KORUPSI DALAM SISTEM SEKULER: PERTAMINA HANYA PUNCAK GUNUNG ES


Oleh: Daud Abu Rasheed
Pemerhati Problematika Umat

Bayangkan Anda sudah membeli susu murni dari sebuah toko langganan selama bertahun-tahun. Anda mempercayainya! Namun, suatu hari Anda mengetahui bahwa ternyata susu tersebut dicampur dengan air keran, setengah botolnya bukan susu. Apa yang Anda rasakan? Kecewa? Marah? Dikhianati? Begitulah perasaan masyarakat ketika akhirnya mengetahui bahwa minyak dan bahan bakar yang biasa mereka gunakan sehari-hari ternyata dicampur, dimanipulasi, dan bahkan dijual dengan harga tinggi. Dan lebih dari itu, uangnya dikorupsi!

Lalu bayangkan juga ketika Anda menitipkan rumah kepada pengurus RT di lingkungan rumah saat Anda perlu pergi jauh untuk beberapa waktu. Namun, ketika pulang, Anda dapati bahwa rumah Anda dirampok. Kemudian setelah diselidiki, ternyata pengurus RT yang Anda percayakan rumah Anda tersebutlah yang menjadi dalang perampokan itu. Seperti itulah gambaran perasaan masyarakat saat mengetahui bahwa pelaku korupsi adalah eksekutif BUMN yang merupakan pelaksana kegiatan pengelolaan aset bangsa.

Itulah gambaran umum kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada kurun waktu tahun 2018 sampai 2023, di mana potensi kerugian negara yang diakibatkan dari kasus ini diperkirakan bisa mencapai Rp968,5 triliun (Kompas, 27/02/2025).

Korupsi tersebut dilakukan pada kegiatan blending di depo milik PT Orbit Terminal Merak (pencampuran Pertamax (RON 92) dan Pertalite (RON 90) lalu dijual dengan harga Pertamax) dan melakukan mark-up kontrak shipping transportasi minyak mentah (mark-up biaya pengiriman hingga 15%) (Metrotvnews, 27/03/2025). Korupsi ini melibatkan beberapa tersangka, baik dari pihak Pertamina (termasuk eksekutif Pertamina) maupun pengusaha swasta, yang semuanya telah ditahan (Republika, 26/02/2025).

Namun, mengapa korupsi sedemikian menjamur dan rasanya tidak pernah ada habisnya, terus terjadi di negeri ini? Untuk kasus korupsi di atas Rp1 triliun selama kurun waktu 10 tahun terakhir saja mencapai 10 kasus, dengan estimasi total kerugian negara lebih dari Rp1.500 triliun (Kompas, 27/02/2025), belum lagi kasus korupsi yang nilainya di bawah Rp1 triliun, tentunya jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Demikianlah, ketika Anda menanam dua tanaman yang sama dari benih yang sama, namun satu tanaman ditanam di tanah yang kering, kotor, dan diberi air kotor dari comberan, sementara satu tanaman lainnya ditanam di tanah yang gembur, bersih, dan diberi air bersih. Dari kedua kondisi di atas, maka Anda bisa mengharapkan bahwa tanaman yang ditanam di tanah yang gembur dan bersih akan tumbuh sehat dan menghasilkan buah yang manis dan menyehatkan. Sementara itu, Anda juga dapat mengharapkan tanaman yang ditanam di tanah yang kering dan kotor akan tumbuh tidak subur dan jika menghasilkan buah, tentunya tidak manis, bahkan cepat busuk. Begitu seterusnya, berapa pun banyaknya tanaman yang sama yang Anda tanam di dua jenis tanah tadi, maka akan Anda dapati hasil yang berbeda pula.

Itulah gambaran perbedaan sistem pemerintahan sekuler dengan sistem pemerintahan Islam. Sebaik dan setulus apa pun niat seorang pejabat pemerintahan ataupun anggota DPR yang ada di negeri ini, mereka akan bekerja dalam sistem yang rusak, yang selalu membiarkan pintu-pintu kecurangan tetap terbuka dan memberikan celah untuk berbuat korupsi atau bentuk penyelewengan lainnya.

Selalu akan ada celah hukum yang dapat digunakan untuk memperkaya diri para penguasa dan pejabat beserta keluarga mereka. Jabatan mereka menjadi alat untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya selama masa jabatan belum berakhir. Atau bahkan, lebih ekstrem lagi, sebagaimana yang pernah diucapkan Mahfud MD kala menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi pada tahun 2012. Beliau mengucapkan bahwa malaikat bisa menjadi iblis jika masuk ke dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Terlepas dari klarifikasinya yang menjelaskan bahwa maksud ucapannya tersebut adalah terkait Pilkada pada saat itu, namun cukup layak untuk kita renungkan kebenaran dari ucapan itu. Kita bisa mengambil benang merah bahwa hal tersebut bukan hanya disebabkan oleh tidak kompetennya atau tidak berakhlaknya individu-individu yang memegang kekuasaan di setiap tingkat pemerintahan, namun juga disebabkan oleh rusaknya sistem sekuler yang dijalankan oleh pemerintahan negeri ini.

Berbeda dengan Islam, yang semua urusannya didasarkan kepada ketaatan kepada Allah, maka jabatan akan senantiasa menjadi amanah yang harus dijaga dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dengan sedetail-detailnya, dan tidak sedikit pun ada yang terlewat. Terlebih lagi untuk amanah yang diberikan untuk pengurusan layanan umat.

ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّذِينَ آمَÙ†ُوا Ù„َا تَØ®ُونُوا اللَّÙ‡َ Ùˆَالرَّسُولَ ÙˆَتَØ®ُونُوا Ø£َÙ…َانَاتِÙƒُÙ…ْ ÙˆَØ£َÙ†ْتُÙ…ْ تَعْÙ„َÙ…ُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)

Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ ÙŠَØ£ْÙ…ُرُÙƒُÙ…ْ Ø£َÙ†ْ تُؤَدُّوا الْØ£َÙ…َانَاتِ Ø¥ِÙ„َÙ‰ٰ Ø£َÙ‡ْÙ„ِÙ‡َاۖ ÙˆَØ¥ِذَا Ø­َÙƒَÙ…ْتُÙ… بَÙŠْÙ†َ النَّاسِ Ø£َÙ†ْ تَØ­ْÙƒُÙ…ُوا بِالْعَدْÙ„ِۚ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ù†ِعِÙ…َّا ÙŠَعِظُÙƒُÙ… بِÙ‡ِۗ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ùƒَانَ سَÙ…ِيعًا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)

Secara umum, para ulama dan imam mazhab mengajarkan bahwa korupsi adalah bentuk penghianatan, perbuatan yang bertentangan dengan Islam dan harus diperangi dengan ketegasan. Bahkan para imam mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal memiliki prinsip yang kuat dalam menolak keterlibatannya dalam kekuasaan dan menolak tawaran jabatan dari penguasa karena khawatir dengan potensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Di dalam sistem Islam, pemimpin dituntut untuk menjalankan kepemimpinannya sebagai pengurus urusan umat (raa’in), dan pemimpin adalah pelayan umat, bukan malah menjadi orang yang minta dilayani, apalagi sampai memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri dan golongannya.

Ù‚َالَ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ ï·º: الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْؤُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
Artinya: “Rasulullah ï·º bersabda, ‘Imam (pemimpin) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan Rasulullah ï·º mengingatkan bahwa siapa saja yang diangkat menjadi pemimpin, namun menipu rakyat yang dipimpinnya, maka tempatnya adalah neraka:

Ù‚َالَ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ ï·º: Ù…َا Ù…ِÙ†ْ عَبْدٍ ÙŠَسْتَرْعِيهِ اللَّÙ‡ُ رَعِÙŠَّØ©ً، ÙŠَÙ…ُوتُ ÙŠَÙˆْÙ…َ ÙŠَÙ…ُوتُ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ غَاشٌّ Ù„ِرَعِÙŠَّتِÙ‡ِ، Ø¥ِÙ„َّا Ø­َرَّÙ…َ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ الْجَÙ†َّØ©َ
Artinya: “Rasulullah ï·º bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba yang dijadikan pemimpin oleh Allah terhadap rakyat, lalu ketika ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan atasnya surga.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam telah memberikan keteladanan dari para pemimpin dan pejabat negara yang menjadikan jabatan sebagai beban berat dan senantiasa merasa takut kepada Allah jika dirinya tidak mampu menunaikan amanah tersebut. Mereka menghindari gaya hidup mewah dan menjauh dari harta haram, serta senantiasa merasa diawasi oleh Allah dalam setiap keputusan yang mereka ambil, karena sadar bahwa semua itu akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Mereka bukan hanya takut kepada hukum manusia, tetapi juga takut kepada hisab Allah yang sangat detail.

Hal itu semua hanya dapat diwujudkan oleh sistem pemerintahan Islam, bukan sistem sekuler seperti yang dijalankan hari ini. Dalam sistem Islam, aturan yang diberlakukan berasal dari Allah, bukan dari akal manusia yang terbatas. Sistem ini pula yang pernah dijalankan oleh Rasulullah ï·º dan para khalifah setelah beliau, dan terbukti mampu menciptakan pemimpin-pemimpin yang adil, amanah, dan takut kepada Allah.

Oleh karena itu, jika kita benar-benar ingin menghentikan korupsi hingga ke akar-akarnya, maka solusinya bukan hanya dengan menambah lembaga antikorupsi atau memperberat hukuman, tapi dengan mengganti sistem rusak ini dengan sistem yang bersumber dari wahyu, yaitu Khilafah Islamiyah ala minhaj an-nubuwwah.

Posting Komentar

0 Komentar