
Oleh: Ilham Muhammad Naufal
Aktivis Mahasiswa
Berita korupsi seolah menjadi langganan bulanan di media massa. Belum tuntas satu kasus, sudah muncul kasus lainnya. Dari pejabat pusat hingga daerah, dari proyek infrastruktur hingga bantuan sosial—semuanya tak luput dari jerat korupsi. Baru-baru ini, publik kembali dikejutkan oleh dugaan penyimpangan dalam pengadaan laptop berbasis Chromebook oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada periode 2019–2022. Dilansir dari Kompas.com, proyek digitalisasi pendidikan ini menghabiskan anggaran hampir Rp9,9 triliun, terdiri atas Rp3,5 triliun dari satuan pendidikan dan Rp6,3 triliun melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengungkapkan bahwa uji coba penggunaan 1.000 unit Chromebook sebelumnya terbukti tidak efektif akibat ketergantungan pada jaringan internet yang belum merata di Indonesia. Ironisnya, proyek tetap dijalankan dengan spesifikasi berbasis Chrome OS, yang kuat diduga merupakan hasil persekongkolan sejumlah pihak untuk mengarahkan proyek sesuai kepentingan tertentu.
Bukan Satu-satunya Kasus yang Pernah Terjadi
Ini adalah salah satu potret kasus korupsi yang terjadi di negeri kita tercinta. Kasus-kasus lainnya? Jangan ditanya! Lebih besar dan lebih fantastis angkanya. Ini hanya sebagian kecil dari kasus-kasus yang pernah terjadi. Bahkan, para netizen pernah membuat Klasemen Liga Korupsi untuk mengurutkan kasus-kasus korupsi berdasarkan besarnya kerugian negara, mirip dengan sistem peringkat dalam liga sepak bola.
Kasus korupsi Pertamina menempati puncak klasemen, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun per tahun sejak 2018. Maka total kerugian negara selama lima tahun mencapai Rp968,5 triliun. Disusul korupsi PT Timah yang menyeret beberapa eks-dirut PT Timah dan eks-direktur keuangan PT Timah serta melibatkan beberapa perusahaan swasta yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun. Dan berlanjut hingga 9–10 kasus, dengan kasus terakhir mencapai angka Rp8 triliun yang dicapai oleh Kominfo.
Semua ini menunjukkan bahwa korupsi bukan lagi tindakan individu semata, tetapi bagian dari kejahatan terstruktur yang sudah mengakar dalam birokrasi dan tata kelola negara. Lemahnya pengawasan, celah hukum, mentalitas tamak para pemegang kekuasaan menjadi faktor penyebab maraknya korupsi. Ditambah lagi, hukuman yang tak setimpal dengan kerugian negara tidak akan pernah menimbulkan efek jera. Justru menjadi ladang investasi yang menggiurkan bagi para pelaku korupsi.
Publik mengingat putusan hukuman Harvey Moeis yang divonis 6,5 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan uang pengganti Rp210 miliar—sangat tidak setimpal dengan besar kerugian negara sebesar Rp300 triliun. Walaupun pada akhirnya diperberat menjadi 20 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan uang pengganti Rp240 miliar, tetap saja tidak sebanding.
Hukuman dari Negara
Hukuman bagi para koruptor di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis hukuman bervariasi, ada yang berupa penjara beberapa tahun hingga seumur hidup, denda ratusan juta hingga miliaran rupiah, tergantung seberapa besar kerugian negara yang ditimbulkan. Perampasan aset, pengembalian uang hasil korupsi, pencabutan hak politik, dan pembatasan bepergian juga merupakan bagian dari jenis hukuman tindak pidana korupsi.
Solusi Islam Mengentaskan Korupsi
Islam jelas mengharamkan korupsi karena merugikan rakyat dan termasuk dalam kategori ghulul (penggelapan). Jangankan korupsi yang notabene jumlahnya sangat besar, mencuri pun dihukum dengan potong tangan agar menimbulkan efek jera. Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 188:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."
Korupsi yang merupakan kejahatan sistemik adalah buah dari demokrasi. Pasalnya, demokrasi membuka peluang untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai suatu kepentingan. Menurut Dr. Riyan M.Ag, “Korupsi ini adalah bagian dari lingkaran setan yang akan menguntungkan oligarki, kemudian digunakan untuk pembiayaan politik demokrasi. Lalu korupsi untuk balik modal pembiayaan politik demokrasi, dan begitulah seterusnya.”
Maka, penanganan korupsi tidak bisa dipandang sebagai kejahatan individu saja. Sistem demokrasi yang menyuburkan dan membuat nyaman para pelaku korupsi haruslah ditinggalkan. Karena demokrasi, dengan slogannya "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat", semakin menunjukkan ketimpangan dan kerusakannya. Suara rakyat hanya dibutuhkan di kotak suara pemilu. Selain itu, suara rakyat diabaikan dan dibungkam, hanya segelintir orang saja yang menikmati kekuasaannya.
Korupsi termasuk ta'zir, yang hukumannya tidak secara spesifik disebutkan oleh Al-Qur’an dan hadis, tetapi diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim) yang tentunya melalui mekanisme ijtihad, bukan berdasarkan hawa nafsu. Jadi, hukumannya tidak bisa disamakan dengan pelaku pencurian yang dihukum potong tangan. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْخَائِنِ، وَلَا عَلَى الْمُنْتَهِبِ، وَلَا عَلَى الْمُخْتَلِسِ قَطْعٌ
"Perampas, koruptor (mukhtalis), dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan." (HR. Ahmad)
Di masa Khalifah Umar bin Khaththab, beliau pernah menyita seluruh harta pejabatnya karena diduga terjerat kasus korupsi dan menerapkan sistem pembuktian terbalik, yaitu terdakwa harus membuktikan bahwa kekayaan yang mereka miliki diperoleh secara sah dan bukan hasil dari penyalahgunaan jabatan atau korupsi.
Dalam Islam, upaya pencegahan korupsi dimulai sejak dini, jauh sebelum kasus korupsi terjadi. Berikut beberapa upaya pencegahan dini terhadap tindakan korupsi:
- Menanamkan ketakwaan dan kejujuran sejak dini. Karena sikap takwa memastikan manusia takut pada pengawasan Allah ﷻ di mana pun ia berada.
- Mewajibkan pengembalian harta hasil korupsi, bahkan menyita harta mereka untuk disalurkan ke Baitul Mal.
- Menegakkan hukum dengan adil. Fenomena hari ini, justru rakyat kecil yang mencuri lebih cepat mendapat proses hukum daripada elite-elite berduit yang selalu berkelit di mata hukum.
Demikian adalah beberapa upaya pencegahan korupsi yang pernah terbukti memberantas para koruptor. Tentunya, upaya ini harus didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Dalam artian, individu, masyarakat, dan negara harus bahu membahu menciptakan suasana ketakwaan pada Allah ﷻ. Karena takwalah yang memastikan manusia takut dan berhati-hati terhadap pengawasan Allah di mana pun ia berada.
Namun, sikap takwa tidak akan bisa tumbuh subur di era kapitalisme dan demokrasi. Tidak ada yang mereka takutkan kecuali kehilangan harta dan jabatan. Hanya sistem Islam yang mengajarkan ketakwaan individu, masyarakat, dan negara. Sehingga seluruh tindakan dan keputusan mereka didasarkan atas kepatuhan pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Jika pun ada pelanggaran atau tindak kriminal dalam masyarakat Islam, maka Islam telah memiliki seperangkat penyelesaian terhadap pelanggaran dan tindak kriminal. Hal itu hanya bisa diterapkan oleh negara Islam yang disebut Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a'lam bish-shawab

0 Komentar