demikian halnya upaya perlindungan Palestina yang diberikan Sultan Abdul Hamid II pada masa Khilafah Utsmaniyah menunjukkan bahwa Yahudi melalui Theodor Herzl yang hendak “membeli” tanah Palestina gigit jari di hadapan khalifah kaum muslim.
Inilah yang dicontohkan oleh para pemimpin umat Islam dalam membela Palestina. Hanya saja, jihad fi sabilillah akan terjadi apabila umat Islam memiliki pemimpin (Khalifah). Dimana pemimpin ini hadir dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah. Ia akan berperan sebagai junnah (perisai) untuk membela tanah kaum muslim, juga kemuliaan Islam dan kaum muslim, tidak hanya di Palestina tetapi juga di seluruh dunia. Ini sebagaimana sabda Rasulullah ï·º,
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا الْØ¥ِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh dll.).
0 Komentar