HARDIKNAS: MOMENTUM REFLEKSI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INDONESIA


Oleh: Setiawan Hidayat
Praktisi Pendidikan

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa setiap tahun pada tanggal 2 Mei selalu diperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Begitu pula pada tanggal 2 Mei lalu, tepatnya hari Jumat, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menyelenggarakan upacara peringatan Hardiknas dengan mengusung tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Melalui mimbar upacara, Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa, “Usaha untuk mewujudkan tujuan dan fungsi pendidikan tersebut tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Kami memerlukan partisipasi semesta untuk mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” (menpan.go.id, 02/05/2025)

Namun, di tengah semangat peringatan Hardiknas tersebut, kita dihadapkan pada satu kondisi yang sangat memprihatinkan, yakni buruknya “rapor” pendidikan nasional. Hal ini dapat kita konfirmasi pada realita yang terjadi saat ini. Maraknya kenakalan remaja, pergaulan bebas, hingga tindakan kriminal yang dilakukan oleh para pelajar menjadi indikator yang jelas akan bobroknya sistem pendidikan nasional.


Rusaknya Moral Pelajar

Mutu suatu pendidikan secara sederhana dapat dengan mudah kita amati dari perilaku para pelajar dan kualitas lulusannya. Bila kita lihat lebih dekat, perilaku pelajar saat ini sangatlah jauh dari kata “bermutu”. Kian merebaknya aksi-aksi tawuran antar pelajar, geng motor, juga perzinaan, menjadi fakta yang tak bisa terbantahkan betapa rusaknya moral para pelajar negeri ini. Misalnya saja, kasus terciduknya para pelajar dalam penggerebekan warung “kopi cetol” yang terjadi di Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur pada Sabtu, 4 Januari 2025 (jatim.tribunnews.com, 06/01/2025). Kemudian, kasus tawuran antar pelajar di Pati, Jawa Tengah pada 9 Mei kemarin yang menewaskan satu orang siswa (regional.kompas.com, 13/05/2025).

Belum lagi, kasus pencurian oleh anak di bawah umur yang, terhitung sejak 1 Januari hingga 20 Februari 2025, melibatkan sebanyak 437 anak sebagai terlapor (pusiknas.polri.go.id, 21/02/2025). Dan yang sangat mencengangkan, kasus judi online yang melibatkan anak usia di bawah 10 tahun sebanyak 50.000 orang selama periode 2017 hingga 14 September 2024 (kompas.com, 18/10/2024).

Hal yang sama juga terjadi pada mutu lulusan yang sangat rendah. Hal ini ditandai dengan banyaknya pengangguran terbuka. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia meningkat menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025. Jumlah ini meningkat 1,11% dibandingkan dengan Februari 2024 (tempo.co, 08/05/2025).

Selain itu, maraknya kasus pemecatan karyawan generasi Z (Gen Z) juga menambah daftar hitam mutu lulusan pendidikan negeri ini. Hasil dari laporan Intelligent, platform konsultasi pendidikan dan karier, menyebutkan bahwa 6 dari 10 perusahaan yang disurvei telah memecat karyawan mereka yang notabene Gen Z lulusan universitas dengan alasan kurangnya motivasi, profesionalisme, dan keterampilan komunikasi yang buruk (cnbcindonesia.com, 11/01/2025).

Dari fakta-fakta tersebut, maka sudahkah pendidikan kita dikatakan bermutu? Lalu apabila kita soroti pidato Mendikdasmen di atas, pendidikan bermutu seperti apa yang diharapkan? Seperti apa peran negara dalam kewajibannya menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan masyarakat, khususnya dalam masalah pendidikan? Itulah beberapa pertanyaan yang kiranya muncul di benak kita sebagai refleksi atas penyelenggaraan pendidikan di negeri ini.


Negara Tidak Serius

Mutu pendidikan nasional yang kian merosot mencerminkan kegagalan penerapan sistem pendidikan di Indonesia. Kurikulum terus berganti namun belum juga menemukan hasil. Alih-alih semakin membaik, malah kian memburuk. Pendidikan yang sejatinya memanusiakan manusia telah gagal mewujudkannya. Ironisnya, solusi-solusi yang ditawarkan oleh pemerintah seperti tidak memberikan dampak, bahkan malah semakin memperparah keadaan. Misalnya, untuk mengatasi lonjakan perzinaan di kalangan pelajar, pemerintah malah mensosialisasikan alat kontrasepsi sebagai solusi atas persoalan tersebut. Alih-alih mengatasi persoalan, justru malah memfasilitasi kegiatan maksiat tersebut.

Mengenai persoalan tawuran dan geng motor yang kian marak, pemerintah juga tidak serius dalam menanggulanginya. Hal ini tercermin dari tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang cenderung memberikan kelonggaran dalam memberikan sanksi. Para pelajar yang terlibat tawuran dan geng motor hanya sebatas diberikan pembinaan, selanjutnya diserahkan kembali kepada orang tuanya masing-masing. Hal ini tidak memberikan dampak apa pun. Jika dibiarkan tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah, tentu aksi tawuran dan geng motor akan semakin brutal.

Dalam penanganan kasus judi online, pemerintah seolah “kewalahan” menghadapi para pelaku dan juga situs penyedia judi online. Sejauh ini, pemerintah hanya memberikan imbauan kepada masyarakat akan bahaya judi online, tetapi cenderung membiarkan para pelakunya. Anehnya, jika ada pelaku yang bangkrut karena judi online, justru disebut sebagai korban dan bahkan akan diberikan bantuan. Terkait situs-situs penyedia judi online, pemerintah hanya sebatas melakukan pemblokiran saja. Ironisnya, para pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) yang melakukan pemblokiran justru banyak juga yang terjerat kasus judi online. Pantas saja pemerintah tidak bersikap tegas dan serius dalam memberantas judi online.

Perihal penanggulangan masalah pengangguran terbuka yang kian menggunung, pemerintah juga tidak memberikan solusi apa pun. Kualitas lulusan yang rendah (kurang bermutu) membuat para pemilik perusahaan enggan merekrut mereka. Apalagi dengan adanya kebijakan yang diatur dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang secara jelas banyak merugikan pekerja dan menguntungkan para pengusaha. Melalui kebijakan ini, para pengusaha memiliki kewenangan penuh, sehingga sangat leluasa dalam menentukan aturan ketenagakerjaan mulai dari perekrutan hingga pemberhentian. Calon tenaga kerja tidak lagi memiliki peluang untuk bekerja, terutama ketika berhadapan dengan syarat pekerjaan yang sangat ketat terutama dari sisi usia, penampilan, keterampilan, dan pengalaman.


Pendidikan Sekuler Kapitalis Biang Masalah

Inilah buah dari penerapan sistem pendidikan yang berbasis sekularisme dan kapitalisme. Posisi pendidikan yang semestinya dijadikan tumpuan untuk membangun peradaban, sehingga menjadi prioritas utama negara, ternyata malah tidak terurus dengan baik bahkan cenderung disepelekan. Pendidikan yang diterapkan hanyalah sebatas menjadi jembatan antara rakyat dengan perusahaan. Pendidikan hanya menghasilkan orang-orang yang mengisi perusahaan-perusahaan milik para kapitalis. Mereka hanya dibentuk untuk menjadi tenaga kerja, sehingga dalam prosesnya hanya mengejar kehidupan dunia yang materialistis dan hedonis belaka serta mengesampingkan masalah akhirat.

Agama terus-menerus dijauhkan dari pendidikan termasuk kehidupan secara umum, karena memang itulah ajaran sekularisme yang selalu berupaya memisahkan antara agama dengan kehidupan. Pelajaran agama di sekolah hanya sebatas formalitas belaka. Padahal, agama merupakan fondasi utama untuk membangun kepribadian siswa. Maka tak heran jika penyelenggaraan pendidikan di negeri ini sangat jauh dari nilai-nilai spiritual, sehingga melahirkan para pelajar yang tidak beradab dan tidak berakhlak. Lalu muncullah perilaku-perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para pelajar sebagaimana yang disebutkan di atas.

Pendidikan dengan asas sekularisme tidak menjadikan pembentukan kepribadian sebagai pilar utama dalam proses pembelajaran. Sekolah hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan agar siswa kompeten, sehingga dapat “survive” dalam menjalani kehidupan. Survive dalam hal ini hanya sebatas dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup. Artinya, sekadar memenuhi kebutuhan fisik (hajatun ‘udhwiyah) dan keinginan pribadi agar tetap eksis (gharizah baqa’). Sementara, hal yang justru mendasar, yakni konsep berperilaku yang benar menurut ajaran Islam, mereka tinggalkan, sehingga kehidupan ini hanya berfokus pada dunia dan tidak diarahkan pada kehidupan akhirat. Oleh karena itu, kehidupan yang dibangun sangat kering dari aturan-aturan syariah sehingga terjadi berbagai macam kemaksiatan.

Di samping itu, penerapan ideologi kapitalisme telah berhasil membuat pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Jual beli “pendidikan” membuat keadaan semakin keruh. Negara yang semestinya hadir memberikan pendidikan secara cuma-cuma, nyatanya lepas tangan dan mengembalikkannya kepada rakyat. Pendidikan dianggap sebagai beban negara karena tidak menguntungkan dan tidak memberikan income (pemasukan) pada kas negara, sehingga sebisa mungkin anggaran untuk pendidikan terus dikikis dan dibebankan kepada rakyat.

Dampaknya pendidikan kian mahal dan tak terjangkau oleh masyarakat yang menyebabkan kesenjangan tingkat pendidikan sehingga rakyat tidak memiliki keterampilan dasar untuk hidup. Lengkaplah sudah, asas pendidikan yang dibangun dari sekularisme dan kapitalisasi pendidikan menjadikan kondisi masyarakat karut-marut.


Solusi Islam

Islam sebagai agama yang paripurna memiliki seperangkat aturan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal pendidikan. Islam memiliki konsep pendidikan yang khas, yang bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah), yaitu berpikir dan berperilaku berdasarkan syariat Islam. Karena itu, pendidikan dalam Islam tidak hanya menekankan pada aspek pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi juga pembentukan akhlak dan kepribadian yang berbasis pada akidah Islam.

Dalam sistem pendidikan Islam, negara berperan sebagai pihak utama yang menyelenggarakan pendidikan. Negara wajib menjamin akses pendidikan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali, karena pendidikan adalah hak dasar rakyat yang harus dijamin oleh negara secara gratis dan berkualitas. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah ï·º:

اَÙ„ْØ¥ِÙ…َامُ عَÙ„َÙ‰ النَّاسِ رَاعٍ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
"Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan dia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Islam juga menetapkan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan publik yang wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma. Oleh karena itu, dalam sistem Islam, pendidikan tidak dikomersialkan sebagaimana dalam sistem kapitalis. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dengan kurikulum yang dibangun berdasarkan akidah Islam, yang mencakup pengetahuan agama, ilmu-ilmu kehidupan (sains dan teknologi), serta keterampilan, dengan tetap menjadikan akidah Islam sebagai landasan dan pengarahnya.

Dalam pendidikan Islam, mata pelajaran agama tidak hanya sebatas teori, tetapi menjadi ruh dari seluruh proses pembelajaran. Bahkan, seluruh ilmu yang dipelajari akan diarahkan agar memiliki keterkaitan dengan Islam dan bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah. Dengan pendekatan ini, peserta didik tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan emosional. Mereka akan memiliki kesadaran bahwa seluruh aktivitas kehidupan harus berada dalam koridor syariat Islam dan bernilai ibadah kepada Allah ï·».

Dengan sistem pendidikan seperti ini, maka akan lahir generasi terbaik yang memiliki kemampuan ilmu yang tinggi, keterampilan yang andal, serta akhlak yang mulia. Mereka inilah yang kelak akan menjadi pemimpin umat, ulama, mujtahid, ilmuwan, dan teknokrat yang siap membangun peradaban Islam gemilang.

Sistem pendidikan yang ideal tersebut hanya akan terwujud jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai institusi negara, yakni Khilafah Islamiyah. Khilafah akan menerapkan seluruh aturan Islam dalam aspek pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lainnya. Khilafah tidak akan membiarkan generasi muda rusak oleh paham-paham sekularisme, liberalisme, dan hedonisme seperti yang terjadi saat ini. Khilafah akan menciptakan lingkungan yang kondusif dan penuh keberkahan, sehingga generasi muda tumbuh dalam suasana keimanan dan ketaatan kepada Allah ï·».


Penutup

Sudah saatnya kita menjadikan momentum Hardiknas ini sebagai refleksi mendalam atas kondisi pendidikan yang semakin rusak akibat penerapan sistem sekuler kapitalis. Kita tidak bisa berharap banyak dari sistem ini, karena akar masalahnya justru ada pada sistem itu sendiri. Maka, solusi satu-satunya adalah mencampakkan sistem sekular kapitalis dan menggantinya dengan sistem Islam secara menyeluruh, termasuk dalam bidang pendidikan.

Dengan penerapan Islam secara kaffah, kita akan melihat perubahan besar dalam dunia pendidikan. Pendidikan akan kembali pada hakikatnya, yakni sebagai sarana mencetak generasi unggul berkepribadian Islam. Negara akan hadir sebagai pelayan rakyat yang bertanggung jawab penuh dalam menjamin pendidikan yang berkualitas, gratis, dan membentuk generasi terbaik pewaris peradaban Islam.

Posting Komentar

0 Komentar