PERLU KEKUATAN ISLAM DALAM MEMBERANTAS KEKERASAN SEKSUAL


Oleh: Mutia Rahman
Penulis Lepas

Banyak kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan. Baik di lingkungan sekolah negeri, sekolah swasta, pesantren, hingga universitas. Seperti kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru sekaligus kepala sekolah di Sukoharjo kepada 20 siswanya hingga mendapatkan pendampingan psikologis, (Tempo.co,30/04/2025).

Kemudian kasus seorang kiai dan anaknya di Tenggareng yang mencabuli belasan santriwatinya, (Tempo.co, 8/05/2024). Hingga pelecehan seksual yang dilakukan oleh Dekan UNRI kepada mahasiswi bimbingannya, (Tempo.co, 12/04/2025).

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengeluarkan data terbaru kasus kekerasan perempuan di Indonesia yang tercatat 5.949 kasus pada tahun 2025. Pada tahun 2024 angkanya tercatat 27.658 kasus, (Metronews.com, 21/04/2025). Hal ini membuktikan Indonesia sudah pada kondisi darurat kekerasan seksual.

Dalam Fokus to The Point: “Indonesia Darurat Kekerasan Seksual!”, seorang cendikiawan muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan bahwa meningkatnya kekerasan seksual disebabkan oleh beberapa faktor,

Pertama, mudahnya mengakses rangsangan secara personal oleh siapapun. “Tidak ada satu pun orang yang bisa mengontrolnya, mengendalikannya, apalagi melarangnya. Bahkan kecenderungannya bersifat adiktif,”, Sabtu (03/05/2025) di kanal UIY Official.

Kedua, penyimpangan-penyimpangan seksual dilumrahisasi atau menjadi hal biasa. “Tidak pernah ada hukuman terhadap penyimpangan-penyimpangan seksual,” ungkapnya.

Ketiga, upaya hukum yang gagal dalam pencegahan. “LGBT, misalnya, jangankan disebut kejahatan, penyimpangan pun tidak. Nah, itu akan membuat lumrahisasi makin meningkat,” jelasnya.

Keempat, lanjutnya, keimanan yang rapuh dalam mengontrol diri. “Puasa yang begitu rupa itu mestinya berpengaruh. Namun, di negeri mayoritas muslim yang puasa sudah puluhan tahun ini, penyimpangan tetap bisa dilakukan,” ucapnya.

Bahkan pelaku penyimpangan dan tindak kekerasan seksual ini adalah mereka yang disebut pemuka agama. “Ini karena mereka yang dianggap sebagai orang yang mengerti betul makna takwa dan pengaruh puasa di dalam ketakwaan itu, misalnya, para ustaz, kiai, dan sebagainya,” jelasnya.

Inilah yang terjadi ketika agama dijauhkan dari kehidupan. Agama hanya dijadikan sebagai praktik ritual tanpa berdampak pada kehidupan. Harusnya agama dijadikan sebagai kontrol diri dalam mencegah kemudharatan dan kemaksiatan. Selain itu agama Islam harus kita pelajari seutuhnya agar bisa menjadi solusi segala permasalahan terutama dalam kasus kekerasan seksual.

Begitu pun pemerintah sebagai pemilik kuasa harus meregulasi untuk mencegah rangsangan atau pengaruh buruk dari internet dan media sosial. “Internet menjadikan dunia tidak ada lagi tapal batas. Bisa jadi hal yang buruk itu bukan dari negeri kita, tetapi dari suatu negeri yang tidak lagi mengindahkan batasan-batasan, nilai-nilai aturan, apalagi syariat,” imbuhnya.

Oleh sebab itu, di era dunia digital yang serba bebas ini perlu kekuatan yang berpengaruh besar, baik untuk lokal maupun global. “Kekuatan global itu harus penuh dengan etika dan ketika Islam dahulu berjaya, Islam bisa menyebarkan etika yang benar, aturan yang benar, kesadaran yang benar,” paparnya.

Posting Komentar

0 Komentar